
Dulu, sebelum sekitar tahun 2008, nama Sawarna belum banyak dibicarakan kalangan penyuka jalan-jalan. Beberapa tahun setelah itu ia dijuluki Surga Tersembunyi. Sekarang, ketika akses mudah dan banyak penginapan, Sawarna sudah tidak tersembunyi lagi. Surga? Tergantung persepsi masing-masing orang.
Namun, bagi saya Sawarna masihlah Surga Tersembunyi. Dalam arti sebenarnya.
Ya, setelah waswas karena kereta Langsam yang membawa saya dan teman-teman dari Jakarta ke Rangkas berhenti cukup lama, lalu beberapa teman kepayahan waktu menaklukkan tanjakan di wilayah Malingping, sehingga harus menembus malam, bahkan kemudian salah seorang kram kakinya, maka perjalanan dari gerbang Sawarna ke penginapan ibarat mencari surga. Sebuah tempat yang tenang, damai, sejuk.
Perjalanan sepanjang sekitar 10 km itu begitu menegangkan. Jalan penuh lubang, menanjak curam, turunan terjal. Gelap, pekat. Bahkan bulan pun enggan nongol. Kiri kanan hutan. Ya, kami memasuki hutan lindung sebelum sampai Sawarna. Sementara tubuh sudah lelah. Berangkat dari Stasiun Rangkasbitung sekitar pukul 11.00 dan pukul 21.00 baru sampai di pintu gerbang Sawarna. Hampir sepuluh jam kami mengayuh pedal – tentu dengan beristirahat juga.
Mengayuh pedal?
Kami memang sekumpulan orang yang suka touring sepeda. Bersepeda dengan jarak tempuh di atas 100-an km sehari. Tapi bukan kilometer patokannya. Titik tujuan, meski jika sudah tak memungkinkan menggowes kami akan menginap atau menggunakan angkutan lain. Salah satu angkutan favorit kami adalah kereta api.
Rencana ke Sawarna sudah lama kami niatkan. Namun mencari waktu yang pas amat susah. Idealnya tiga hari untuk menuju ke sana. Itu pun sudah dibantu dengan angkutan KA. Sehari perjalanan pergi, sehari di Sawarna, dan sehari kembali ke Jakarta. Namun ya begitulah, sebagai karyawan tidak bisa leluasa mencuri waktu. Sementara liburan “kejepit” membuat tujuan wisata penuh pengunjung.
Maka, ditetapkanlah tanggal 3 – 4 Desember sebagai hari eksekusi. Jadwal diatur, jalur dipindai. Beruntung di zaman Internet dan Google yang menggratiskan petanya. Berbekal itu kami menyepakati jalur keberangkatan lewat Malingping – Bayah dan jalur pulangnya melewati Cikotok – Cipanas. Dipilih jalur berbeda karena menghindari kebosanan saja. Selain itu tentu akan memperkaya wawasan kami. Karena jadwal yang tersusun ambisius, kami pun melengkapi dengan rencana sampingan. Apa itu? Tergantung kondisi di lapangan alias nanti dibicarakan.
***
Tanggal 3 Desember 2011. Stasiun Tanahabang.
Sekitar pukul 06.30 aku sudah sampai di jalan depan Stasiun. Jalanan macet karena KRL barusan datang. Sambil menunggu jalanan lengang aku melihat Ketut dari kejauhan. Karena sama-sama belum sarapan, akhirnya kami tidak jadi ke Stasiun tapi menyeberang menuju ke Warung Makan Padang Sari Bundo. Saat sarapan Didi menelepon bahwa dia dan Sony sudah di depan loket. Aku pun menyuruhnya untuk membeli tiket 10: 5 buah untuk orang dan 5 buah untuk sepeda.
Selagi asyik mengunyah nasi dan telur dadar, Fredy menelepon menanyakan posisi. Aku jawab dan tak seberapa lama Fredy bergabung. Karena sudah sarapan maka ia hanya nimbrung pembicaraan. Tak banyak waktu bagi kami sebab harus mencari tempat bagi sepeda.
Menyeberang jalan yang masih juga macet sedikit merepotkan. Terlebih bawaan sepeda berat. Begitu sampai depan stasiun aku segera berhenti sejenak. Duh, untuk menuju peron harus menaiki beberapa anak tangga. Membawa sepeda langsung mengingatkanku dengan kursi roda. Iya, bagaimana dengan mereka yang menggunakan kursi roda? Soalnya tidak ada jalur khusus. Tangga ini begitu curam.
Beban berat di belakang sepeda karena perlengkapan untuk dua hari membuat menjinjing sepeda menjadi tak efektif. Maka saya pun memanggulnya dan beruntung saat itu sudah sepi. Cukup menguras tenaga untuk sampai ke atas.
“Gimana, sudah aman tiketnya?” tanyaku ke Didi yang dijawab Sony yang membeli tiket.
Masih ada waktu tersisa yang dimanfaatkan oleh Fredy untuk membetulkan rak pannier depannya. Ternyata tali penahannya belum terpasang sehingga panniernya selalu turun saat jalan. Setelah beres kami segera menuju ke jalur kereta yang akan membawa kami ke Rangkas.
Sempat menjadi perhatian beberapa penumpang, kami melewati gerbang pemeriksaan yang pas dengan sepeda. Menuju jalur KA kami harus menghadapi tangga lagi. Kali ini turun, yang tetap saja merepotkan bagi kami. Saya kembali memanggul sepeda.
Ternyata KA Rangkas Jaya yang akan kami naiki tidak diperuntukkan bagi penumpang yang membawa barang semacam sepeda.
“Ikut kereta belakangnya saja Pak. Tiketnya sama kok!” kata petugas KA.
KA Rangkas Jaya memang khusus penumpang, dalam artian kursi yang ada menghadap ke depan. Awalnya Didi nekat mau masuk ke KA Rangkas dan menaruh sepeda di bordes. Akan tetapi petugas yang ada di dalam melarangnya dan menyuruh menunggu kereta berikutnya yang memang diperuntukkan bagi penumpang yang membawa barang.
Begitu KA Rangkas Jaya berangkat, tak seberapa lama kereta yang dimaksud petugas tadi datang. Ya, kereta ini memang dikhususkan bagi barang sebab tempat duduknya di sisi gerbong. Alhasil ada ruang tersisa yang lega di bagian tengah. Segera kami masuk dan sambil duduk memegang sepeda.
***
08.00. Kereta Langsam, Jakarta – Rangkas.
Buyar sudah rencana kami. Ya, tak terbayangkan bahwa pada akhirnya kami naik KA yang kami hindari. Awalnya kami memilih KA Rangkas Jaya karena ia tidak berhenti di setiap stasiun. Meski jadwal keberangkatannya agak siang dibandingkan KA Langsam pagi hari, namun jadwal kedatangannya lebih cepat. Makanya kami memutuskan menggunakan itu.
Apa daya, di antara kami belum pernah ada yang menggunakan kereta dari Jakarta ke Rangkas. Melihat kenyataan yang ada, kami pun pasrah. Naik KA Langsam yang tiap stasiun berhenti. Dalam arti lain, ada waktu terbuang karena lamanya perjalanan. Bayangan bisa beristirahat sejenak karena semalam kurang tidur buyar seketika. Bagaimana bisa istirahat kalau duduk sambil memegang sepeda sementara penumpang lalu lalang dan pedagang mondar-mandir menjajakan dagangannya? Pada akhirnya menikmati setiap gerak di kereta bisa membunuh waktu.
Jika diperhatikan seksama, ternyata kereta murah ini (tiket Rp 2.000,-) menyediakan segala rupa keperluan sehari-hari. Ada buah, mainan anak, asesoris wanita, kaos kaki, ganti baterai jam, donut @ Rp 600,-, sampai makanan berat untuk mengisi perut lapar. Ya, kereta ini ibarat warung berjalan sepanjang 100-an km.
Stasiun Palmerah berhenti dan naik beberapa penumpang. Ada yang membawa barang ada yang sorangan. Tak seberapa lama, jalan lagi. Berhenti di Stasiun Kebayoran Lama. Lebih banyak yang naik dengan lebih banyak barang yang juga terangkut. Sekarang barang bawaan sudah bervariasi. Ada sepeda, ada karung berisi entah apa saya tidak tahu, dan ada keranjang bekas menaruh sayur-sayuran.
Saya mulai mengusir ngantuk dengan mengajak ngobrol penumpang di sebelah saya. Seorang bapak muda di kisaran 35 tahun. Ia bekerja di Jakarta dan tiap akhir pekan pulang ke Rangkas dengan memakai jasa kereta api.
“Setelah Stasiun Rawa Panjang nanti sudah sedikit yang naik Mas. Maklum, kereta sudah penuh, he.. he…” Wah, bisa juga nih bercandanya.
Saya pun ngobrol soal suka duka naik KA Rangkas. Juga minta saran naik KA jam berapa hari Senin pagi nanti saat mau balik ke Jakarta.
“Waduh, jam berapa pun kalau Senin pagi penuh semua. Nanti Mas lihat sendiri deh. Tapi coba ambil jadwal yang kedua, sekitar pukul 05.00,” katanya.
Saya pun lalu termenung memandang ke lalu lalang pedagang yang susah payah menerobos kerumunan orang. Ya, dalam hal keuletan, pedagang kecil patut diacungi jempol. Dua jempol malahan. Keterpaksaan kadang menumbuhkan energi tak berkesudahan.
Terus terang ini kali pertama aku naik KA dengan jalur ke Barat. Selama ini naik KA ya ke arah timur. Jawa Tengah, Jogja, Jawa Timur. Makanya saya tidak hapal sudah lewat stasiun mana saja. Yang jelas begitu pemandangan luar sudah menampakkan pemandanan sawah atau ladang atau hutan, berarti sudah keluar dari Jakarta.
Tanpa sadar aku mulai menguap di pagi yang mulai hangat. Bertelekkan top tube atau planthangan, aku mulai memejamkan mata. Sepeda tak perlu lagi diganjal rodanya karena sudah ada ganjalan berupa kerumunan orang. Alhasil, sekejap dua kejap aku tertidur. Bangun-bangun sudah masuk wilayah Karawaci. Hadeuuh … hampir sampai dong.
Stasiun Citeras tidak berhenti. Yup … bisa memangkas sedikit waktu. Namun belum seberapa lama meninggalkan Stasiun Citeras tiba-tiba kereta api berhenti. Awalnya saya berpikir kereta menunggu jalurnya kosong. Namun ketika menit-menit berlalu, saya mulai bertanya-tanya. Setengah jam bahkan terlewat sudah.
Dari peta sebenarnya Stasiun Rangkas sudah dekat. Masalahnya, untuk turun susah karena jarak antara lantai gerbong dan tanah tinggi. Selain itu jalurnya berbatu-batu dan sempit. Alhasil aku hanya bisa termangu menunggu. Dari petugas yang lewat akhirnya ketahuan penyebabnya. Ada yang iseng narik rem darurat. Arghhhhhhhh ….
Akhirnya, sekitar pukul 10.30 sampai juga di Stasiun Rangkas. Molor dari perkiraan kami pukul 9.45. Alhasil, rencana mau istirahat dan “ngeteh” jadi terbengkelai. Makanya, begitu turun dari kereta dan keluar dari peron kami segera bergegas. Beberapa membeli minuman, sementara yang lain memeriksa sepedanya apakah semua dalam kondisi oke.
***
Rangkas – Sawarna.
Seperti mengalami jet lag saja. Begitu gowes sambil membaca peta belum konsentrasi. Alhasil beberapa kali kesasar. Yang terakhir agak lebih parah. Untung Sony yang membekal GPSMap 76 mengingatkan. Setelah dicek, benar. ” Ini rencana rute kepulangan to?” batinku. Terpaksa balik ke jalur sebelumnya. Beruntung jalanan sepi dan rata.
Rute yang kami rencanakan melewati pinggiran kali. Menuju Cileles jalanan cukup lengang di siang itu. Sambil menikmati pemandangan, saya tengak-tengok kanan kiri mencari warung makan. Hampir semuanya jualan bakso. Mungkin ini jenis makanan yang tidak mengenal masa. Maksudnya di makan pagi, siang, sore, atau bahkan malam bisa. Tidak mengenyangkan, namun membuat perut terisi buat yang keroncongan.
Kelak-kelok sungai sebenarnya membangkitkan minat untuk mencebur. Air kehijau-hijauan ditimpa terik mentari amat menggoda badan. Pasti rasanya segar. Namun karena mengejar waktu ya terpaksa memendam saja keinginan itu. Semoga di Sawarna nanti bisa main air dengan leluasa.
Setelah mengamati jualan sepanjang jalan menuju Cileles, maka begitu melihat ada warung yang menjual soto dan makanan berat lain aku langsung berhenti. Jam makan siang memang belum menunjuk di angka 12.00, tapi pukul 11.00 sudah lewat. Daripada nanti di depan tidak menemukan warung makanan berat, lebih baik berhenti sekarang juga.
Jarak dari Stasiun Rangkas masih berbilang 30-an km. Masih panjang jalan yang harus kami susuri. Sementara waktu sudah merambat dengan pasti. Kemalaman sudah pasti. Seberapa malam? Itu yang masih perlu dikaji.
Kami semua makan berat. Full karbo! Bahkan menyiapkan makanan ringan seperti cokelat atau biskuit buat di perjalanan. Kebetulan di dekat warung ada toko kelontong yang menjual aneka makanan dan minuman ringan.
Tak banyak waktu terbuang. Selesai makan, istirahat sebentar, bayar, kami langsung berbenah. Lalu melanjutkan perjalanan.
Jalanan sepi di siang itu. Kami berpapasan atau menyalip rombongan anak sekolah yang baru pulang sekolah. Seperti banyak kejadian, mereka melambai memberi salam. Memberi kami semangat. Elevasi mulai merangkak naik. Meski elevasi tertinggi di rute ini sekitar 325 mdpl, namun tanjakan dimulai dari ketinggian 50-an mdpl dan menuju puncak untuk kemudian turun ke elevasi wilayah pesisir. Awal tanjakan dan akhir turunan berjarak sekitar 50 km. Beruntung jalanan mulus.
Menyurusi jalan yang menghubungkan Malingping – Gunung Kencana ini kami dihibur oleh buah durian yang memang sedang panen. Juga ada rambutan dan manggis. Kalau sedang tidak gowes rasanya mau memuaskan dahaga akan duren yang mengundang selera itu.
Awalnya cuek saja, namun karena begitu banyaknya durian akhirnya tergoda juga. Sambil menunggu teman-teman yang sedang kembang-kempis menaklukkan tanjakan aku berhenti di sebuah rumah yang menjual durian. Tanya harga dan menawar akhirnya sepakat mencoba satu. Ternyata ilmu memilih durianku masih oke juga. Terbukti manjur. Dapat yang manis dan berdaging tebal.
Sayangnya, teman-teman pada gak suka. Hanya Sony yang mau. Akhirnya hanya ambil dua karena terlalu banyak. Kesampaian juga makan durian. Heran juga dengan Fredy, Didi, dan Ketut. Mau juga menemani aku dan Sony makan durian hehe….
Jalanan masih nanjak menuju level 300-an mdpl. Namun suasana sekitar yang banyak pepohonan amat membantu kayuhan. Terlebih gelantungan durian dan rambutan yang menggoda untuk berhenti kembali. Hanya saja kok waktu seperti berpacu dan tak bisa diajak beradu. Kalah melulu.
Jalanan memang tidak lebar. Khas jalan kabuapaten, lebar sekitar 6 m. dua truk berpapasan akan membuat jalan tak bersisa. Beberapa truk dan mobil boks berlalu lalang di sini. Jadi harus hati-hati. Jangan terbuai dengan kemulusan aspal.
Beberapa jalan habis diaspal ulang dan juga diperlebar. Tebing yang dikepras masih terlihat perawan. Tanah cokelat terpampang tanpa diusiki oleh rerumputan. Kontras dengan aspal hitam yang melenakan laju sepeda kala konturnya menurun. Arah Gunung Kencana kami pun berhenti di Indomart untuk mengisi perbekalan. Dari beberapa kali touring, duo mart (Indomart dan Alfamart) sepertinya menjadi partner yang bisa diandalkan. Terlintas untuk menjadikan sponsor, dengan memberikan voucher belanja kali. *ngayal boleh lah*.
Masih bercumbu dengan aspal mulus dan kerimbunan pohon. Juga tanjakan dan turunan tentunya. Rombongan masih tercerai berai. Makanya, stop and go untuk memastikan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu warung menjadi alternatif menarik untuk berhenti. Setelah berhenti di Indomart Gunung Kencana, kami regrouping kembali di sebuah toko kelontong. Maaf, kali ini kami berpaling ke mart lokal.
Sambil ngobrol dengan pemilik toko, saya tertarik dengan karung goni yang teronggok dekat timbangan. “Oh, itu manggis baru dikirim dari kebun,” kata pemilik.
Langsung saja aku menawarkan diri menjadi tester hehe… Ngembat tanpa beli kagak enak ternyata. Ya sudah, beli sekilo saja. Nawarin yang lain gak mau. Heran deh, kok buah-buah eksotis pada kagak mau sih? Terpaksa sisa manggis yang lumayan banyak aku taruh di boncengan Si Johnson. Ini sepeda butut tungganganku.
Puncak rute sudah terlewati. Tinggal turun meski ada juga tanjakan. Namun perjuangan belum usai sebab sore siang sudah benar-benar tergelincir dari kekuasaannya. Senja mengintip sementara tujuan masih jauh. Saat mengatur barisan di alun-alun Malingping, semua masih dalam kondisi oke-oke saja. Makanya saya menyerukan untuk berburu waktu. Semakin cepat semakin baik, meski tidak memaksa untuk cepat-cepat.
Namun ketika menunggu di pinggir pantai saat senja benar-benar berkuasa, saya menyadari ada yang tidak beres dengan rombongan di belakang: Sony, Didi, Fredy. Ternyata benar! Didi mengalami kram kaki. Sore itu kami pun istirahat di warung pinggir pantai yang masih buka. Minum kopi, makan mie, sambil beberes lampu yang akan kami gunakan buat nite ride.
***
Nite ride sudah masuk dalam rencana. Seberapa cepat kereta, tetap saja akan kemalaman di jalan. Namun tidak dengan kondisi saat ini. Awalnya saya memperkirakan nite ride hanya menempuh jarak sekitar 30-an km. Ternyata lebih dari 40 km dan ada yang kram.
Kami jalan perlahan menyusuri pinggir pantai beriringan. Kerlap-kerlip lampu menarik perhatian beberapa orang yang masih berkumpul di beberapa warung. Kami jalan santai saja. Kecepatan dijaga di angka 20 km/jam. Jadi jarak sejauh 40-an km bisa ditembus dalam waktu sekitar 2 jm.
Malangnya, di pinggir pantai pun masih ada tanjakan. Duh, siapa yang iseng naruh tanjakan di pinggir pantai yang harusnya landai ini.
Ketika sudah sampai atas tanjakan dan turun tajam, saya agak curiga karna malam menjadi sunyi. Sekilas saya menoleh dan kerlap-kerlip tidak ada. Mungkin mereka sedang merayapi tanjakan, maka saya menunggu. Hanya saja kok lama, yang membuat saya kembali melihat situasi.
Didi kram lagi.
Setelah diurut dan diolesi counterpain, kami beriringan kembali dengan kecepatan semakin menurun. Sampai akhirnya kami disalip mobil patroli polisi. Langsung saya berteriak supaya mereka berhenti.
Kami utarakan maksud dan meski mereka sedikit ragu-ragu saya mendesak untuk minta pertolongan. Kalau mereka menolak saya sudah siap mendamprat dengan slogan mereka yang begitu manis itu: Melindungi dan Melayani Masyarakat. Ya, kalau mereka menolak aku sudah mau teriak haha…
Akhirnya Didi diangkut menggunakan mobil dobel kabin milik Polisi itu. Akhirnya kami mulai menambah kecepatan lagi. Sesekali berhenti di warung untuk isi minuman dan mengganjal perut. Di pertigaan Karangtaraje – Darmasari kami berhenti. Didi menelepon, tapi menggunakan nomer lain. Dia menunggu di warung dekat gerbang masuk Sawarna. Ia meminjam telepon pemilik warung karena sinyal XL mati di daerah situ.
Jarak pertigaan – warung di peta sekitar 10 km. Ssekitar setengah jam jika memacu 20 km/jam. Hampir jam 9 malam. Jalanan mulus, namun sepi. Menyusuri pantai, deru ombak terdengar sayup-sayup. Tak ada penerangan sama sekali di kiri kanan jalan.
Melewati jembatan baru terlihat kehidupan. Ada yang mancing, ada yang pacaran. Kami tak peduli. Begitu juga dengan kafe pinggir pantai yang jedag-jedug menawarkan obat lelah.
Akhirnya kami bertemu dengan Didi. Ternyata evakuasi yang dia alami menegangkan juga. “Saya harus mengetuk-ngetuk kaca agar mereka pelan jalannya. Gila, ada 100-an km/jam kali,” cerita Didi yang terpontang-panting di bak belakang.
***
Perjalanan belum sepenuhnya berakhir. Terlebih kami memasuki hutan. Juga tanjakan! Yah, pinggir pantai tapi masih ada pegunungan. Khas wilayah pantai Selatan. Dari Banyuwangi sampai Ujungkulon rasanya. Viewnya memang bagus. Tapi ini malam.
Ketika semakin jauh masuk hutan dan sepi mulai membekap, kami agak sedikit waswas. Benarkah jalan ini? Di GPS memang sudah dekat. Tapi jalannya kok semakin tidak meyakinkan. Nanjak, rusak, dan gelap. Wedew…. Untung Fredy belum paham suara anak ayam.
Dalam kegalauan tiba-tiba ada bapak-bapak naik motor yang menanyakan tujuan kami. Setelah kami sebutkan nama penginapan, ia ternyata kenal dengan pemilik penginapan. Ia mau mengawal kami. Uhh… bantuan yang amat sangat bermanfaat.
Meski dikawal namun jalan kami tak bisa cepat juga. Jalan tanjakan dan jalan rusak. Turunan pun tak leluasa digowes karena ada yang sangat curam dan gelap.
Akhirnya, sampai di juga di jalan landai. Kiri kanan pohon kelapa. Pemukiman sudah mulai terlihat. Penginapan sudah di depan mata.
Pemilik penginapan sudah waswas menunggu kami. Soalnya ia sudah menelepon sejak senja saat saya menunggu di pinggir pantai. Bahkan ada yang sudah mau menginap di villanya.
Setelah makan malam,kami diantar menuju ke penginapan. Harus menyeberang jembatan gantung yang mengingatkanku pada foto-foto Sawarna.
Setelah mengobrol sambil melepas lelah, kami segera tidur.
Pagi-pagi benar, saya mulai menyusuri pantai Sawarna. Ada sedikit pandangan aneh dari para pengunjung. Ya, sepeda yang kami bawa menarik perhatian.
Di Tanjung Layar, saya mulai menyadari: Sawarna masih surga yang tersembunyi.
Om,
Nama saya Agus, di Pamulang Ciputat, saya berencana mau gowes ke Sawarna tgl 23 November ini, setelah saya cari2 info siapa yg pernah gowes ke sana, ketemulah website sepedaan.com ini, nah karena Om mungkin sudah pernah ke sana, mohon bantuannya untuk panduan arah2 rute gowes yg baik Om, saya loading pakai truck dari Jakarta ke sana.
jika om berkenan saya mau hubungi tlp kemana ya?
Terima kasih
loading truk sampai mana ya? rangkasbitung? alternatif lain bisa naik KA yang gerbong itu. dua kali saya menggunakan itu dan praktis daripada harus sewa truk.
asumsi saya sampai rangkas ya? nah dari rangkas ikuti peta di sini hehe …
http://www.everytrail.com/view_trip.php?trip_id=1381104
dari rangkas tanya saja arah ke gunung kencana. nah nanti sampai pertigaan ambil kanan arah malingping. dari sini ambil arah bayah.
dari bayah ada pertigaan, ambil kanan nyusuri pantai sampai bertemu gerbang sawarna (pertigaan). ambil kanan. (kalo lurus arah pelabuhan ratu). dari gerbang itu masuk ke hutan lindung. lumayan rusak jalannya dan beberapa nanjak. udah ikuti jalan itu saja dan akan sampai ke sawarna.
selamat gowes.
Wahh jadi pengen ke sawarna nih