Gunung Merapi setelah letusan besar beberapa waktu memiliki wisata baru, Lava Tour. Ya, berkeliling melihat sisa2 keganasan bencana alam. Banyak ragam cara untuk menikmatinya. Salah satunya dengan sepeda. Itu yang saya pilih.
Sebenarnya ada cara nyaman, membonceng motor trail atau menumpang jip. Namun berhubung sekalian melemaskan otot kaki, bersepeda juga melawan diri sendiri. Jalan ke lokasi yang menanjak amat menggoda.
Pagi2 sekali, dari rumah seorang kawan di Jln Kaliurang km 5, saya mulai mengayuh si jablay. Ya, sepeda ini memang jarang dipakai sehingga sesekali kudu disiksa jika tidak mau jadi besi rongsokan.
Udara masih dingin. Jalanan juga masih sepi. Pelan tapi pasti jalan mulai menanjak. Beberapa kali menyalip pesepeda lokal. Bertegur sapa sebentar lalu mohon mendahului. Kawasan Merapi di sekitar lokasi bencana memang menjadi tujuan para goweser di akhir pekan. Ada yang berombongan, ada yang sendirian. Ada yang ber-MTB, ada yang ber-road bike. Semua seirama: dikayuh.
Karena terbatasnya waktu, maka saya hanya berhenti untuk membeli roti dan minuman. Lupa sarapan, tepatnya tidak ada sarapan, membuat saya harus berhenti kalau tidak mau diganggu pusing.
Memasuki kampungnya Mbah Maridjan jalan mulai tak ramah. Nanjak habis. Beruntung naungan pepohonan melindungi badanku dari panas matahari. Sedikit demi sedikit sosok Merapi mulai terlihat. Cuaca di pagi hari cenderung cerah. Vegetasi yang dulu rimbun lenyap diterjang awan panas. Penghijauan yang dilakukan belum menampakkan hasilnya. Bumi perkemahan yang ada di sisi Kali Kuning juga masih rata dengan tanah.
Merapi mulai terlihat jelas. Geger boyo yang jadi pengahalang wedus gembel untuk mengalir ke arah selatan sudah tak tampak. Kroak. Menganga. Kepulan asap kepundan terlihat jelas. Semakin ke atas, lautan pasir semakin banyak.
Melihat sebentar rumah Mbah Maridjan kayuhan semakin berat. Terus mendaki sampai batas motor trail pengantar wisatawan Lava Tour tidak boleh melintas. Jalur memang penuh pasir. Saya mencoba terus sampai jalan buntu. Di depan sosok Merapi seperti menyapa. Silakan lanjut jika berani.
Sayang, waktu memberi batas. Saya harus segera turun. Turun tentu lebih cepat. Toh aku tak mau cepat2 berpindah tempat. Jogja dari atas di pagi hari masih menyisakan kekaguman. Pelan tapi pasti hilang dari pandangan. Tak lama lagi aku akan menjadi bagian dari pemandangan itu.
Sur , suatu hari aku ingin gowes ke merapi. Boleh ikut Sur ? Thx u
ayuk aja. asal pas waktunya tak temani.