Liburan sekolah kali ini saya ajak anak-anak ke Sawarna. Daerah yang dikenal dengan surga yang hilang itu sudah saya sambangi dua kali tapi belum pernah mengajak keluarga. Dua kali nyepeda, dua kali pula jukcing. Jujuk langsung plencing. Alias datang, lihat, nikmati, dan tinggalkan. Maklumlah waktu terbatas karena masih jadi kuli.
Setelah kepergian pertama itu, saya sudah meniatkan untuk membawa anak-anak ke sini. Kebetulan anak-anak suka main di pantai. Terlebih yang sepi. Makanya, saya memilih hari biasa ke Sawarna.
Kali ini saya mencoba jalur Sukabumi – Pelabuhan Ratu – Cisolok – Sawarna. Berangkat agak siang, dari Bogor mencoba lewat jalur alternatif Cijeruk menuju Sukabumi. Lancar-lancar saja sebelum terjebak macet di pasar sebelum Parungkuda.
Melewati jalur alternatif Cikidang untuk melihat tanaman sawit yang sudah besar-besar sekarang. Sayang, tidak ada panenan sehingga tidak bisa menunjukkan ke anak-anak, terutama si bungsu, yang pingin banget melihat kelapa sawit.
Memasuki kawasan Pelabuhan Ratu kaget juga setelah ditarik retribusi. Mobil dipatok Rp30.000. Padahal cuma mau lewat saja. Gebleg juga nih. Kenapa gak ditarik pas masuk ke pantai-pantainya?
Menuju ke Barat dari Pelabuhan Ratu seperti napak tilas saat dulu ke Cipanas. Melihat air panas yang memancar dari tengah kali. Hanya saja kali ini terus ke Barat, melewati tanjakan curam yang dikenal dengan Tanjakan Habibie. Entah mengapa disebut demikian. Bisa jadi karena di puncak tanjakan ada menara pemancar satelit.
Teluk Pelabuhan Ratu dari puncak tanjakan Habibie
Dari pucak ini ikuti jalan sampai kemudian ada pertigaan dengan gerbang bertuliskan Selamat Datang ke Desa Sawarna. Sempat ragu karena perjalanan masih jauh, namun setelah tanya ke tukang ojek yang mangkal ternyata ini jalan tembus ke Desa Sawarna. Bisa saja lurus mengikuti jalan besar, namun memutar sebab itu tembus ke Bayah.
Jalanan memang kecil dan sedikit rusak. Namun masih cukup nyaman untuk dilalui kendaraan. Beberapa material teronggok di pinggir jalan. Sepertinya untuk menambal jalan yang berlubang.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 km dalam kelokan-kelokan tajam, akhirnya sampai juga di Sawarna. Gerimis menyambut kedatangan kami.
***
Sore hari kami hanya di kamar saja. Hujan yang semakin menderas membuat kami tak bisa beraktivitas di luar. Kebetulan di depan kamar JavaBeach disediakan tempat tidur untuk menikmati senja.
Esok hari, selepas sarapan kami langsung ke Pantai Ciantir. Mendung memaksa matahari bersembunyi. Di pantai sudah banyak orang yang bermain-main. Ada yang main pasir, main bola, juga selancar. Ombak di Ciantir memang cocok untuk belajar selancar. Meski agak di tengah banyak karang.
Pagi sampai siang di Ciantir maka sore hari kami menunggu matahari terbenam di Pantai Tanjunglayar. Sayangnya, matahari masih saja disembunyikan cuaca yang mendung. Alhasil kami hanya mengelilingi batu besar yang mirip layar lalu kembali ke Ciantir lagi.
Pantai Ciantir.
Pantai Tanjung Layar
***
Hari kedua kami memutuskan untuk ke Legon Pari. Informasi yang kami peroleh soal rute ke Legon Pari: seberangi sawah di belakang penginapan, mendaki bukit, dan ketemu perkampungan. Lalu ikuti jalan saja sampai ke pantai. Kira-kira 3 km dari penginapan. Sederhana saja.
Menyusuri sawah mengingatkan masa kecil. Namun sisa hujan semalam membuat pematang sawah becek. Sayangnya, si bungsu dan istri hanya bersendal jepit. Alhasil, baru berjalan beberapa ratus meter sudah harus menenteng sendal dan berjalan telanjang kaki karena licin saat menggunakan sendal. Selain itu terkadang sendalnya terjebak di lumpur dan susah diangkat.
Sempat bingung menemui percabangan, untung ada dua orang bapak-bapak pemotong kayu melintas. Diberi petunjuk lagi membuat kami bersemangat. Kali ini mendaki bukit cukup terjal. Matahari belum nongol sehingga hutan itu masih lembab. Nyamuk berseliweran di kepala kami. Si sulung mulai mengeluh dengan kondisi ini.
Di atas puncak bukit ternyata ada percabangan lagi. Berhubung sudah agak jauh berjalan, saya memutuskan untuk ke kanan. Kebetulan ada tapak sepatu mengarah ke kanan. Setelah jauh melangkah dan mendengar suara debur ombak di kejauhan kami yakin sudah mau sampai. Namun begitu melihat pantai dari atas, kami tercekat. Di kejauhan di sisi kiri kami terdapat dua batu menjulang yang sangat familiar. Ya, Tanjung Layar! Wah, salah jalan nih!
Beruntung ada bapak-bapak yang mengaso tak jauh dari kami. Akhirnya kami diberi panduan sambil diantar sampai pertigaan. Si sulung tambah ngedumel. Karakternya memang berbeda dengan si bungsu yang justru menikmati aktivitas lintas alam ini. Padahal sedari tadi dia nyeker. Saya sempat putus asa. Apakah balik saja? Namun melihat perjuangan yang sudah kami lalui, rasanya rugi jika kembali. Jadi, berbekal keyakinan dari petunjuk bapak-bapak tadi, kami melanjutkan langkah kaki.
Benar saja, jalan itu menuju ke Pantai Cikelapa. Dari sini masih harus menyusuri pesisir untuk sampai ke Legon Pari. Ternyata harus berhati-hati sebab banyak ranjau tahi kerbau di sepanjang pesisir ini. Si bungsu keheranan. Tak ada sapi atau kerbau tapi banyak tahinya.
Begitu melihat Legon Pari, segala rintangan tadi seakan menguap.
Tanjung Layar di kejauhan.
Terpaksa nyeker dan menenteng sendal.
Bisa main body surfing juga.
Legon Pari yang sepi.
***
Legon Pari, sesuai namanya legon = kubangan, merupakan kubangan yang terbentuk oleh deretan karang di pinggir laut. Di salah satu sisinya kita bisa melihat karang besar yang menjadi pintu gerbang arus ombak masuk kubangan. Ada “tangga” yang bisa digunakan untuk naik ke salah satu karang besar.
Arus laut masuk dari celah pintu gerbang itu dan timbul ombak yang cukup besar. Saya tidak tahu berapa dalam tempat ombak pertama muncul. Namun di sekitar 20 m dari bibir pantai kontur permukaan dasar laut bergelombang di bagian tengah. Di tepian kubangan kedalaman sepertinya cukup tinggi karena arus ombak lari ke pinggir. Kedalaman itu digunakan oleh perahu nelayan untuk berlabuh dan juga buang sauh.
Di pinggir pantai disewakan papan seluncur dari busa yang bisa digunakan untuk body surfing. Mengingatkan hal yang sama dengan di Pantai Cimaja. Sewanya Rp30 ribu, sepuasnya.
Sayangnya, semakin siang kondisi air laut bertambah kotor. Plastik bekas wadah makanan dan juga ranting pohon mulai memasuki kubangan hingga tidak nyaman lagi untuk bermain-main. Akhirnya kami pun balik melalui jalur yang umum dipakai orang. Baru tahu bahwa ada jembatan gantung kayu juga untuk kembali ke penginapan.
Jembatan gantung menuju Legon Pari