Cirebon masih jauh. Kondisi tubuh sudah lumayan membaik. Yang kram mulai terbiasa, yang sakit sudah mendingan meski masih terasa mengganggu. Keputusan baru juga dibuat untuk mempercepat perjalanan: Joy dan Alfa akan naik KA dari Cirebon menuju ke Purwokerto. Dibandingkan dengan Jakarta – Cirebon, kontur Cirebon – Purwokerto akan dihiasi jalan menanjak. Selain itu pasti akan ada nite ride dan menginap entah di mana sebab kami buta dengan wilayah Ketanggungan. Bumiayu? Rasanya tak terjangkau.
Gerimis sempat mengganggu perjalanan kami. Sayang, tak lama sehingga yang menggunakan mantel bersegera melipat kembali karena kegerahan. Di daerah Kertamaya, di pinggir selokan pecahan S. Cimanuk, rombongan berhenti melakukan brunch. Makan pagi yang kesiangan, makan siang masih kepagian. Bubur yang dilayani oleh seorang nenek itu ternyata laris manis. Hery Gaos langsung melakukan wawancara dan tak lama kemudian tayang di kompas.com.
Kami melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan masih lumayan lengang sampai akhirnya kami tiba di Pasar Tegalgubuk. Dan langsung berhenti. Maklum, ternyata hari itu adalah hari pasaran pasar konveksi yang katanya terbesar di Asia Tenggara itu. Terpaksa naik ke trotoar demi menyingkat jalan.
Selepas pasar jalan kembali lengang dan kami memacu sepeda. Tapi kembali menemui kendala. Ternyata ada pengaspalan ulang jalan. Jalur dua arah itu salah satunya sedang dikelupas aspalnya sehingga hanya satu jalur yang berfungsi. Beruntung menggunakan sepeda, membuat kami bisa melaju di jalan yang sedang dikelupas aspalnya. Malah lebih cepat dibandingkan kendaraan bermotor yang harus antri untuk melewati jalur satu jalan.
Siang mulai menyengat ketika kami mendekati gerbang tol Panci. Tanjakan jalan layang menuju pertigaan Palimanan. Terbayang sudah makan siang empal gentong. Dan itu kesampaian juga ketika kami memutuskan makan siang di Empal Gentong H. Apud, di Jalan Raya Pleret, tak jauh dari SMK Nusantara. Di rumah makan ini pula kami mematangkan rencana untuk evakuasi Alfa yang akan ditemani Joy. Sebelumnya Alfa sudah mampir ke Puskesmas.
Ada kejadian unik selepas makan siang ini. Ketut yang ketinggalan ponselnya di warung kembali dan saya bersama Didi dan Yusri menunggu di Bypass Jln. HR Dharsono. Seharusnya Ketut lewat sini, namun ditunggu lama tidak muncul-muncul. Yusri mencoba menjemput karena takut Ketut lurus di pertigaan, padahal kami belok ke kanan. Setelah menunggu lama dan telepon berkali-kali tidak diangkat, akhirnya kami melanjutkan dengan asumsi Ketut melewati jalan lain.
Benar saja, tak jauh dari terminal bus Harjamukti Cirebon, Ketut sudah menunggu dengan seorang Bapak yang pernah ikut bergabung di Jelajah Sepeda Surabaya Jakarta. Saat kami ngobrol dan cerita mau ke Purwokerto dia agak kaget. Ketika kami tanya penginapan di tengah jalan ia tambah bingung. Ia menyarankan kami menuju ke Tegal saja jika ingin mencari penginapan yang pasti. Waktu itu memang sudah menjelang sore, sekitar pukul 14.00. Secepat-cepatnya kami menggowes, pasti akan kemalaman di daerah Ketanggungan.
Ya sudah, ke Tegal bukan ide yang baik. Ke arah Purwokerto juga bukan. Tapi kami harus ke sana.
***
Masih saja kami bermasalah dengan ban. Kali ini ban sepeda Yusri yang bocor. Sambil ganti ban kami pun istirahat di pinggir jalur jalan Cirebon – Tegal. Meneguk sebutir kelapa di sore hari masih meninggalkan rasa segar, meski tubuh sudah mulai penat. Tak heran jika kemudian beberapa langsung merebahkan badan, terutama si pel-lor Hery Gaos hehe…
menyusuri Jalan Kanci-Gebang di sore hari sesungguhnya menawarkan pemandangan yang amat elok. Pada titik-titik tertentu kita bisa melihat G Ciremai di sisi kanan dengan latar depan sawah yang menghijau. Sinar lembut mentari dari arah belakang membuat suasana menjadi damai. Adem. Tenang. Bahkan ketika lembayung turun, kesan magis menyeruak. Cocok untuk kontemplatif. Eh, di tepi jalan ya? Ya, sayang, lalu lalang bus dan kendaraan umum terkadang mengharuskan kita untuk waspada.
Waspada karena bus-bus terkadang berhenti seenaknya untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Juga karena berpapasan dengan sesama bus atau truk sehingga tak jarang menepi agak terlalu banyak. Alhasil kita pun terpepet dan terkadang harus memanfaatkan bahu jalan. Berhati-hati jika harus ke bahu jalan. Jangan segera kembali ke badan jalan jika situasi belum aman. Selain itu perhatikan kontur apakah ada perbedaan yang tinggi antara bahu dan badan jalan. Jika bedanya tinggi maka untuk kembali kita harus mengarahkan roda depan memotong tegak lurus tepi jalan. Jika tidak bisa terjatuh karena terpeleset.
Melintasi S Ciberes ada pemandangan yang menarik di sisi kiri. Ya, deretan perahu yang siap melaut bersandar dari bawah jembatan sampai muara. Lebar sungai yang sekitar 40 m bisa menampung deretan perahu di kanan-kiri dan tersisa ruang lega di tengah sungai yang masih bisa digunakan untuk lalu lalang perahu.
Awalnya kami mau melewati Ciledug menuju Ketanggungan – Bumiayu. Cuma Tisno usul lewat Losari karena jalannya bagus. Saya sendiri tidak tahu kondisi kedua jalan jadi ya manut saja. Di pertigaan Gebang – Losari sebelum S Cisanggarung yang menjadi pembatas alam Jawa Barat dan Jawa Tengah kami berbelok ke kanan. Jalan memang bagus awalnya. Namun semakin ke dalam baru terasa. Sungguh terbalik dengan buah durian yang luarnya kasar, tapi dalamnya lembut-manis-menggairahkan. Jalan ini awalnya hotmiz, tapi semakin jauh ke dalam aspal mulai enggan menempel.
Sampai akhirnya batas siang dan malam kami lalui di sebuah minimarket Alfamaret. Ya, penetrasi “maret2″an ini begitu dahsyat, sampai di perkampungan pun ada. Memang terletak di jalan besar juga sih. Kami berhenti cukup lama, baik untuk makan, minum, mempersiapkan lampu-lampu, juga menyusun rencana.
Nite ride pun dimulai. Jalan kadang bagus, kadang jelek. Untung bulan menemani. Jalanan sepi. Jalur ini memang jalur alternatif, namun sudah mulai kehilangan fungsinya semenjak berfungsinya Tol Pejagan – Kanci.
Pada sepenggal jalan saya tertinggal. Gara-garanya lampu yang sudah redup sementara jalanan becek sehabis hujan. Jadilah kami harus berjibaku mencari jalan yang relatif nyaman digowes. Sesaat ketika melihat teman-teman yang sudah di depan, saya terkesiap kaget dan akhirnya berhenti sejenak. Sebuah pemandangan yang menggetarkan kalbu. Di depan sana, liak-liuk lampu berkelap-kelip menjauh dengan irama tak beraturan. Bulan memang penuh, tapi mendung terlalu angkuh. Direngkuhnya bulan di dalam kekelamannya.
Saya jadi teringat dengan kunang-kunang di kampung. Hanya saja ini menuju ke satu titik. Meliuk-liuk tanpa irama namun membentuk sebuah ritme nan ritmis. Magis. Hingga aku tersadar ketika mereka sudah jauh dan harus mengejar supaya tak semakin jauh tertinggal. Sampai akhirnya bisa bergabung saya tetap tak bisa mengimbangi laju para teman. Gila … pikirku. Mereka menggowes seperti kesetanan.
Saya pun menggowes semampuku dan hanya bisa menjaga jarak. Konsentrasi pada jalan membuat saya tak memperhatikan kondisi sekitar. Termasuk ketika saya menyalip Tisno yang tidak tahu mengapa tiba-tiba sudah ada di belakangku. Toh aku tersusul juga. Saya tak memperhatikan juga berpapasan dengan sepeda motor.
Begitu juga ketika sebuah sepeda motor membuntuti lajuku. Saya harus mempercepat gowesanku supaya tak tertinggal jauh. Konsentrasiku pecah ketika sepeda motor itu mulai berada di sisiku dan tidak mendahului.
“Mas, berhenti!” saya mendengar suara itu dari pembonceng motor, namun karna gelap saya acuhkan saja. Pikiran jahat berkecamuk di pikiranku.
Saya baru benar-benar berhenti ketika motor itu menghalangi jalanku. Deg! Lampu redupku tak bisa membantuku untuk melihat situasi. Ada di mana? Yang jelas persawahan.
“Mas, ini botol teman Mas jatuh tadi di sana!” kata pembonceng itu sambil menyerahkan dua botol Aqua ukuran 500 ml.
Ha..ha… aku menertawakan diriku sendiri yang begitu berprasangka buruk.
Kami makan malam di sebuah warung nasi goreng tak jauh dari lokasi aku “dicegat motor”. Bumiayu masih jauh. Pembeli warung yang kami tanyai malah menyarankan kam menuju ke Tegal kalau mau mencari penginapan. Wedew … kalau benar ke arah Tegal, kami hanya muter2 frustasi dong haha…
Kami tetap ke Bumiayu. Menerobos malam. Hanya saja kami sudah melewati persawahan dan memasuki perkampungan. Kembali aku terseok-seok di belakang. Teriak-teriak memanggil yang di depan supaya memperlambat kayuhan mereka. Beruntung kaki Ketut mulai minta istirahat hehe… Sepertinya kramnya kumat sehingga saat kami merembug sisa perjalanan, Ketut mempersilakan saja duluan ke Bumiayu. Ia sendiri akan berhenti di SPBU terdekat. Dan dari peta itu sekitar 10 km di depan!
Tentu saja aku pun berminat berhenti sesegera mungkin. Bukan soal fisik, tapi mata yang tak terbantu oleh lampu.
Dan di SPBU di wilayah Ketanggungan – Kersana, kami melepaskan lelah. Ada yang tidur di kantin SPBU, di kursi beton tempat orang nongkrong, atau di mushola.
Sempat ngobrol bareng2, berhubung sudah capai akhirnya kami mulai membungkus hari itu dalam mimpi. Bermimpi seolah-olah tidur di hotel bintang lima.
***
1 Comment