Rencana semula menggowes sepeda dari Yogyakarta menuju Borobudur jelas sudah berantakan. Saat di RM Pringsewu Kedungpring saya sudah mengutarakan wacana untuk menuju ke Borobudur via Purworejo. Terlalu memutar jika harus ke Yogyakarta dulu lalu ke Borobudur dengan waktu tersisa hanya satu hari.
Kendala memang jalannya yang menanjak, menyusuri Pegunungan Menoreh. Namun, kapan lagi bisa menikmati sensasi Menoreh? Saya sendiri pernah melewati jalur itu, namun menggunakan mobil ketika bersama teman-teman sekantor mengadakan “Jelajah Seli dari Candi ke Candi.” Bermula dari Candi Borobudur dan berakhir di Candi Prambanan.
Hery ingin ke Yogyakarta bersama Joy. Alhasil, hanya tersisa empat orang yang mencoba finish di Borobudur.
***
Pagi setelah sarapan dan bayar hotel yang ternyata memperoleh kejutan, “Mas, dapat diskon dari Pak Agus.” Kami memang sempat ngobrol dan kenalan dengan pemilik hotel yang ternyata juga suka sepeda. Bahkan kami berfoto2 dulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Pagi itu kami berenam menembus matahari pagi menuju ke timur. Jalanan sudah mulai hiruk pikuk oleh aktivitas warga. Meski begitu, lalu lalang kendaraan tak seramai di Jakarta. Di ujung Jalan Gajah Mada, Joy dan Hery berbelok ke kanan, masuk ke Jalan Lingkar Selatan Purworejo. Kami berempat lurus menuju Jalan Tentara Pelajar.
Berhenti mengisi perbekalan di sebuah Alfamart. Sarapan di hotel serasa kurang bagi kami. Terlebih perjalanan akan mendaki. Butuh minuman ekstra untuk mengganti cairan tubuh yang bakalan terkuras.
Pagi itu udara cerah. Matahari sudah muncul dengan garang. Tak jauh dari batas kota tanjakan sudah menanti. Beruntung lalu lintas agak sepi sehingga tidak terusik oleh raungan mesin dan asap knalpot.
Semakin ke atas ternyata semakin rindang pepohonan sehingga kayuhan lebih “terasa” enteng. Namun napas tetap terganggu oleh panas matahari. Alhasil, setiap beberapa kilometer kami berhenti. Meneguk minuman, mengatur napas, dan mengendurkan otot-otot tubuh.
Sebelum mencapai puncak pendakian, kami berhenti di sebuah warung. Dawet item begitu menggoda di siang itu. Terlebih perut sudah memanggil-manggil makanan untuk bersemayam di dalam perut. Kebetulan di sebelah warung dawet item ada warung soto.
“Wah, ini dawet item terenak di dunia,” kata Didi yang membuktikan adagium bahwa bumbu terenak adalah rasa lapar. Ya, sesungguhnya kami lapar dan apa pun yang masuk pasti kami kenali sebagai makanan paling enak. Jadi teringat dengan bakso kenyal di Situ Gunung yang bagi kami terasa enak sekali. Ya, karena kami kelaparan.
Agak lama beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan yang masih lumayan. Jalanan aspal mulus membantu kami dalam menyusuri tanjakan. Setidaknya tak perlu berkonsentrasi mencari jalan yang bagus. Memasuki perbatasan Purworejo – Magelang jalanan menanjak namun amat lebar. Ternyata ini semacam puncaknya sebab setelah itu jalanan relatif turun.
Pas di puncak Didi langsung menjatuhkan diri dan telentang menatap langit di pinggiran jalan. Ya, kami bebas saja berekspresi di sini sebab jalanan lebar dan relatif sepi.
Selebihnya jalanan menurun dan datar sebelum akhirnya tiba di pelataran Borobudur. Di sini kami bertemu kembali dengan Ketut yang mirip turis. Bersepeda dengan sendal jepit tanpa helm. Dia menggowes dari Jogja pada esok harinya.
Kami lalu berpotret di dalam lingkungan kompleks Borobudur melalui Hotel Manohara. Dulu waktu gowes Seli Candi kami ditolak masuk. Boleh namun dengan membayar sejumlah uang.
Puas berpotret dengan latar belakang Candi Borobudur kami segera bergegas menuju Yogyakarta. Seperti kesetanan kami turun ke Yogya untuk mengepak sepeda di Polygon.
Melintasi Ring Road Utara rombongan seperti barisan kunang-kunang meluncur menuju satu arah. Saya jadi teringat dengan malam kedua saat menyusuri jalan alternatif menuju Ketanggungan.
Akhirnya kami pun sampai di Polygon. Di sana sudah menunggu Hery dan Joy yang sudah tiba di Yogya sore harinya. Selesai sepeda dikepak kami berombongan berkumpul menikmati malam di Pakualaman. Di sini bergabung Fredy dan Dimas.
Jika semula kami ingin menginap di rumah Mas Yanto, pada akhirnya kami menginap di rumah Hery untuk keesokan harinya berangkat ke Jakarta menggunakan kereta api.
Selesai sudah perjalanan empat hari yang penuh emosi dan menguras tenaga.
2 Comments