Sungguh tak terbayangkan bahwa perjalanan sejauh itu terbungkus dalam kurun 3 malam dua hari. Beragam moda transportasi aku jalani. Semua meninggalkan kesan, ironi, tragedi, sekaligus optimisme.
Ada sepuluh pesepeda, 7 dari KGC – Kompas Gramedia Cyclists, sisanya adalah teman2 yang sudah akrab dengan KGC. Hanya saja tidak semua berangkat barengan. Dua pesepeda berangkat menyusul via Cilegon,
Cerita bermula dari Stasiun Tanahabang. Dari titik ini kami berdelapan naik KA Jakarta – Rangkasbitung. Ini ketiga kali bagiku. Yang pertama berangkat Sabtu pagi, yang kedua Jumat malam pk 20.30. Kedua2nya dalam rangka touring ke Sawarna.
Kali ini saya berangkat pkl 19.30. Mencoba mencari pembanding. Karena sudah ketiga kali, maka sudah tidak kaget melihat tarifnya yang Rp2.000. Ya, jarak sekitar 80 km itu hanya berbiaya selembar pecahan uang yang biasa dipakai untuk parkir roda empat.
Sempat terjadi kesalahpahaman antara kami menyangkut kereta mana yang akan berangkat duluan. Di dekat peron ada kereta ke Rangkasbitung juga. Namun ketika Omega tanya ke penumpang yang sudah ada di dalam gerbong, kereta itu berangkat pukul 20.30. Kereta yang pukul 19.30 malah berada jauh dari peron.
Namun ada beberapa teman yang bertanya ke satpam memperoleh jawaban yang berbeda. Jadi, terpaksa bertanya ke pihak yang lebih berwenang. Diperoleh jawaban seperti yang semula. Hanya saja sebagian dari kami akan menunggu di peron karena kereta yang pukul 19.30 akan lewat dekat .
Menit-menit keberangkatan berdetak ketika sebagian dari kami yang sudah menunggu di gerbong barang diberi tahu bahwa kereta hanya akan lewat di peron. Cepat2 teman yang di peron ditelepon untuk segera ke gerbong barang. Cukup deg2an sebab tidak mudah menaikkan sepeda ke gerbong kereta tanpa ada peron.
Segera sebagian pojokan gerbong barang terisi sepeda. Ada beberapa orang bertanya tujuan kami. Tak seberapa lama setelah semua sepeda terangkut dan kami menempati kaveling tersendiri, lokomotif mendekat ke gerbong barang. Ternyata gerbong barang menjadi gerbong paling depan.
Dibandingkan dengan kereta yang 20.30, kereta 19.30 relatif lebih sepi.
Tak ada kendala berarti dalam perjalanan kali ini. Lebih datar dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya yang membuat kami selalu terkenang dengan seorang preman namun masih bisa bercerita soal masa remajanya. Ya, mengetahui kami membawa sepeda, ia yang bergabung main kartu dengan kami pun bercerita ia dulu pernah main BMX. Merek Shimano masih kuat di benaknya.
***
Turun dari kereta kami segera mencari rumah makan. Menyusuri jalan ke arah Alun-alun, karena penginapan berada tak jauh dari situ, kami menemui beberapa warung makan yang sudah tutup. Ada yang buka namun kami ragu-ragu. Sampai di Alun-alun – yang ternyata ramai dan ada odong2 berhiaskan lampu, hiburan khas Alun-alun saat ini – ternyata warung makan yang menurut kami pas tidak bertemu.
Akhirnya kami kembali ke warung makan pertama, yang letaknya tak jauh dari kantor tentara. Pondok Mie Ayam “Uun”. Sudah diambang tutup tapi masih menerima tamu.
Setelah makanan tersaji, semua terdiam dalam makan. Sesekali bersenda gurau tentang perjalanan naik KA tadi. Begitu selesai kami pun segera menuju ke Wisma Sugri. Ternyata bukan ke arah Alun2, tapi memang dekat Alun2. Dari Pondok Mie Ayam tadi lurus saja melewati pertigaan yang kalau ke arah kanan menuju Alun2. Nah, Wisma Sugri sekitar 200 m dari pertigaan itu, di sisi kanan jalan dari arah Stasiun KA.
Bangunannya masih baru. Sempat ada “ketegangan” soal parkir sepeda. Soalnya, pihak hotel menyuruh kami memarkir sepeda di tempat parkir motor yang notabene di depan hotel di pinggir jalan tanpa ada pagar pengaman. Akhirnya kami diberi parkir khusus di sebuah lorong yang bisa ditutup pintu sehingga akses ke luar terhambat.
Setelah melakukan proses check in, kami pun masuk ke kamar masing-masing. Kebaruan hotel masih tersisa. Tidak kumuh, membuat bayangan hotel esek2 saat touring ke Sawarna kedua kali menjadi buyar.
Kamar hotel memang kecil. Terisi tempat tidur single ukuran king. Teve sudah layar datar. AC berada di pojokan bagian dalam.
Setelah mandi dan beberes, aku pun rebahan sambil melihat teve. Istirahat mengumpulkan tenaga untuk gowesan ke Ujungkulon.
***
Di peron Stasiun Tanahabang.
Menguasai pojokan gerbong barang KA Rangkasbitung.
Mejeng di belakang lokomotif.
Menuju Wisma Sugri sembari mencari warung makan.
Pondok Mie Ayam “Uun”
Wisma Sugri.
Wahh seru ceritanya yahhh