Jakarta – Jogja Empat Hari (3)

Jika dalam masakan bumbu terenak adalah rasa lapar, maka dalam pertiduran, keterlelapan tidur sangat dipengaruhi oleh kondisi badan. Kalau capai sekali pasti akan terlelap. Tak masalah tidur di atas kasur beratapkan plafon, atau di atas lapisan semen beralaskan langit betulan.

Paulus dan Ketut tidur di mushola. Didi dan Hery tidur di bangku semen di luar tempat orang nongkrong sehabis ke toilet. Aku, Tisno, dan Yusri tidur di kursi kayu di kantin SPBU. Tak leluasa memang. Tapi tak lelap belum tentu. Yang jelas kami bangun pagi karena terpaksa. Paulus yang mengira ketika malam semakin memuncak tak ada yang sholat di mushola ternyata keliru. Beberapa kali ia mencium bau wangi pertanda ada orang yang sholat. Didi dan Hery tak kuat dengan serangan nyamuk dan berpindah ke bangku kayu di kantin.

Selesai mandi, makan, dan peregangan kami melanjutkan perjalanan. Tentu tak lupa berucap terima kasih ke Satpam dan petugas SPBU yang mau tempat kerjanya kami tumpangi.

Udara segar, kanan kiri padi menghijau, sinar matahari semburat menghangatkan Bumi menemani hari ke-3 kami. Jalan mulai rolling. Namun pemandangan begitu melenakan sehingga tak terasa kami memasuki daerah Prupuk. Sekitar 3 km sebelum pertigaan dengan Jalan Slawi – Prupuk ada warung yang sudah terlihat buka. *Setelah ngobrol baru tahu bahwa warung ini sebenarnya buka 24 jam. Bahkan malam sebelumnya ada rombongan motor yang menginap.*

Kami memutuskan berhenti untuk makan pagi. Beberapa dari kami melihat dipan langsung rebahan. Tidur semalam pasti kurang. Yang lain asyik meng-update status. Bagi yang lowbat langsung mencari colokan untuk mengisi ulang. Dapat kabar Joy dan Alfa sudah berangkat karena menunggu kami pasti terlalu lama. Ya wis, yang penting nanti ketemu di titik akhir.

Seusai sarapan kami segera meneruskan kayuhan. Jalan Prupuk – Bumiayu mulai berkelak-kelok. Sesekali suara kereta api mengiringi kami. Ya, jalur ini tak jauh dari rel KA yang menghubungkan Jakarta dan Jawa Tengah atau Jawa Timur. Saling silang antara jalan raya dan rel KA terjadi beberapa kali. Hanya saja karena jalur KA tidak sepadat KRL di Jabodetabek maka perjalanan tidak terganggu.

Di daerah Kecamatan Tonjong Bumiayu perjalanan tersendat karena ada longsoran menimpa badan jalan. Kendaraan roda empat dialihkan rutenya. Roda dua masih bisa tapi risiko ditanggung sendiri. Ketika melintasi daerah yang terkena longsoran, terlihat alat-alat berat sedang membuat jalur baru yang lebih landai. Karena kondisi jalan tak memungkinkan digowes terpaksa dituntun padahal jalan menanjak.

Selepas longsoran jalanan kembali normal. Namun didera tanjakan berkelok nan panjang. Siang yang terik membuat otak bisa meleleh, dan pikiran pun jadi error. Seperti yang dialami Paulus saat istirahat di sebuah minimarket lokal dan melihat ke atas.

“Weh, layang-layangnya tinggi banget itu!”

Kami semua langsung tertawa melihat kejadian itu. Sebab yang ditunjuk Paulus adalah pesawat terbang.

***

Kelucuan-kelucuan seperti itu menjadi bumbu yang menyegarkan suasana. Sama seperti ketika kami merayapi jalan raya Bumiayu – Ajibarang di daerah Paguyangan. Nanjak alus sepanjang sekitar 10 km ini harus kami lalui dengan hati-hati dan ekstrawaspada karena jalanan sempit sementara truk berlalu lalang.

Ada kejadian ketika Hery sedang mengayuh pedal melawan panas dan tanjakan, sebuah truk berjalan pelan di sampingnya. Kernet dan sopir truk bertanya ke Hery mau ke mana. Bukannya menjawab, Hery malah mengumpat. Wajar saja, untuk mengayuh saja sudah ngos-ngosan, la kok malah diajak ngobrol. “Ass******,” kata Hery.

Kami berhenti sejenak di akhir tanjakan. Matahari baru saja tergelincir dari posisi puncaknya, perlahan menuju ke peraduan. Hari ketiga seharusnya sudah mendekati Yogyakarta, setidaknya Purworejo. Namun ini Purwokerto saja belum. Tanjakan sudah sirna, kami pun melaju dengan santai. Sayang, perut harus segera diisi karena sudah lewat jam makan siang.

Mencoba mencari rumah makan yang model saung sehingga bisa bersantai lebih lama ternyata tidak menemukan juga. Jalanan ini memang jalur alternatif dan berada pada jalur yang tanggung. Sebentar lagi sudah masuk Purwokerto yang banyak rumah makan yang representatif. Apalagi jika mau ke Bandungan sekalian ngadem.

Berhubung sudah saatnya makan, ya sudah, kami langsung berhenti begitu melihat rumah makan yang rumahan. Tak ada plang nama, setidaknya menurut pandangan mata saya. Yang membuatnya orang tahu ini rumah makan karena di kaca jendela ada nama rumah makan dan menu andalan. Saya agak lupa namanya, kalau tidak salah sih RM Handayani.

Memasuki rumah makan ini langsung tersaji meja kursi berbagai bentuk. Ada kursi panjang, kursi satu-satu, sampai semacam lincak. Berhubung sepi kami langsung pada menyebar mencari kursi panjang untuk rebahan. Tempat saji makanan ada di pojokan, model prasmanan dan jualan khas pedesaan.

Yang merasa lapar langsung menuju ke tempat makanan, ambil nasi dan lauk kesukaan, lalu makan. Yang belum merasa lapar langsung rebahan dulu. Yang perokok, tentu saja langsung mengeluarkan bungkus rokok dan mengepulkan asap kenikmatan. Semua tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Di warung ini kami membahas rencana yang tersisa. Tisno yang jelas akan berhenti di Buntu karena pulang ke kampung halamannya di daerah Purwokerto. Tersiar kabar Joy dan Alfa sudah memasuki Kebumen. Pergerakan mereka tidak bisa cepat karena Alfa belum fit tubuhnya.

Sempat tercetus untuk langsung ke Jogja apa pun risikonya. Nekat! Padahal jarak masih tersisa hampir 200 km. Jika jalan 20 km/jam saja sudah butuh setidaknya 10 jam. Selesai makan paling jam 15.00. Otomatis jika gowes nonstop berarti pukul 01.00 masuk Yogyakarta. Saya sempat dua kali gowes sampai lewat pergantian waktu. Ke Bandung dan gowes muter Jakarta – Cariu – Cipanas – Bogor – Jakarta. Namun karena yang lain belum pernah senekat itu ya ambil jalur moderat saja. Gowes semampunya.

***

Selesai makan siang langsung dihadang tanjakan, meski tak seberapa. Mendung sudah menggantung di atas sana. Hujan seperti menunggu waktu, cepat atau lambat.

Benar saja. Pas sebelum SPBU Jalan Ajibarang – Wangon (S7.49559 E109.06231) hujan rintik-rintik mulai turun. Pas di kerindangan pohon bambu kami segera memakai mantol dan membungkus pannier dengan raincoat. Hujan makin membesar sebelum akhirnya kami meneduh di SPBU. Ada yang pingin pup!

Menunggu hujan reda ternyata sia-sia, membuat kami nekat menerobos kepekatan rintik air. Pandangan orang-orang yang meneduh di SPBU justru membuat kami tambah semangat. Jalan yang berubah menjadi sungai dangkal semakin memaksa kaki untuk bergerak lebih cepat. Untuk melawan dingin dan arus air.

Ternyata, inilah awal episode yang membuat Gowes Waisak menjadi pengalaman tak terlupakan bagi kami. Hujan memang terkadang mereda, namun tak berhenti sama sekali. Niat mencopot mantol menjadi urung.

Wangon lewat, Jatiwangi di belakang, Rawalo, sampai akhirnya sampai di Buntu. Sudah sekitar 30 km kami menggowes dalam hujan. Jalanan relatif datar, namun terpaan air dari atas tak kuasa kami tahan. Berhenti di perempatan Buntu mencari solusi. Ketut menyerah dan akhirnya melanjutkan dengan bus menuju Yogyakarta. Tisno belok kiri menuju kampung halaman. Tinggal kami berlima: aku, Didi, Paulus, Hery, dan Yusri.

Lanjut!

Sore tak terasa karena matahari tersaput hujan. Hanya lampu jalanan yang memberi tahu bahwa malam menjelang. Kami makan malam di RM Pringsewu Kedungpring. Sekaligus menyusun rencana. Awalnya tetap mau ngotot sampai ke Yogya. Namun mendengar kabar Joy yang berhenti di Purworejo, sementara Alfa sudah duluan ke Yogya membuat kami berpikir ulang. Akhirnya sepakat menginap di penginapan tempat Joy berhenti. Kami perkirakan sekitar pukul 22.00 sampai di sana.

Pelayanan di Pringsewu membuat kami sedikit terhibur. Apalagi ada sambutan ulang tahun Hery yang sebenarnya cuma rekaan saja. Selesai makan dan beres-beres, kami melanjutkan perjalanan. Masih sekitar 70 km harus kami lalui. Jalanan beberapa ruas gelap, berlubang, dan bermain-main dengan bus malam. Hujan lagi!

Meski berlima, kami tercerai berai dalam beberapa kelompok. Saya mencoba menjaga agar kami semua masih dalam jangkauan sehingga jika terjadi apa-apa bisa saling membantu. Dalam kondisi seperti ini, mental benar-benar diuji. Akan terlihat sifat asli seseorang. Ada yang egois, ada yang solider, ada yang soliter. Sedikit saja tersenggol emosinya bisa kacau.

Kami berhenti beberapa kali untuk istirahat sekaligus regrouping. Tersiar kabar, Joy sudah memesankan kamar buat kami. Satu tugas sudah selesai. Masalahnya, itu masih sekitar 1,5 jam lagi. Waktu yang lama jika dihabiskan di atas sadel. Apalagi mental dan fisik yang sudah drop.

Makanya, begitu memasuki Kabupaten Purworejo, kami seperti sudah sampai. Padahal masih cukup lama. Apalagi ban depan Didi bocor saat menghantam lubang. Terpaksa berhenti dan berharap ini bocor terakhir.

Melewati alun-alun Kutoarjo kami ingin berhenti sebenarnya. Dagangan di malam hari begitu menggoda. Namun sebagian pingin langsung ke hotel dan nanti baru diputuskan kalau mau makan malam lagi.

Akhirnya, sekitar pukul 23.00 kami sampai ke penginapan Hotel MassAgus. Pemiliknya Agus, dan tambahan “s” menunjukkan hotel yang sudah dia kelola. Jadi hotel di Purworejo ini hotel pertama dia.

Joy sudah menunggu dengan tampilan siap tidur. Kami segera bebersih sepeda kami yang dekil kena lumpur. Sekalian mencuci dan setelah itu masuk kamar masing-masing. Beberapa masih mengobrol dengan Pak Agus yang ternyata termasuk penggemar Joy.

Hari ke-3 kami lalui dengan penuh drama.

Advertisement

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s