Lama tak bersepeda nanjak, tawaran itu datang dari Cak Kris, sesama goweser dari Kompas Gramedia Cyclists. Rute yang diusulkan adalah Jogja – Wonosari – Klaten. Langsung aku mencari rute alternatif dan ketemu dengan rute Jogja – Pleret – Dlingo – Playen – Wonosari. Jika dilihat di peta rute ini ada di bawah rute utama Jogja – Wonosari via Pathuk – Gading.
Ditentukan waktu gowes pas ada hari kejepit, yakni 9 – 12 Maret. Tanggal 12 Maret adalah hari libur Nyepi yang kebetulan jatuh hari Selasa. Otomatis Senin kejepit dan kami memutuskan cuti. Berangkat Jumat malam, dan kembali ke Jakarta Selasa pagi sehingga ada masa istirahat sehari. Ternyata peminatnya cukup banyak.
Yang membuat hati berdebar-debar, dalam rangka survei rute itu, aku menemukan informasi soal Cinomati. Tanjakan Cinomati tepatnya. Tanjakan berkelak-kelok menapak elevasi sekitar 300-an mdpl dalam jarak sekitar 4 km.
Jalur Cinomati ini bisa dicapai dari Jogja melalui Pleret lalu mengarah Dlingo. Setelah Desa Wonolelo tanjakan mulai tersaji. Berkelak-kelok di kerimbunan pohon sebelum akhirnya berakhir di pinggir sawah. Sebuah tanjakan yang memerlukan manajemen tenaga yang efisien jika ingin melahap tanpa berhenti.
Dari gambar di atas terlihat bagaimana rute tanjakan yang berkelak-kelok membentuk seperti hidung. Beruntungnya, dan ini menjadi pertimbangan saya memilih rute ini, jalur ini sepi dan rimbun oleh pepohonan. Saking sepinya, jalur ini sangat menyeramkan di malam hari. Banyak kejadian kriminalitas di jalur ini karena sepi dan gelap di malam hari.
Tanjakan bermula selepas Desa Wonolelo. Tanjakan alus langsung disambut dengan tanjakan curam pendek namun berbelok. Nah, kita tidak tahu apa yang ada di balik kelokan itu. Namun kelokan memberi keuntungan karena ada jeda bagi kita untuk mengatur napas dan tenaga sebelum mengetahui bahwa di balik kelokan itu ada tanjakan yang sama terjalnya.
Setelah melalui sekitar 6 kelokan, tibalah di akhir tanjakan. Perkampungan di sisi kiri dan persawahan di sisi kanan. Namun jangan berharap ada warung. Saat sampai di atas sendirian, saya celingukan mencari warung. Rumah-rumah yang ada pun sepi. Sambil menunggu saya duduk di pinggir jalan yang rindang oleh pepohonan.
Selepas tanjakan itu rute cenderung menurun. Jalur ini akan bertemu dengan perempatan yang di tengahnya tumbuh pohon beringin. Jika ke kanan ke Imogiri, ke kiri Patuk, dan lurus ke Playen. Tanjakan masih ada beberapa namun tak seberapa.
Dari bunderan pohon beringin jalanan masih didominasi turunan. Saya sempat memasukkan rombongan ke jalanan kampung yang sedikit rusak sebagai intermeso sebab di depan ada “gundukan kecil”. Melewati perkampungan dengan jalan tak mulus membuat kayuhan pelan dan bisa merasakan dan melihat suasana kampung di pelosok. Beberapa penduduk menyapa kami.
Lepas dari jalan rusak masih ada turunan sebelum bertemu dengan jembatan yang melintasi S Oya dan … – seperti rumus baku di mana ada turunan dan bertemu jembatan, siap-siap dengan tanjakan.
Selepas tanjakan ini jalan relatif datar sebelum akhirnya bertemu dengan Bunderan Sihono yang sangat terkenal itu.
Berakhir sudah perjalanan yang dari Jogja kesiangan. Gegara macet, masuk Jogja sudah melewati jam makan siang. Alhasil, sampai Wonosari sudah malam, sekitar pukul 20.00.
Dari mana asal nama Cinomati? Masih misteri. Seorang penduduk yang aku tanya hanya menjawab bahwa dulu di tanjakan itu ada orang Cina (Cino dalam bahasa setempat) meninggal (mati). Meninggal kenapa, tidak terjawab dengan pasti.
mas kapan kapan kalo gowes touring lagi tlng saya dikontak, insyaallah ikut
ayo sjaa. 3 mei ini ke ujungkulon. mau?
jalannya ekstrem gan…
motor ku aja sampai di dorong gara2 gak kuat di tanjakan…
hehehe
Justru yg ekstrem yg ducari hehe…Untungnya banyak pohon di kiri kanan. Tapi viewnya bagus …