Gowes ke Curug Malela sudah diagendakan lama. Entah mengapa tertunda-tunda dan akhirnya baru kesampaian setelah hampir dua tahun mengendap.
Curug Malela yang dikenal dengan Niagara Mini memang begitu eksotis kalau melihat foto2 yang ada di Internet. Saya jadi teringat dengan Curug Cikaso di Ujunggenteng. Hanya saja, dilihat dari debit limpasan airnya, Curug Malela masih kalah. Entah karena saat ini sedang musim kemarau atau emang DAS yang melintasi curug ini sudah rusak.
Akhirnya, sekitar 25-an penggowes dari KGC dan simpatisannya berangkat dari basecamp bumina Opik di Kampung Bungur, Gn Halu. Sempat waswas karena truk pengangkut sepeda belum datang, perjalanan ke curug dimulai sudah terlambat. Jarak ke curug memang 20 km, tapi medan yang dilalui cukup berat, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan tanjakan dan makadam.
Benar saja. Adit sudah mengeluh kok jalannya onroad. Padahal ia sudah menyiapkan sepeda offroad dan tenaga buat DH hehe … Sekitar separo perjalanan memang jalanan on road dengan aspal terkelupas di sana-sini. Beruntung pemandangan yang tersaji amat menentramkan hati: sawah menghijau, sungai bening mengular, dan kebun teh menyegarkan. Perpaduan yang mengingatkan Cianten.
Sepertiga perjalanan rombongan sudah terpencar menjadi entah berapa kloter. Saya jadi penyapu rombongan mengiringi yang tercecer karena medan yang tak ramah bagi mereka. Selepas jalan aspal dan melintasi kebun teh, jalur masuk ke makadam dan turunan. Saya pikir penyertaan sudah usai sebab tinggal menjaga keseimbangan sepeda melintas bebatuan. Apalagi ada plang dari triplek: Malela 7 km.
Ternyata di depan saya masih ada rombongan Srikandi dan Mas Cahyo plus Sony. Sambil menunggu yang di belakang kloter terakhir pun merayap yang ternyata konturnya masih menyisakan tanjakan. Tak bisa kenceng menggowes sebab tonjolan bebatuan tak beraturan menyisakan lubang di sana-sini. Jika mau rata maka menggowes di bagu jalan yang tak jarang harus hati-hati karena di sebelah kiri atau kanan ada jurang. Mas Heri menjadi korban keganasan makadam dengan terjatuh dan dadanya terhantam ujung handlebar.
“Siksaan” belum selesai begitu makadam usai. Dari tempat parkir motor jalan menurun dan tak ada sepeda di situ. Berarti dibawa turun semua. Jalanan curam dan terkadang harus menuruni tangga – ada yang sudah dibeton namun ada juga yang masih berupa undakan tanah – membuat acara gotong sepeda harus dilakukan. Berhubung jadi penyapu ranjau terpaksa harus memanggul dua atau tiga sepeda karena dua srikandi sudah kelelahan.
Jalan menuju ke curug ini memang beberapa menggoda penggowes untuk melibasnya. Terlebih yang sudah menunggangi fullsus. Cuma kudu hati-hati sebab jalur sempit dan berliku tak jarang di sisi kanan jurang menyapa. Mas AH dan Endro (?) sudah merasakan “dekapan” jurang yang untungnya dasarnya tanah lembut. Sakit sih tidak, cuma malunya itu. Untung hanya sedikit yang mengabadikan. Mas AH malah sukses tak terekam kamera. Hoax? Bisa jadi. Tapi tanah di jurang berteriak kesakitan kejatuhan tubuh dan sepeda fullsus hahaha…
Toh angkut sepeda sukses terlaksana. Foto2 narsis dan karena sudah sore terpaksa buru-buru pulang. Beruntung bisa menceburkan diri di air yang agak keruh. Pas berenang di ujung limpasan aku lihat ada buih polusi. Hiiiiiii mentas deh. Air dah tercemar entah oleh bahan kimia apa!
Usai ceria main di curug saatnya balik yang bikin meringis. Beruntung ada ojek sepeda yang mau membawa sepeda ke lokasi parkiran. Ada juga yang mencoba membawa sendiri. Namun berhubung teror psikologis para pengojek, beberapa akhirnya tergiur jasa ojek. Termasuk mantan atlet jelajah sepeda. “Demi menyimpan tenaga buat baliknya,” kilah si atlet.
Setelah makan ala kadarnya untuk mengisi perut, perjalana pulang dimulai. Persoalannya, hari sudah mulai gelap dan hanya sedikit yang membawa lampu. Lagi-lagi ojek menebar teror. Kali ini ojek motor. Banyak yang luluh hatinya meski saya tahu, masih lebih enak menggowes daripada ngojek sambil memangku sepeda di jalanan makadam. Setidaknya paha dan tangan jadi korban.
Beruntung Intan yang ngojek membawa lampu. Akhirnya aku pakai buat penunjuk jalan. Ada sekitar 10-an penggowes yang melanjutkan perjalanan dalam kegelapan. Beberapa kendala menyapa kami. Terutama rantai sepeda Wintolo yang los dan terjepit antara crank dan BB. Cukup lama membetulkan apalagi tempatnya gelap.
Kendala lain Mas Cahyo terkena kram sehingga setiap tanjakan harus menuntun sepeda. Tiga kilometer sebelum rumah Opik kramnya Mas Cahyo sudah pada stadium IV sehingga harus istirahat cukup lama. Sambil menunggu saya tergoda untuk menjajal Kona Heihei yang dipakai Didi. Pas mau berangkat Didi menawarkan untuk tukar sepeda. Ya wis.
Sempat merasakan enaknya Heihei, petaka itu muncul. Sebelum tanjakan saya sudah merasakan ada suara mengganggu dari RD. Saya mencoba mencari posisi yang pas, namun tiba-tiba saja sepeda malah tidak bisa bergerak. Aghhhh … rantai los dan terjepit antara cassete dan ujung spoke. Mas Heri yang sukses membebaskan rantai pada sepeda yang sama di siang hari gagal. Putus asa akhirnya sepeda di-TTB-kan sampai bertemu dengan pangkalan ojek.
Beruntungnya bawa Heihei. Terlepas dari rantai yang suka lolos itu, kelebihan Heihei ini adalah bobotnya yang enteng. Alhasil memangku si Heihei relatif empuk dan sampai juga di basecamp.
wah keren ya… š
apalagi ada merida biru. cocok deh