The secret to mountain biking is pretty simple. The slower you go the more likely it is you’ll crash. ~Julie Furtado
Kebun teh sudah biasa satu paket dengan makadam, tanjakan – juga turunan tentunya – dan hawa sejuk. Bersepeda di lingkungan seperti itu hanya satu kata yang terucap, “Indahnya!” Tak peduli napas tersengal-sengal merayapi tanjakan makadam. Begitu berhenti sejenak dan melemparkan pandangan ke sekitar, segala capai tadi serasa menguap. Itulah yang saya rasakan saat menjajal Trek Cisaruni bersama komunitas Kompas Gramedia Cyclists (KGC), Tahu CoCol Pamulang (THCC), dan tuan rumah – Komunitas Garut Cyclist (KGC).
Dibandingkan dengan kebun teh Puncak, Cisaruni masih terasa segar. Bisa jadi karena masih sedikitnya polusi dari asap kendaraan. Kebun teh ini mengingatkan kebun teh Cianten di Bogor selatan. Kebun teh Cisaruni berada di lereng Gunung Papandayan sisi selatan.
Titik awal trek ini adalah sebuah warung yang menjadi tempat mangkal pemetik teh mengumpulkan hasil petikan daun tehnya. Nama daerahnya Desa Sumbadra. Bagi yang suka dunia pewayangan nama ini tentu mengingatkan kepada istri Arjuna, Dewi Sumbadra. Ya, di sekeliling Papandayan sebelah selatan ini kita akan menjumpai banyak nama dari dunia pewayangan untuk menyebut bukit, hutan, atau desa. Pasir Tumaritis, Gunung Semar, Gunung Arjuna, serta nama-nama kerabat Pandawa.
Untuk sampai sini kita bisa menggowes dari Garut dengan jarak sekitar 37 km namun menanjak. Aspal mulus cukup membantu. Jika tidak mau berkeringat, bisa menyewa truk dari Garut yang bisa dipesan melalui komunitas sepeda di Garut. Ongkosnya sekitar Rp300.000. Bisa muat 20-an sepeda. Kami sendiri tentu menyewa truk karena peserta hampir 60 orang dan tidak semuanya memiliki fisik yang tangguh untuk menanjak.
***
Setelah loading dan merakit sepeda, kami lalu berkumpul di pintu masuk Kebun Papandayan. Jalanan aspal menanjak siap dijadikan menu pemanasan. Hari beranjak siang sebenarnya sudah panas. Aspal ini tidaklah mulus dan sepanjang tanjakan. Tak sampai 200 meter langsung bertemu dengan makadam jahanam.
Batu-batu yang bersusun menutup jalan itu masih menyisakan lubang-lubang yang bisa menjepit ban. Dipadu dengan cleat, maka lengkap sudah rasa was-wasku. Trauma jatuh karena cleat masih membayang-bayang. Masalahnya, pedalku cleat semua atas bawah. Dulu sempat ada yang datar tapi copot. Makanya, mengayuh jadi tidak efisien karena pijakan kaki tidak mantap.
Bagi yang tidak kuat, tidak usah memaksa menaklukkan tanjakan ini. Masih ada sekitar 30 km perjalanan dan masih ada tanjakan! Menuntun lebih realistis. Semakin menanjak jalan semakin berat kayuhan, semakin pelan sepeda berjalan. Semakin besar kemungkinan jatuh!
Dari ketinggian titik awal yang 1200-an meter di atas permukaan laut (mdpl), tanjakan berakhir di 1.400-an mdpl dengan jarak sekitar 1,8 km. oleh KGC Garut tanjakan awal ini diberi nama tanjakan “Apanya Dong” yang dinyanyikan Euis Darliah. Ya, apanya dong yang bikin TTB alias Tuntun-tuntun Bike.
Beberapa peserta berpikir rasional di tanjakan awal ini. Separo tanjakan langsung turun dari sepeda dan mulai mendorong sepedanya. Bahkan Ika, satu dari empat wanita yang ikut menjajal trek Cisaruni menyerah mendorong sepedanya. Walhasil, tim sweeper pun menggenjot sambil menggandeng sepeda. Sementara Ika berjalan kaki mendaki sisa tanjakan.
Beruntung sudah memasuki kebun teh sehingga segala penat bisa teredam oleh indahnya pemandangan dan segarnya udara pegunungan. “Yang penting bisa narsis,” begitu komentar salah satu peserta yang berhenti karena kecapaian dan meminta saya untuk memotret. Sambil mengangkat sepedanya, ia bergaya dalam pose yang pasti mengundang decak kekaguman. Latar belakang lembah kebun the yang menghijau dan nun jauh di sana pegunungan yang mengepung Garut.
Tanjakan awal ini memang begitu menguras tenaga dan banyak yang seperti kaget. Maklum, tak ada track datar buat pemanasan sebelumnya. Makadam yang tak rata permukaannya membuat kita harus pandai-pandai menjaga keseimbangan dalam mencari pijakan ban agar tidak terperosok. Terlebih beberapa track tertutup rerumputan.
Track selanjutnya single track dengan sedikit tanjakan. Bebatuan sudah tergantikan tanah. Toh tak leluasa juga sebab di beberapa titik ada genangan sehingga harus hati-hati melintas jika tidak mau kotor atau terjebak di kubangan. Jika sebelumnya di sisi kiri ada Gunung Papandayan, sekarang kita bisa melihat Gunung Cikuray di sisi kanan.
Di jalur ini ada satu titik pemandangan yang sangat indah. Sebuah pohon cemara yang meranggas berdiri menjulang di antara permadani hijau kebun the. Nun jauh di sana Gunung Cikurai tegak menantang. Cuaca sedikit berawan. “Itu pohon kejujuran,” kata salah seorang peserta dari KGC Garut. Berhubung saya berada di paling belakang bersama tim sweeper, saya langsung menggowes tanpa bisa bertanya mengapa disebut pohon kejujuran. Single track tak leluasa untuk mengobrol.
Setelah melalui single track berumput di tengah kebun teh, akhirnya pitstop pertama pun sampai. Tempat istirahat pertama sekaligus makan siang ini mengambil tempat pabrik teh Cisaruni yang berada di bawah pengelolaan PTP VIII. Pabrik teh ini sebagian sudah tidak dipakai, meninggalkan kerangka-kerangka besi yang tak terawat. Bekal makan siang yang dibawa masing-masing peserta pun segera dibuka dan disantap di bawah rindangnya pohon halaman pabrik.
Dari titik awal sampai makan siang ini total jarak baru sekitar 7 km namun butuh waktu sekitar 2 jam. Elevasi pabrik sekitar 1.490 mdpl. Etape pertama ini memang benar-benar menguras tenaga. Beruntung pemandangan dan udara segar menjadi penghibur jiwa.
***
Trek selanjutnya adalah single track yang melintasi beragam pemandangan. Cenderung turun karena pabrik teh tadi merupakan salah satu titik tertinggi dari jalur ini. Melintasi jalur setapak perkebunan, makadam, jalan setapak yang sudah dibeton, menggowes dipayungi kanopi pohon bambu, dan yang paling seru adalah menyusuri punggungan sebuah bukit dengan sisi kanan jurang kebun penduduk. Sementara sisi kiri adalah selokan.
Bagi saya turunan malah menjadi masalah. Soalnya pernah terjatuh saat turun dan sampai sekarang ingatan itu masih melekat erat. Kejadiannya di Puncak, jalur Rindu Alam. Gara-garanya terkejut saat turunan tikungan ada teman yang masih ada di jalur. Sedangkan jalurnya sendiri banyak selokan air. Mencoba berpindah jalur ternyata ban terjepit di saluran air dan terguling dua kali. Begitu bisa menguasai kondisi baru tersadar saya duduk menyelonjor mengarah ke tanjakan. Sementara roda depan sepeda berputar dua kali pada porosnya.
Namun, seperti ungkapan Julie Furtado, pada turunan jika kita memperlambat ada kemungkinan malah celaka. Soalnya khitah turunan adalah pergerakan karena tertarik gravitasi. Jadi, ya lepaskan sambil mengarahkan laju sepeda agar sesuai track. Jika terlalu cepat tentu kita harus menguranginya agar sepeda tetap dalam kontrol kita. Nah, soal pengereman ini ada beberapa versi. Ada yang menekankan untuk menekan rem belakang lebih banyak. Ada yang separo-paro.
Pada beberapa turunan peserta harus antri untuk memberi jarak agar tidak saling tabrakan. Peringatan untuk menjaga jarak sering dilontarkan para pemandu. Jika jalan setapaknya berupa tanah tidak terlalu bermasalah jika jatuh. La, kalau jatuh pada turunan makadam? Malu dan sakitnya bisa seimbang hehehe …
Lain masalahnya saat menyusuri jalan setapak berupa tanah telanjang. Jejak motor yang membentuk saluran membuat kaki harus ikut turun untuk menjaga keseimbangan. Jika keseimbangan kita bagus, bisalah mengambil sisi pinggir jalur meski ada risiko masuk ke saluran atau menyerempet alang-alang atau pohon yang ada di pinggir jalan.
Bagi pengguna sepeda fullsus, etape kedua ini merupakan etape favorit karena banyaknya turunan makadam dengan batu sebesar kepala bocah berserakan. Bagi yang membawa hardtail, siap-siap kaki pegal karena pantat harus diangkat dari sadel jika mau nyaman. Mempertahankan duduk di atas sadel hanya akan menyiksa pantat.
Tantangan etap kedua ini harus diakui adalah menyusuri jalan setapak serupa pematang di sawah. Hanya saja di sisi kiri selokan, di sisi kanan jurang sedalam antara satu dan tiga meter. Jika gowesan kita oleng sedikit, siap-siap memutuskan dalam hitungan sepersekian detik, mau jatuh ke sisi kiri atau sisi kanan. “Saya memutuskan jatuh ke sisi kiri dan melepas sepeda saya begitu ban depan terkena lubang yang tertutup rumputan,” kata Abah. Bisa dibayangkan jika jatuh ke kanan bisa menimbulkan cedera yang lumayan meski jatuh di tanah kebun. Di etape kedua ini memang banyak peserta yang terjatuh dari sepedanya. Ada yang tercebur di selokan karena tidak bisa menjaga keseimbangan, ada juga yang nyungsep saat menerabas “kali” kecil.
Menyusuri etape kedua ini kita disuguhi bukti kesuburan tanah Garut. Sekaligus kurangnya pemberdayaan penduduk dalam mengolah hasil pertanian. Betapa tidak? Banyak tomat yang dibuang begitu saja di pinggir jalan. Bisa jadi karena kendala transportasi atau produk yang berlimpah. “Padahal kalau dibikin saus tomat kan bisa ya?” komentar salah seorang peserta. Begitu juga dengan cabai yang dibiarkan mengering di pohon.
Akhir dari etape dua ini adalah sebuah warung di daerah Padasuka. Setelah semua terkumpul, rombongan langsung melanjutkan perjalanan untuk seterusnya bertemu dengan jalan raya. Turunan lagi. Karena hujan mulai turun, maka peserta menjadi liar. Yang masih kuat langsung tanpa gas meliuk-liuk di antara lalu lalang kendaraan. Etape kedua ini menempuh jarak sekitar 30 km dengan waktu tempuh 5 jam.
Harus saya akui, trek Cisaruni memiliki medan yang unik. Konturnya turun naik dengan permukaan makadam khas perkebunan dan perkampungan di kaki gunung, rumput tebal, single trek tanah, pematang di sisi saluran air.
Trek Cisaruni bisa dilihat di sini.
Kereeeeeennnn! Ayo kapan ke Gunung Karacak? Track-nya masih gress heehehe
Ayuk… Colek agushermawan.com
Ayo…