4 Tahun 2 Kasus

Sepeda pertama untuk ngantor

8/8/2008. Sengaja saya memilih tanggal unik sebagai penanda untuk berkomitmen nyepeda ke kantor. Waktu kebetulan juga sedang demam Olimpiade di Beijing. Empat tahun berselang, Olimpiade London mengingatkan diriku akan komitmen itu.

Tanpa terasa 4 tahun bergulir dengan cepatnya. Seirama dengan roda sepeda yang aku kayuh. Sepertinya baru kemarin aku ngos2an merayapi jembatan layang Kalibata. Belum mengenal celana padding, jersey, rak, dan asesoris lainnya. Namun sudah berhelm.

Belum rutin setiap hari. Waktu tempuh untuk jarak 20-an km 1,5 jam. Banyak berhenti. Sepeda bukan barang baru bagi saya. Bersepeda jarak jauh juga bukan pertama kalinya. Namun, bersepeda di tengah keramaian Jakarta merupakan pengalaman baru. Hiruk pikuk kendaraan dan kondisi cuaca yang cenderung panas menjadi tantangan tersendiri.

Beruntung kantor saya menyediakan shower di tiap lantai. Jadi bisa bilas atau mandi besar menghalau keringat dan membuat badan segar. Saat itu sudah banyak yang melakukan b2w. Saya sebenarnya sudah sejak lama ingin ber-b2w. Namun sepeda yang ada terlalu cupu, Federal cewek butut. Sementara yang parkir di kantor sekelas Giant.

Ketika akhirnya terbeli MTB Specialized M5 generik, saya pun memberanikan diri. Meski generik – yang sebenarnya saya tak tahu- saya merasa pede. Sepeda itu nangkring di salah satu blower AC di samping tembok kantor.

Selama 4 tahun itu, setidaknya dua kasus besar menimpaku berhubungan dengan aktivitas ngantor bersepeda. Dua-duanya berhubungan dengan sepeda motor. Sama-sama roda dua tapi yang bermotor ini jumlahnya bejibun di Jakarta.

Pagi itu, saya berangkat kerja melewati Kemang. Ini rute lain saya untuk menghindari kebosanan lewat Jln. Gatot Subroto – Semanggi. Saat sampai di wilayah Kemang, jalan menanjak dan lalu lintas macet. Saya ambil sisi kiri antrian mobil yang macet. Di depan kosong karena jalan menanjak sehingga saya tidak bisa kencang genjotnya.

Dari belakang motor ingin mendahului sambil membunyikan klakson berkali-kali. Mau minggir ke bahu jalan tidak mungkin karena konturnya tidak rata dan jarak antara aspal dan tanah bahu jalan cukup dalam. Ada sekitar 5 cm. Saya mencoba bersabar, namun tidak untuk klakson yang kesekian. Saya pun teriak menyuruh dia untuk lompati saya.

Mungkin karena kesal, pengendara motor tadi hanya bisa menggerum-gerumkan motornya. Sampai suatu ketika ia berhasil melewati saya dan dengan provokatif menutup jalur saya. Otomatis saya yang sudah emosi jadi mangkel. Berusaha menyelinap di antara kemacetan untuk bisa “membuat perhitungan”.

Karena jalanan macet maka saya bisa menyalip dia dan provokatif juga langsung menghentikan sepeda tepat di depan dia. Spontan pengendara motor tadi marah dan “mengajak adu mulut”. Saya meladeni sebentar sebelum ngeloyor karena klakson kendaraan membuat saya tak enak.

Beruntung pengendara motor tadi tak menyalip saya. Entah apa jadinya kalau berhasil karena jalanan di depan sudah agak sepi.

Kasus kedua saya alami di Jln. Raya Pasarminggu arah Stasiun Pasar Minggu. Selepas SPBU Volvo jalana macet dan seperti kejadian pertama, seorang pengendara motor di belakang saya mau memaksa menyalip saya. Saya tegaskan memaksa karena jelas celah sempit masih memaksa laju motornya untuk mendahului saya sehingga beberapa kali spion dia atau setang dia menyenggol saya.

Saya sudah berteriak untuk sabar sebentar, namun sepertinya pengendara itu tak mendengar atau tak menggubris. Sampai sebelum pertigaan yang ke arah Pejaten kalau belok kanan, saya terpaksa menggunakan siku dan kaki kanan untuk mendorong motor itu.

Terang saja si pengendara motor marah dan mau mengajak berantem. Untung banyak pengendara motor yang simpati sehingga pengendara tadi langsung ngegas bablas. Saya hanya bisa menggeleng2kan kepala sambil mengatur napas menahan emosi.

Sejak dua kejadian itu saya mencoba untuk tak terprovokasi. Kalaupun diklakson terus-menerus saya seolah tuli. Begitu juga ketika ada yang memaksa menyalip, selama tidak memungkinkan aku tetap bertahan.

Dinamika lalu lintas di Jakarta memang membuat kepala orang mudah tersulut api emosi. Terlebih di saat cuaca panas. Tapi kalau diumbar, tak akan ada kedamaian di sana. Yang menang pun belum tentu sumringah. Apalagi yang kalah.

Toh aku tetap berbulat tekad untuk gowes ke kantor. Selama masih bisa!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s