Seseorang bertanya, sehari harus menempuh berapa kilo dalam touring? Saya balik bertanya, sudah berapa lama touring? Ternyata belum lama.
Terus terang saya yang minim pengalaman touring tak bisa menjawabnya. Banyak faktor yang mempengaruhi hal itu. Jarak harusnya bukan acuan. Begitu juga waktu.
Waktu? Iya. Sebab dalam touring ternyata ada hal yang bersifat sangat personal. Jika kepersonalan itu menjadi kolektif, maka tak masalah jika touring dilakukan pada waktu yang tak umum.
Seorang legenda touring, kata teman, membatasi maghrib sebagai titik akhir perjalanan di hari itu. Jika tidak menemukan penginapan, ia akan mendirikan tenda di tempat yang aman.
Namun, di sebuah blog saya membaca ada penjelajah bersepeda yang suka menembus malam dalam touring. “Saya ini golongan nokturnal,” begitu guyonannya. Nokturnal adalah makhluk hidup yang beraktivitas di malam hari. Lawannya makhluk diurnal. Kebanyakan manusia adalah makhluk diurnal alias beraktivitas di siang hari.
Gowes malam dan gowes siang tentu sangat berbeda. Butuh lampu penerangan, terutama di tempat yang gelap. Ini membutuhkan konsentrasi yang lebih saat menggowes, meski gowes siang pun kadang tak fokus karena melihat pemandangan kiri – kanan.
Jika terjadi masalah lebih sulit mengatasinya pada gowes malam. Saya dan teman-teman pernah mengalami ban bocor di pinggir jalan yang gelap saat malam hari. Kanan kiri hanya sawah sehingga terpaksa mengganti ban di tengah kegelapan.
Namun, bagi yang suka dengan keheningan, gowes malam menawarkan banyak sensasi. Juga terhindari dari panas, meski tetap harus minum dalam jumlah yang banyak demi menghindari dehidrasi.
Kembali ke pertanyaan tadi, maka jawabannya bukan kilometer yang jadi acuan, tapi waktu. Jika tidak terbiasa gowes malam, lebih baik berhenti mengayuh sebelum lampu penerangan jalan menyala. Segera cari penginapan, dan jika tidak memungkinkan, tanya penduduk lokal tempat yang aman untuk mendirikan tenda.
Selamat ber-touring kawan! Nikmati dunia dari atas sadel.
Gussur Ngeblog 