Menyapa Dieng: Dari Atas Sadel

Beruntung ke Dieng menggunakan sepeda. Beberapa lokasi yang berjauhan serasa dekat tanpa perlu naik ojek. Kontur jalan relatif datar serta cuaca yang sangat mendukung membuat menggowes di Dieng begitu menyenangkan. Sayangnya, waktu terbatas.

G Sikunir adalah tujuanku ke Dieng. Objek wisata ini menjadi primadona bagi pemburu matahari terbit. Posisinya mirip Sawarna Banten, Kiluan Lampung, Pulau Sempu Malang, dll. Para backpacker berbondong-bondong ke Dieng hanya untuk ke Sikunir. Saya sempat bareng dengan komunitas ini saat pulang mapun datang.

Yang lebih mengagetkan lagi, saat di bus ada yang membuka2 foto di laptop hasil jepretan komunitas ini. Salah satu objeknya adalah sepeda yang aku tinggalkan di jalan setapak menuju Sikunir. Sayang, mau ngobrol kesempatan enggak ada.

Waktu ke Sikunir hasrat membawa sepeda ke atas membuncah begitu tanya ke orang lokal sepeda bisa dituntun ke atas. Namun saat mencoba, ada satu bagian yang susah – perlu tenaga dan waktu lama – untuk melewati undakan jalan setapak itu. Akhirnya, sepeda aku tinggalkan saja. Terlebih matahari sudah tinggi.

Membawa sepeda juga memberi keuntungan untuk membuka obrolan. Saat turun dari Sikunir, beberapa orang bertanya2 soal sepeda. Umumnya terheran2 saat tahu dari Jakarta. Membawa sepeda lagi. Padahal saya cuma gowes dari Wonosobo. Namun membawa sepeda dengan bus juga menjadi pertanyaan tersendiri.

Hal lain, mobilitas jadi lebih tinggi. Bahkan bisa memutari Telaga Warno dan Telaga Pengilon. Jika jalan kaki bisa juga. Namun tidak umum sebab yang saya lihat, kebanyakan pengunjung berkonsentrasi di sisi selatan dan sebagian barat telaga saja.

Memutari telaga akan membuka mata betapa pengubahan lahan merusak pemandangan dan bisa jadi mengancam eksistensi telaga. Saat malam2 menanjak ke Dieng, saya melihat suluran2 panjang warna putih menyusuri punggungan bukit. Baru kemudian saya tahu itu juluran pipa yang mengambil air dari beberapa telaga untuk mengairi kebun penduduk. Di sisi timur laut Telaga Pengilon, saya baru melihat ujung dari pipa2 itu dengan beberapa pompa air ngejogrok. Beberapa pompa menyala yang berarti sedang menyedot air.

Kali lain, sepeda membantu kami menuju ke lokasi objek wisata tanpa kecapaian. Ide itu ternyata ditangkap oleh beberapa penduduk lokal. Seperti di Kawah Sikidang, ada yang menyewakan sepeda dari gerbang loket ke kawasan wisata yang berjarak sekitar 500 m. Jarak pendek namun kontur tidak rata.

Begitu juga saat di Kompleks Candi Arjuna. Petugas membolehkan kami membawa masuk sepeda sehingga mobilitas kami lebih luwes. Sebab kami masuk dari pintu gerbang dekat Kawah Sikidang, dan keluar ke gerbang yang tak jauh dari jalur Wonosobo Pekalongan.

Di atas itu semua, menikmati Dieng di atas sadel memberikan persepsi yang berbeda. Saya membayangkan menggowes dini hari ke Sikunir akan menggigil kedinginan. Awalnya iya, karena sarung tangan masih basah. Namun setelah beberapa ratus meter badan mulai adaptasi. Bahkan Yanto teman saya hanya menggowes dengan celana panjang dan kaos bertutupkan kemeja.

Sayang, waktu terbatas. Eksplorasi menjadi kurang. Padahal masih banyak yang bisa disambangi. Suatu saat rasanya harus kembali ke Dieng.

Telaga Warna yang mulai surut

Telaga Pengilon yang “buthek” alias keruh. Masih mau ngaca (ngilo)?

Dalam asap Kawah Sikidang

Kompleks Candi Arjuno

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s