Akhirnya berangkat juga. Naik KA malam hari ternyata memberikan suasana yang berbeda. Ya, kali ini saya dan teman2 naik kereta malam hari untuk menuju Rangkasbitung. Tujuan kami Sawarna.
Ini yang kedua kali saya ke Sawarna bersepeda. Yang pertama berangkat Sabtu pagi. Dari jadwal tiba di Rangkas sekitar pukul 09.30 sehingga punya waktu sarapan atau beberes sebelum ke Sawarna yang berjarak sekitar 120 km dari Stasiun Rangkas.
Kali ini berangkat Jumat malam dengan harapan bisa berangkat pagi dan sampai Sawarna tidak malam seperti yang pertama kali. Menggunakan kereta terakhir dari Stasiun Tanahabang, ternyata posisi kereta jauh dari selasar peron. Alhasil butuh tenaga ekstra untuk menaikkan sepeda plus pannier.
Berhubung berangkat dari stasiun awal, kami bisa menaruh barang dengan lebih lega. Mengambil sudut gerbong barang, kami pun menumpuk sepeda di kanan kiri bagian belakang. Lalu menggelar koran untuk duduk.
Sambil menunggu kereta jalan Omega mengeluarkan kartu domino dan remi. Ya wis, aku, Hery, dan Yanto pun membuka lapak. Tak seberapa lama penumpang pada naik. Sepertinya mereka saling kenal dan menggerombol namun lagaknya seperti preman.
Salah seorang dari mereka memperhatikan kami yang bermain gaple. Saya pun mengajaknya biar genap. Sewaktu bergabung dan ngobrol inilah kami baru sadar ia agak mabuk.
Setelah ngobrol sana-sini, ternyata ia juga bekas pemain sepeda. Khususnya BMX. Omongannya sih bener. Namun baru ketahuan ngaconya setelah beberapa lama ia mengulang kembali omongannya. Kami jadi senyum-senyum sendiri.
“Abang tahu Shimano ‘kan? Hanya orang sepeda yang tahu Shimano.”
“Mainlah ke Brastagi. Cadas Bang!”
“Saya dulu main BMX. Mereknya Oyama. Kuat untuk standing tuh Bang!”
“Saya dulu ikut race. Kaki banyak kena pedal nih.”
Itulah beberapa ucapan yang masih membekas di benak saya. Meski bau minuman keras menguar dari mulutnya kami mencoba ramah kepadanya. Sebagai ganjaran, dia menjamin bahwa kami boleh bermain meski penumpang sudah banyak. “Tenang Bang. Jangan khawatir. Ada saya Bang!” begitu katanya saat kami mau menyudahi permainan karena penumpang sudah mulai penuh.
Sambil main saya memperhatikan “persahabatan” yang terjalin di kereta kelas murah ini. Bisa jadi mereka setiap hari bertemu sehingga keakraban terajut dalam keseharian. Saling memberi tanpa (sepertinya) mengharapkan balasan.
Bahkan, salah seorang pedagang asongan menawarkan rokok kepada kami. Kebetulan Hery yang perokok kelas berat sedang “asem” mulutnya sehingga berpindahlah Dji Sam Soe ke mulutnya.
Satu yang menarik perhatianku, setiap ada yang turun duluan akan salaman dan mencium tangan seseorang yang sepertinya dianggap sebagai “sesepuh”.
Pada strata bawah memang persaudaraan lebih kental tanpa pamrih dibandingkan dengan strata atas.
“Bang, tahu Shimano ‘kan?” Hahahaha…. sampai ketemu Bang!