Batu Layar adalah maskot Sawarna selain Pantai Legokpari, Ciantir, Gua Lalay, Karangtaraje, Bukit Cariang, dan tempat lainnya. Dua buah batu yang mirip layar terkembang itu menjadi objek bidikan banyak kamera. Dari kamera saku sampai kamera tas ransel. Dari semua sudut sudah terekam. Eh, dari atas sejauh ini belum menemukan. Juga ada yang tanya, sudah ada yang mendaki sampai ke atas atau belum.
Jika melihat lokasi sekitarnya, sepertinya batu ini tergerus oleh ombak yang rutin menyambanginya tiap hari. Di sebelah batu ini kita bisa melihat alur-alur aliran ombak yang menyapu batu dan terempas untuk kemudian kembali ke pangkuan samudera. Batu Layar mengingatkanku pada Tanjung Aan di Lombok. Hanya saja bukit di Tanjung Aan bisa didaki untuk melihat panorama sekitar.
Nah, untuk kedua kalinya aku ke Batu Layar ini dengan menggowes dari Stasiun Rangkasbitung. Dari Jakarta menggunakan kereta api karena tidak cukup waktu. Kali ini sekalian “tes drive” tunggangan baru namun lawas: Federal. Sepeda ini merupakan sepeda top pada zamannya. Jika kini masih saja diburu, tentu karena produknya memang berkualitas. Apalagi Paimo, sang legenda touring, sering menggunakannya untuk ber-touring.
Sudah lama saya naksir Federal. Cuma pas mencoba kok banyak yang gak pas. Sampai akhirnya Ketut menawarkan frame yang ukurannya pas denganku. Ya sudah, aku ambil dan bergegas aku bangun dengan memanfaatkan barang yang ada dulu karena waktunya mepet untuk ke Sawarna.
Mengapa harus nyari frame bekas? Pernah baca di buku soal lingkungan, tentang himbauan “hidup hijau”. Salah satunya, ya belilah produk dalam negeri atau daur ulang. Dengan membeli produk dalam negeri atau daur ulang, berarti kita menghemat biaya pengiriman. Dari sisi lingkungan berarti mengurangi polusi alat transportasi. *Alasan yang sebenarnya duitnya kurang haha … *
Pada awalnya Federal (yang ternyata masih misterius seri apa setelah tanya2 ke Max Agung Pribadi) ini begitu ciamik. Terutama handling-nya, mantap banget. Meski berat, maklum hi-ten, namun enteng saja untuk melakukan manuver menghindari jalan rusak di sepanjang rute Rangkas – Sawarna. (Heran deh, daerah Banten sepertinya tidak ada jalan yang mulus). Fork rigid-nya pun masih bisa ditolerir untuk tak membuat tangan pegel.
Sampai kemudian RD bermasalah pas menanjak. Gara-gara shifter putar yang kurang stabil. Terbukti bahwa shifter putar tidak andal untuk kondisi nanjak ngehek. Satu penyakit kudu disembuhkan. Ternyata kendala bertambah saat km menunjuk di sekitar angka 40. Sebuah turunan panjang melenakan diriku setelah makan siang sebelum akhirnya gedandaban pas di turunan bergelombang dan berbelok kiri. Kondisi jalan dengan kerikil di jalanan membuat aku tambah kaget. Plus truk dari bawah melaju cukup kencang.
Tiba-tiba saja setang tak bisa dikendalikan. Reflek saya tekan tuas rem. Sayang, baru kemudian saya tahu tuas yang saya tekan salah. Saya terbiasa menggunakan tuas kiri untuk menghentikan roda belakang. Ternyata sepeda ini disetel dengan posisi sebaliknya. Kiri buat depan dan kanan buat belakang. Akhirnya saya pun sukses mencium aspal.
Ketika berdiri darah menetes. Saya merasa dagu dan hidung berdarah. Melihat darah itu saya langsung pucat dan serasa mau pingsan. Langsung saja minta rebahan dan Omega yang membawa matras segera menggelarnya di rerumputan pinggir jalan. Entah berapa lama saya tiduran yang pasti tekanan darah berangsur-angsur naik dan kondisi mulai normal. Sementara teman2 membereskan luka di dengkul dan kaki, juga dahi dan bibir (ternyata).
***
Perjalanan masih jauh – sekitar 80 km – dan ternyata Federal makin bandel saja. Meski hanya mengandalkan ring tengah saja karena shifter depan patah, tanjakan dan jalan berbatu dengan mulus dilewatinya. Bahkan mampu menyelap-nyelip di antara batu-batu tajam yang akhirnya memakan korban ban salah seorang peserta.
Sampai Pasir Putih Bayah sore menjelang. Kami berhenti dan memang aku harus berhenti. Kaki kiri mulai senat-senut. Sementara tangan kanan sudah tidak bisa diandalkan untuk memegang setang manakala jalan berlubang atau tak rata. Padahal jalanan mulai datar. Melepas lelah memandang laut terkadang menimbulkan pertanyaan2 usil? Ya, mengapa harus capai2 bersepeda ke Sawarna? Enakan naik kendaraan sendiri atau nebeng pada EO2 yang banyak menawarkan trip ke sini. Namun ada yang tak bisa diperoleh dengan naik kendaraan bermotor.
Salah satunya ya kejadian jatuh tadi. Dari situ saya bisa tahu jalan tidak rata, setelan sepeda kurang pas, dan saya pun kurang gesit untuk mengantisipasi jatuh. Saya sudah berusaha untuk menggulingkan badan dengan bertumpu pada tangan kanan. Sayangnya reflek kurang. Beruntung ada helm yang menahan kepala saya sebelum dahu dan bibir menyentuh aspal. Pergelangan tangan kanan lebam.
Dengan bersepeda saya lebih mengenal daerah dan juga jalanan. Bisa berhenti kapan saja dan dengan segera tanpa waswas. Ngobrol dengan pemilik warung atau pekerja di kebun sawit. Juga pemburu celeng yang menggunakan senapan “bumbung” adalah nilai lebih dari “wisata bersepeda”.
Sore itu, sembari menikmati mi rebus plus telur ceplok, saya memandangi cakrawala yang memudar. Lembayung yang selalu mengingatkan diriku untuk masuk rumah kala kecil. Namun tidak untuk saat ini. Saya tidak mungkin masuk rumah. Perjalanan masih jauh. Tubuh boleh lelah, namun mental harus tabah. Itu yang selalu saya latih dari setiap perjalanan bersepeda.
Gelap mulai membekap hari. Kami harus segera melanjutkan perjalanan. Masih ada 30-an km. Lampu dipasang. Yang memiliki lampu terang memandu yang lampunya lemah. Beriringan kami harus melaju. Melewati pinggir pantai, beberapa perkampungan sempat mengalami pemadaman listrik.
Jalanan relatif mulus namun menyimpan jebakan. Jadi mata tetap harus fokus. Federal masih menunjukkan tajinya. Kendali kali ini saya serahkan ke Fami yang lampunya lebih terang.
Berhenti sekali di Alfamart karna rasa sakit di tangan mulai tak tertahankan. Saya akhirnya minum Ponstan untuk mengurangi rasa nyeri. Ternyata lumayan membantu. Tak terasa gerbang Sawarna sudah di depan mata.
Memasuki hutan lindung masih harus menaklukkan tanjakan. Sempat ada yang bertanya masih berapa tanjakan lagi di depan. Saya hanya jawab tinggal di depan itu saja. Di sini saya semakin mengagumi Federal ini. Tanpa mengganti gigi karena memang susah, sepeda masih mampu melahap tanjakan dengan kondisi jalan yang tak rata. Saya harus mengerahkan sekuat tenaga karena sudah tak ada penolong lagi selain TTB.
Tak ada perjalanan yang tak berakhir. Begitu juga dengan yang kami lakukan. Juga dengan si Biru Pedralku. Widi Homestay menjadi tujuan akhir dari perjalanan kami. Mandi, makan malam, ngobrol, lalu tidur.
Esok paginya saya memperkenalkan si Biru Pedral kepada Pantai Ciantir dan Batu Layar. Tuntas sudah perjalanan inreyen sepeda “baru”.
Sawarna edisi pertama ada di sini.
Sawarna edisi kedua ada di sini.
Hi…perjalanan Sawarna nya seru yahh…sy pernah kesana tp lwt EO and lumayan perjalanan jauh dr jkt, brgkt malem smp sana shubuh. Berat bgt yah touring sepeda? Soalnya sy tertarik coba, sepeda sy MTB biasa
Mau tanya2 banyak, tp bisa lwt japri ngga yah?
Thanks!!
Berat tidaknya tergantung om. Kalau saya suka touring jadi ya menikmati. Memang terkadang merasa capek, namun banyak pengalaman yg bisa diperoleh dengan touring.
Silakan japri. Sepanjang bisa jawab akan saya jawab. Kita bisa sharing soal touring.
Soal sepeda semua bisa dipakai kok. Apalagi MTB, sudah mumpuni. Tinggal tambah sana-sini supaya nyaman dan aman utk touring.
Regards,
gsr
Sent from Samsung tablet
Errr…sy jgn dipanggil om, nama sy Panny, kalau tdk keberatan bisa share detil rute2 nya? Thanks a lot…
Regards,
Panny
rute ada. nanti saya cari dulu filenya. yg jelas dua kali saya lewat rangkas – malingping – bayah via gn kencana.
eh, maaf, jadi panggil apa?
Call me bond…james bond #pasang kaca mata hitam #kibas rambut
Hehehehe…
Iya mas gusur….boleh yah rute detil nya and kontur jalan nya kalau inget
Thanks yaaahhh
– panny –
emailnya apa ya? saya kirim tracknya lewat email saja. terima kasih
panny_d@yahoo.com
Thx alot
Panny
sudah saya kirim ya filenya. silakan disimak hehe