Terima kasih Marka Jalan

Akhirnya berubah sudah impian menjadi kenyataan. Nanjak Cariu dilanjut ke Puncak Pass dan turun balik ke rumah. Di peta sepertinya indah-indah saja bayangannya. Di kenyataan? Hmmm … sungguh saya harus bersyukur bahwa perjalanan itu selamat sampai tiba di rumah.

Ya, saya patut bersyukur setelah hampir dua kali celaka serta satu pemandangan horor yang saya temui dalam perjalanan. Hampir ditabrak mobil, hampir nyungsep mencium aspal, dan kaget melihat orang gila yang saya pikir sudah meninggal tiba-tiba bangun!

Oke, perjalanan itu diawali dari SPBU Pertamina di MT Haryono. Awalnya sudah ada dua teman yang mau ikut dalam gowes kali ini: Didi dan Goro. Namun saat di tikum Goro beralangan. Akhirnya, sekitar pukul 07.00, berdua dengan Didi saya pun mulai menggowes.

Dari MT Haryono saya memilih jalan menuju Kalimalang, lalu berbelok kanan ke arah Jatiwaringin, Pondokgede, Ujung Aspal, lalu sambung ke Trans Yogie di Kranggan. Sengaja tidak lewat Jln. Raya Bogor sebab sudah terlalu biasa. Sekaligus untuk menengok Ujung Aspal yang ternyata sekarang sudah tidak ada lagi. Selain sudah sambung ke Kranggan, sekarang daerah itu sudah dibeton. Padahal, dulu memang ujungnya aspal.

Tak ada yang spesial sepanjang perjalanan sampai menjelang tanjakan Cariu. Sempat berhenti di jalan layang Cileungsi untuk memotret pemandangan. Sebenarnya sudah ada pemanasan sebelumnya. Beberapa kali tanjakan harus dilalui sebelum bertemu dengan jalan datar. Namun bukan di situ tantangan Cariu. Ya, Cariu di kalangan penggowes adalah tanjakan sepanjang sekitar 5 km dari rambu jalan menanjak sampai ke Puncak Pinus. Dulu di Puncak Pinus ini ada Rumah Makan Mekargalih 2. Sekarang sudah tutup, sepertinya bangkrut. Namun warung-warung di seberangnya masih ada dan menjadi tempat pemberhentian beberapa pengendara mobil atau motor yang melintas jalur ini.

Sebelumnya saya menguntit Didi, cuma ternyata membuntuti orang tak selamanya nyaman jika beda karakter. Makanya saya langsung ngibrit ke depan dan tunggu. Begitu yang aku lakukan sampai akhirnya tiba di awal tanjakan (S6.64726o; E107.16661o). Ini ketiga kali aku melintasi jalur ini. Yang pertama butuh berkali-kali menaklukkan tanjakan ini. Yang kedua butuh tiga kali berhenti. Yang ketiga cukup sekali, itu pun karena harus memakai jas hujan akibat gerimis yang bertambah besar. Namun justru karena hujan aku bisa “sekali kayuh” sampai Puncak Pinus. Waktu yang pertama dan kedua panas menjadi kendala yang cukup menyulitkan untuk menaklukkan Cariu.

Gowes sambil hujan ternyata menarik perhatian orang juga. Beberapa Bapak-bapak yang sedang duduk-duduk di beranda rumahnya menawarkan tempat teduh. Berhubung suka gowes sambil berhujan-hujan ya aku bilang terima kasih saja sambil terus memutar roda sepeda. Tanpa terasa sampai juga di Puncak Pinus. GPS etrex-ku menunjuk di angka 12:53:58. Saya menargetkan 12.30 sudah sampai. Ternyata molor hampir setengah jam. Dari deretan warung yang ada aku perhatikan hanya satu yang jualan nasi. Yakni yang paling ujung. Aku pun segera memarkirkan sepeda, buka jas hujan, pesen teh manis hangat dan lepas segala asesoris goweser. Menu makan kali ini nasi, sayur jamur, dan pepes ikan mas.

Warung nasi ini memiliki tiga bale-bale di depannya. Dua sudah dipakai orang yang berteduh, sehingga tinggal satu yang untungnya cukup lega untuk rebahan. Makanya, sehabis makan dan menghabiskan dua gelas teh manis aku langsung rebahan. Sesekali berdiri dan melongok siapa tahu Didi kebingungan mencariku. Nongol juga akhirnya Didi. Kebetulan salah satu pengunjung yang berada di bale sebelahku sudah melanjutkan perjalan sehingga Didi bisa menggunakan bale tersebut.

Puncak Pinus merupakan puncak tertinggi dari jalur ini. Makanya, setelah titik ini langsung turun. Hanya saja gak bisa leluasa sebab tanpa fender depan ternyata air muncrat ke muka. Juga GPS etrex-ku sering mati kalau terguncang-guncang keras. Turun sampai akhirnya di pertigaan Cikalong Kulon belok kanan ambil arah ke Taman Bunga Nusantara. Jalanan sempit beraspal dan sepi. Hmmm… cocok buat gowes nih. Setelah rolling, ketika berbelok langsung disapa dengan tanjakan. Saya pikir hanya sebatas pandangan mata, ternyata inilah perjuangan yang sesungguhnya. Sekitar 11,5 km ke depan jalanan menanjak landai, dari 350-an mdpl menuju ke hampir 900 mdpl. Beda dengan Tanjakan Cariu yang dari sekitar 220-an mdpl ke hampir 650 mdpl dalam jarak 5 km.

Tanjakan Cariu
Tanjakan Cikalong Kulon
Tanjakan Ciloto – Mang Ade

Jalanan sepi menyisir Bukit Pasir Cupu. Tanjakan yang berkelok disusul tanjakan lagi mengingatkanku dengan jalur Trenggalek – Pacitan via Bongko sewaktu mengikuti jelajah sepeda Surabaya – Jakarta. Hujan yang mengguyur sepanjang perjalanan membuatku tidak leluasa untuk memotret suasana. Padahal, pemandangannya sangat bagus. Tak seberapa lama di samping kiri terhampar perkebunan kelapa sawit yang masih baru. Kelapa sawitnya masih setinggi sekitar 50 cm. Sejauh mata memandang ribuan pohon kelapa sawit ini membentuk titik-titik hijau tua di antara hijau muda rerumputan.

Saya sendiri merasa jiper melewati rute ini sebab tak ada perkampungan penduduk. Sesekali melintas truk atau kendaraan pribadi, serta beberapa kali motor. Saya sempat berhenti memotret pemandangan degnan sedikit nekat. Menggunakan mantel sebagai penutup kamera saya pun menjepret pemandangan dengan secepat kilat memasukkan kembali ke sarung kamera yang sudah basah.

Sampai kemudian saya menjumpai sebuah pemandangan yang bikin saya deg-degan. Ya, di pinggir jalan sisi kanan saya melihat sesosok orang “tidur” dengan posisi kepala menghadap ke arah saya. Saya menduga pasti gelandangan yang meninggal. Pakaiannya compang-camping. Di sebelahnya ada bungkusan kumal. Saya mau memotret tapi was-was. Perlahan saya menggowes sambil mendekati sesosok tubuh misterius tersebut. Saat hampir dekat, tiba-tiba saja kepala orang tersebut bergerak dan matanya berkedap-kedip. Hii … aku takut dan langsung ngibrit. Setelah agak jauh aku berhenti sambil menunggu Didi.

Begitu Didi sampai, aku langsung bertanya soal sosok misterius tadi. Apa jawaban Didi? “Enggak lihat tuh Sur! Mungkin sudah pergi karena tadi ada truk lewat.” Aku masih tak percaya sebab tidak ada truk yang lewat dan dari tempat saya menunggu lokasinya terlihat. Jadi ….?

Beriringan kami menyusuri jalan tak berujung. Aspal berlubang membuat gowesan tidak bisa maksimal. Harus berjibaku menjaga keseimbangan. Berhubung tidak mau capek menguntit Didi akhirnya aku kembali melaju ke depan. Berhenti lagi menunggu Didi di sebuah warung. Asyik … setidaknya sudah masuk ke perkampungan. Sedikit aman untuk berhenti sambil pura-pura membeli roti. Bertanya-tanya ternyata Taman Bunga Nusantara masih jauh. Aku perkirakan dari GPS sekitar 10-an km.

Toh tak ada jalan tak berujung, tak ada tanjakan tak berpuncak, dan sebagainya, yang intinya sampai juga di turunan. Bertemu juga dengan perkampungan. Mariwati namanya. Ada angkutan yang menuju Cipanas. Hehe… enggak ngangkot kok. Cuma buat berjaga-jaga saja. Sayang kalau ngangkot sebab dari Mariwati ini jalanan sudah mulus. Aku menunggu Didi di dekat gapura Wisma Taman Buah, Cikanyere. Dari obrolan dengan salah satu petugas Wisma, ternyata daerah yang aku lalui termasuk rawan. “Wah, kalau selepas Maghrib sudah tidak ada yang berani lewat daerah itu!” Degh, untung hari belum gelap. Semoga Didi tidak mengalami masalah.

Taman Bunga Nusantara (TBN) sudah tidak jauh lagi. Apalagi jalanan sudah turun. Ugh … senangnya begitu roda sepeda menapak halaman pintu gerbang TBN. Narsis dulu ah.

Jalan menanjak lagi dan ini adalah tanjakan ke-3 sampai ke Puncak Pass. Ada sih sedikit turunan sebagai bonus tidak jauh dari persimpangan Jalan Raya Puncak – Cianjur dan jalan yang aku lewati. Didi sudah terlihat habis tenaganya dan sempat TTB. Hari sudah gelap dan kami pun makan malam selepas Kota Vila Bunga. Sambil aku mencari obeng buat membuka lampu sepeda. Ternyata lampu sepeda sudah habis baterenya. Ini kesalahan yang tak termaafkan. Semalam memang saya pakai sepeda ini dan lampu masih nyala. Cuma sudah tidak seterang biasanya. Batere sudah terbeli tapi obeng pembuka tutup batere ternyata obeng bintang kecil. Obeng yang ada di tools sepeda terlalu besar. Nyari ke sana ke mari tidak dapat akhirnya menyerah dan gowes dalam kegelapan.

Ketika dapat obeng pinjaman di sebuah toko penjual voucher pulsa, lampu pun menyala. Cuma tidak bertahan lama. Sepertinya terkena arus pendek.

Tak seberapa lama akhirnya lampu sepedaku padam. Sementara Didi sudah menimbang-nimbang mencegat angkot. Aku pun mengiyakan sebab kondisi sudah tidak kondusif. Aku mencoba mencari tempat datar untuk mencegat angkot tetapi tidak menemukan. Tapi ternyata Didi sudah mendapat angkot dan saya baru sadar, kenapa tidak pinjam lampunya?

Lalu, fragmen kenekatan di masa muda mulai memercik di benakku. Kali ini terbalik. Dulu waktu SMA sering naik motor turun dari kawasan wisata Kaliurang berombongan dengan teman-teman tanpa menyalakan lampu. Sebagai pemandu jalan adalah marka jalan di tengah atau di pinggir. Waktu itu sudah diberitahu jika marka jalan di tengah garis panjang berarti belokan. Jika putus-putus berarti jalanan lurus. Bisa digeber gas motor.

Kali ini saya mengayuh dan jalanan menanjak. Alhasil lebih banyak menunduk sambil memperhatikan marka jalan. Yang di pinggir tentunya sebab kalau di tengah bisa-bisa disambar kendaraan roda dua atau empat. Sudah minggir saja hampir saya diserempet mobil. Kejadiannya selepas Bumi Aki. Karena dari atas ada pemisahan jalur antara yang naik dan turun, kendaraan yang turun bisa ngebut di jalur satu arah sebelum masuk ke jalur dua arah. Nah, pas jalan nanjak itu saya tidak menyadari ada mobil kenceng dari atas yang mau mencoba masuk ke jalur kiri jalan dua arah. Saya kaget, begitu juga dengan pengendara mobil itu. Beruntung bahu jalan agak lebar sehingga bisa buat manuver. Ugh … jantung yang sudah bekerja keras bertambah debarnya karena kejadian itu.

Hawa dingin membuat saya harus banyak bergerak. Maka saya pacu sepeda konstan di kecepatan sekitar 10 kpj. Lumayan juga tanjakannya. Saat mendekati Hotel Bukit Indah, saya hampir jatuh gara-gara cleat. Oh my God! Selalu saja cleat memberi masalah hehe… Jalanan waktu itu gelap dan marka jalan beberapa sudah terkelupas. Dalam kondisi seperti itu harusnya saya melepas cleat. Cuma karena sudah capek dan ingin segera sampai Mang Ade maka saya terus memakai cleat. Sangat membantu sebenarnya. Setidaknya kecepatan gowes bertambah sekitar 2-3 kpj.

Malangnya, saat melintas jalan yang tidak ada markanya, saya terperosok ke sebuah lubang cukup dalam. Otomatis kaki langsung berusaha menjejak tanah. Namun tertahan oleh cleat. Entah kekuatan apa yang membuat saya bisa mengangkat sepeda dan cleat langsung terlepas. Saya langsung ngerem dan diam sesaat saat berhenti. Ugh … hampir saja dengkul menjadi korban ke sekian kali.

Saat melintasi warung Mang Ade saya tidak melihat Didi. Weh, apa langsung sampai Bogor ngangkotnya ya? Langsung aku buka ponsel dan ada SMS masuk plus panggilan dari Didi. Dia menunggu di Rindu Alam ternyata. Segera turun dan ambil napas sebentar.

Turun dari Rindu Alam saya meminta lampu belakang Didi saya pasang di setang sepeda saya. Lumayan buat memberi tanda kendaraan dari arah depan. Atau saat mau menyalip kendaraan setidaknya mereka tahu ada lampu kelap-kelip dari belakang.

Turun tidak selamanya nyaman. Jas hujan plastik nan tipis tak bisa mengalangi dinginnya cuaca saat itu. Apalagi masih titik-titik air gerimis masih turun nan ritmis. Makanya saya tidak bisa ngebut seperti Didi yang langsung hilang dari pandangan. Di sekitar Gunung Mas kendaraan turun terhenti oleh antrian kendaraan yang keluar masuk di Masjid Atta’awun.

Saking dinginnya sampai pangkal paha terasa kaku. Wah kram nih. Aku baru ingat sebelumnya celana padding aku gulung ke atas pas istirahat makan. Sebelum Cisarua giliran tangan yang kram. Hampir saja menabrak angkot kalau tidak dibantu oleh rem sepatu. Saat itu memang kepala cenat-cenut akibat telat makan siang. Setelah berhenti aku langsung menepi dan mencari warung untuk menenggak obat berparasetamol. Aku juga menenangkan diri untuk beberapa saat.

Setelah tenang aku menggowes dengan pelan-pelan dan bertemu Didi di dekat Gadog. Sepakat untuk gowes ke Jakarta aku pun meregangkan badan dulu. Juga kencing biar badan sedikit lega.

Dan entahlah, gowes dari Bogor ke Jakarta terasa enteng. Apakah sudah melewati masa kelelahan? Sama seperti ketika kita sudah melewati masa kantuk maka begadang sampai pukul 04.00 dini hari pun mata terjaga senantiasa? Sungguh, Bogor – Jakarta enteng saja kami lalui dengan kecepatan rata-rata 20-an kpj. Sempat berhenti di Cibinong untuk makan malam terakhir dan memang kebetulan porsi yang ada adalah porsi terakhir dari warung itu.

Sampai rumah hampir pukul setengah satu malam. Setelah mandi langsung merebahkan diri. Jika dihitung dari keberangkatan, hampir 18 jam aku bersama sepeda.

Kapok? Enggaklah! Cuma harus jeda sejenak ….

*Trek bisa diintip di: Nanjak Cariu – Cipanas at EveryTrail

Follow me @ EveryTrail

Advertisement

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s