
Bersepeda sendirian menyusuri jalan di beberapa negara Asia membuat Aristi memiliki definisi tersendiri sebuah touring: meditation journey.
Bagi orang yang tak menekuni dunia touring, bersepeda jarak jauh dianggap sebuah paradoks di era serba cepat ini. Ya, mengapa harus berlama-lama untuk menuju ke suatu tempat jika sudah ada kendaraan yang lebih cepat? Mengapa harus capai-capai melawan panas dan menembus hujan jika ada angkutan yang lebih nyaman?
Touring memang berbeda dengan naik gunung misalnya. Untuk menuju puncak mau tak mau harus jalan. Bisa saja menggunakan transportasi lain tapi tak lazim. Sedangkan touring menyusuri jalan raya bisa digantikan oleh kendaraan bermotor, baik angkutan umum atau kendaraan pribadi. Inilah yang membuat sebagian orang menganggap bersepeda jarak jauh sebagai hal yang gila.
“Bagi yang tidak menekuni dunia ini memang sulit untuk mengerti. Saya jadi teringat dengan kata-kata RA Kartini saat berkunjung ke Jepara: ‘Seindah-indahnya kebahagiaan adalah bisa mengalahkan diri sendiri’. Mungkin itu bisa memberi gambaran mengapa bagi sebagian orang touring begitu menarik hati mereka. Ya, dalam touring kita harus mengalahkan diri sendiri untuk mencapai sebuah tujuan,” kata Aristi Prajwalita Madjid, perempuan pekerja bidang kesehatan masyarakat yang sudah menyusuri Malaysia – Vietnam (26 hari, 1.120,7 km) dan Hanoi – Beijing (30 hari, 1.866,3 km) seorang diri dengan sepedanya.
Seperti kebanyakan orang, persinggungan Aristi dengan sepeda tentu saat masih kecil. Hanya saja, ketika yang lain meninggalkannya saat masuk ke dunia perguruan tinggi, Aristi yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia masih saja setia mengayuh. Kegiatan yang tak lumrah di saat itu, terlebih bagi seorang perempuan, ternyata memberi manfaat berlimpah saat dia harus bekerja sebagai tenaga kesehatan di wilayah perbatasan Malaysia dan Thailand.
Cerita seorang Aristi akhirnya bermula dari sepeda dan perbatasan itu.
Melewati jalur ranjau
Selepas dari FK-UKI Aristi bekerja di sebuah klinik di Malaysia. Sang pemilik klinik ternyata ingin membuka tempat pelayanan kesehatan yang lebih privat di Delta Mekong, Vietnam. Ini mirip dengan tanggung jawab sosial (CSR) karena ibu sang pemilik berasal dari wilayah ini. Aristilah yang ditugaskan untuk mengurus pusat kesehatan itu. Nah, untuk operasional di sana Aristi lebih banyak menggunakan sepeda.
Saking sudah mengenal jalan-jalan di Vietnam dan juga Malaysia, plus kesukaan akan sepeda menumbuhkan minat Aristi untuk mencoba mengayuh pedal menyusuri Sungai Mekong Delta sampai Vietnam. Ternyata ia ketagihan dan merancang rute yang lebih jauh: Malaysia – Thailand Selatan – Kamboja – Vietnam. Ia pun mencari informasi soal touring. Dari majalah Cycling ia menemukan nama Paimo atau Bambang Hertadi Mas yang ternyata sudah pernah melalui jalur yang akan Aristi lewati.
Saat ke Indonesia, Aristi pun menemui Paimo dan banyak bertanya karena ia berniat berkemah selama perjalanan. Tidak menginap di penginapan. “Ala backpacker-lah,” katanya.
Akan tetapi rencana touring itu tidak dikabarkan ke orangtuanya karna takut tak diberi izini. Untuk menghindari kecurigaan kedua orangtuanya ia berangkat dari kontrakannya di bilangan Cawang. Ini menyalahi aturan karena selama ini jika ia kembali ke Malaysia atau Vietnam selalu berangkat dari tempat tinggalnya di Bogor.
Toh Ibunya mencium ada yang tidak beres sehingga malam sebelum Aristi berangkat sang Ibu menelepon. “Mbak (Aristi adalah anak pertama dari dua bersaudara – Red.), besok Ibu mau antar ya?” Mencoba berkilah, Aristi akhirnya menyerah. Ibunya pun menemukan jawaban mengapa belakangan hari Aristi bolak-balik ke bengkel sepeda. “Saya harus belajar ngebengkel agar jika terjadi masalah bisa mengatasinya.”
Restu dari sang Ibu diperoleh dengan catatan: setiap menemani arisan Aristi harus memakai rok. Sementara restu dari ayahnya diberikan dengan syarat tidak antarnegara. Saat itu Aristi mengiyakan saja karena tak berpikiran bahwa ia bisa mengayuh pedal sejauh itu. Namun di lapangan ternyata hatinya berkata lain. “Sampai perbatasan kok rasanya sayang gitu. Jadi, ya aku langgar saja ‘perjanjian’ dengan Ayah.” Ternyata kabar ia menyeberang ke Vietnam terendus Suara Pembaruan. Dari sini Ayahnya tahu dan menelepon Aristi, yang kemudian dijelaskan alasan ia menyeberang perbatasan.
Dalam touring kali ini, yang mendebarkan adalah saat melintas di wilayah Pattani, Thailand Selatan. Pemandangannya sangat bagus. Dari arah Malaysia, sebelah kanan laut, sementara sebelah kiri pegunungan. Jalanan naik turun. Banyak blokade tentara, mulai dari Narathiwat, Sai Buri, hingga Nong Chick. Jalanan sepi.
Tiba-tiba dari belakang ada motor yang menyejajari Aristi. Pengendaranya seorang perempuan membawa senapan. Dari gerak dan bahasa tubuh perempuan itu menyuruh Aristi untuk kembali ke highway. Meski jalur yang dilalui Aristi terdapat di peta, namun ini bukan jalur utama. Aristi tidak mau dan akhirnya perempuan itu mengirimkan sinyal untuk berhati-hati lalu pergi melanjutkan perjalanannya. Sepanjang jalan itu Aristi sangat menikmati pemandangan karena sepinya lalu lintas. Ia malah sempat memasak makanan di pinggir jalan.
Aristi baru mengerti mengapa jalanan sepi setelah ia tiba di Bangkok. Temannya kaget begitu tahu Aristi lewat Pattani. “Itu ‘kan sedang dilakukan penyapuan ranjau! Dua hari lalu sempat ramai karena terjadi tembak-tembakan antara tentara Thailand dan kaum separatis,” Aristi menirukan kekagetan temannya itu. Mendengar cerita itu Aristi langsung lemas.
“Kadang-kadang ketidaktahuan itu anugerah,” ujar Aristi. Seandainya ia tahu dari awal, tentu ia tidak akan melewati jalur itu. Akan ada banyak pertimbangan jika harus melewati jalur itu. Baginya, tidak tahu kadang lebih bagus daripada tahu terlalu banyak.
Asia lebih menantang
Berhubung waktunya fleksibel, maka Aristi tidak terbebani oleh jarak. Di awal perjalanan ia membatasi gowesannya tak lebih dari 100 km. Baru hari keempat dan seterusnya ia berani menempuh jarak di atas 100 km.
Kebebasan itu ditunjang oleh akomodasi yang dilakukan: mendirikan tenda. Berhubung sepanjang jalan tidak ada tempat khusus bertenda, Aristi pun menyasar halaman tempat ibadah. Kalau tidak masjid, ya vihara. Masjid banyak ditemui di Malaysia, sedangkan vihara di Thailand. Nah, di Vietnam agak sedikit susah mencari tempat mendirikan tenda. Vihara agak jauh letaknya, sedangkan halaman rumah penduduk sempit. Akhirnya ia memutuskan menginap di penginapan murah semacam youth hostel. Begitu juga dengan di Kamboja.
Kendala bahasa tak menjadi alangan. Banyak penduduk di Vietnam dan Kamboja yang tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Akhirnya bahasa “tarzan”-lah yang dipakai. Toh komunikasi bisa berjalan juga. Aristi lalu akan diberi penjelasan tempat mana yang boleh digunakan untuk mendirikan tenda.
“Di Cina malah susah untuk mendirikan tenda. Lalu kalau menginap harus di hotel bintang tiga ke atas karena aku dianggap sebagai wisatawan. Dan tidak murah menginap di hotel. Setidaknya keluar uang sekitar Rp500 ribu.”
Karena tak bisa mendirikan tenda dan tak mungkin terus menerus menginap di penginapan, Aristi pun menyiasati saat touring ke Cina ini. Misalnya dengan menaruh sepeda dan perbekalannya di loker stasiun kereta api lalu ia nongkrong di rumah makan cepat saji macam McDonald yang buka 24 jam. Tidurnya dilakukan sambil duduk. Tidak nyaman memang, tapi itulah siasat untuk berhemat.
Lain kali Aristi tidur di peron stasiun kereta api bersama gelandangan. Ketika saatnya tidur tiba ia membuka sleeping bag dan meringkuk di dalamnya. Naasnya, saat itu Cina sedang musim gugur namun diserang badai Megy. Alhasil suhu udara bisa anjlok sampai 3 derajat Celcius. “Terpaksa aku beli baju-baju polar. Pengeluaran ekstra deh, haha….” Niat mau ngirit malah kejepit.
Kala lain ia menginap di rumah penduduk, seperti dialaminya saat di perbatasan Cina – Vietnam. Rumahnya masih semipermanen. Agak sedikit kaget Aristi sebab ternyata penduduk lokal sangat terbuka dengan kedatangannya. Hal seperti itu yang menguatkan Aristi bahwa apa yang dialami orang lain belum tentu sama dengan apa yang kita alami. “Sebelum touring ke Cina ada yang bilang, jangan masuk Cina lewat darat. Nanti ada banyak penjahat” Kenyatannya, Aristi relatif tidak ada gangguan saat masuk ke Cina.
Namun bukan berarti bahaya tak mengancam. Aristi menyadari bahwa sendiri, perempuan, di negeri orang tentu menjadi sasaran empuk mereka yang ingin berbuat jahat. Untuk berjaga-jaga, Aristi selalu mengantungi alat kejut-listrik. “Saya belinya pas di Bandung.”
Alat itu ternyata bermanfaat ketika di Beijing ia nyaris dirampok. Awalnya ia kebingungan karena jalan yang akan dilewatinya sedang diperbaiki. Lalu seorang pemuda menolongnya mengantar mencari jalan alternatif. Ketika di tempat sepi, pemuda tadi meminnta uang ke Aristi. Terpaksa “senjata” yang selama ini disimpan dikeluarkan. Berhubung Aristi tahu titik-titik lemah tubuh manusia, maka pemuda tadi langsung terjengkang tersengat listrik. Sebenarnya Aristi merasa kasihan karena tidak menduga hasil sengatan listrik seperti itu. Akan tetapi karena terancam ia pun segera bergegas pergi.
Kapokkah Aristi dengan petualangannya itu? Tentu saja tidak. Ia bahkan sudah menyusun rencana tahunan untuk solo touring menyusuri beberapa negara. Beberapa negara Asia sudah masuk dalam daftar tunggu. Mengapa Asia? Karena lebih menantang dibandingkan dengan Eropa. “Di Eropa semua sudah well-prepared. Jalur sepeda sudah ada, camping ground yang aman dan nayaman ada di setiap pinggiran kota. Komunikasi tidak masalah,” kata Aristi yang sudah mencoba jalur Belanda – Belgia seorang diri dan menuju Mont Blanc bersama legenda touring Indonesia, Bambang Hertadi Mas.
Banyak pengalaman yang didapat Aristi saat touring dengan sepeda. Pengalaman yang belum tentu bisa diperoleh jika menggunakan alat transportasi lain. Hal inilah yang membuatnya ketagihan untuk melakukan apa yang ia sebut meditation journey. (Intisari Extra: Inspirasi Perempuan)