“Wah, gak bisa pakai sepeda beginian ke Dieng. Tanjakannya begini,” begitu kata seorang sopir truk yang bertemu di sebuah warung makan di sisi luar Terminal Mendolo, Wonosobo. Telapak tangan sopir itu menggambarkan tanjakan Dieng yang begitu terjal.
Saya pun menjawabnya dengan guyon. “Jangankan yang begitu. Yang begini pun teman saya bisa menaklukkan kok,” kata saya menunjuk Yanto sambil memperagakan telapak tangan yang rebah.
Sopir tadi tertawa mengetahui pikiran nakalku. Namun, tanjakan menuju Dieng memang ekstrem. Saya pun tidak akan ngoyo. Kalau gak kuat ya dorong.
***
Tanjakan langsung menyapa kami begitu lepas dari Terminal Medolo. Saya ambil jalan ini karena tidak dilalui kendaraan umum. Jadi setidaknya sepi. Jalan Lingkar Utara namanya. Baru saya ketahui setelah membaca di salah satu plang petunjuk jalan.
Tanjakan konstan hampir sekitar 7,5 km sebelum bonus turunan membuat perjalanan ini panas sebelum waktunya. Cuaca juga sedang terik.
Sepeda Federalku sedikit bermasalah di fender yang terpaksa tak aku pasang semua bautnya. Bunyi yang cukup mengganggu kala melibas jalan rusak. Jalur lingkar ini bertemu dengan jalur utama Wonosobo – Dieng di Kecamatan Mojotengah.
Tanjakan dari 800-an mdpl ke 1.200an mdpl sebelum turun ke 900-an mdpl. Di sini kami berfoto bersama di bawah plang jalur yang menunjukkan kalau ke arah kiri ke Kota Wonosobo, sedangkan ke kanan ke Dieng.
Jalur utama Wonosobo – Dieng cukup ramai. Truk, bus, kendaraan pribadi mulai menyalip kami. Beberapa menyapa dengan klakson manisnya. Klakson yang sama kami terima dari beberapa biker yang sepertinya mau ke Dieng juga.
Beberapa kali regrouping sebelum akhirnya hujan mulai menetes di wilayah Kecamatan Kejajar. Waktu sudah menjelang maghrib. Oleh karena itu kami sekalian memasang lampu dan tentu saja mantel. Hanya Yanto yang nekat tak bermantel. Bukan sok jago tapi emang karena tidak membawa mantel hehe …
***
Nanjak bersama hujan senang-senang susah. Tidak panas tapi kalau di tempat tinggi seperti ini jadi menggigil saat berhenti agak lama. Kebetulan badan saya tipis. Terus kepala basah kadang bikin pusing. Namun jika kepala ditutup plastik menjadi pengap sehingga tidak nyaman juga.
Hujan selalu menampilkan kejujuran drainase sebuah wilayah. Beberapa kilometer dari tempat start tadi, memasuki kawasan permukiman, air luberan dari selokan yang mampat mengalir ke jalanan, berbagi dengan pengguna jalan.
Kontur tanah yang miring semakin menguras isi selokan. Bahkan tak jarang saya melihat sebuah air mancur muncul dari selokan. Ya, air selalu mencari celah ketika terantuk sumbatan.
Air cokelat menunjukkan bahwa ia menggerus tanah yang telanjang. Pertanian terbuka di beberapa lereng di Dieng memang semakin marak. Akibatnya, jika hujan begini maka tanah pun ikut terbawa aliran air.
Beberapa aliran air yang tumpah ke jalan cukup tinggi. Ketika menerjang aliran itu dan melihat ke bawah, orientasi tiba-tiba berubah dan bisa jatuh jika tidak segera melihat ke kejauhan. Namun sesekali kudu jeli melihat sebab selain bebatuan yang ikut dalam aliran air itu, beberapa buah seperti kentang dan bahkan melon ikut ke jalanan.
Hujan tak segera berhenti namun tak sederas sebelumnya. Gelap sudah mulai menyelimuti perjalanan kami ketika memasuki kawasan Tieng. Sementara perut sudah minta diisi. Segera saya mencari warung yang semakin susah. Maklum, hari Lebaran Haji. Banyak warung tutup.
Di sebuah pengkolan, sebuah warung kelontong terlihat masih buka. Fredy sudah di situ membeli air kemasan. Saya segera bertanya ke pemilik warung apa bisa membuatkan mi rebus. Ternyata mau namun ingin sholat dulu. Ya sudah, sambil menunggu Yanto dan Ketut kami mulai menepikan sepeda ke emperen warung merangkap rumah itu.
Melihat ada gula merah, saya langsung mengambil sepotong. Jadi ingat kala mendaki gunung zaman baheula. Selalu membawa gula merah sebagai doping. Sambil menunggu mi direbus gula merah pun menjadi cemilanku.
***
Perut terisi kami pun mulai jalan lagi. Kampung mulai tertinggal di belakang dan kami pun menembus kegelapan. Saya mulai menggigil kedinginan. Sarung tangan basah, kaki basah, kepala basah.
Sebenarnya pemandangan menggoda untuk berhenti. Dalam gelap itu bayang-bayang G Sindoro seperti mengawasi kami. Sementara nun jauh di bawah sana, kerlap-kerlip lampu seperti kunang-kunang di tengah padang.
Kami saling menunggu sebelum berjalan lagi. Sebisa mungkin kami menggowes dalam batas amatan masing-masing. Ini untuk mengantisipasi jika ada salah satu dari kami yang mengalami musibah bisa saling membantu.
Fredy, lalu bercerita kembali soal suara anak ayam yang ia dengar saat malam-malam menggowes dari Kota Bunga Puncak ke Pacet. Setelah googling ia baru tahu bahwa suara anak ayam itu berkonotasi dengan makhluk halus. Apalagi bulu tengkuknya berdiri. Oleh karena itu ketika ia menggowes paling depan dan berhenti saat akan memasuki kawasan “hutan” saya pun maklum adanya.
Setelah dapat bonus turunan landai, kami pun akhirnya tiba di gerbang kawasan Kawah Dieng. Yanto mencoba memotret gerbang itu di kegelapan. Dari gerbang ini kawasan wisata Dieng sudah dekat. Waktu sudah menunjuk ke pukul 20.00 kurang.
Akhirnya perjalanan kami mencapai titik akhir di pertigaan yang ada plang penunjuk Telaga Warna. Penginapan yang kami pesan tak jauh dari pertigaan ini. Setelah potret-potret di depan tembok petunjuk, kami pun segera ke penginapan.
Usai membereskan barang-barang dan mandi, kami makan di warung yang masih buka. Tak lama lagi kami harus segera istirahat sebab subuh harus gowes lagi menuju ke G Sikunir.
Malam itu, tanpa minum obat tidur pun saya lelap merangkai mimpi.
*profil melintang dari terminal Mendolo ke Dieng.
*beberapa foto diambil dari Facebook L’homme Yanto.