Perjalanan Penuh Warna Ke Ujung Peradaban (2)

Sebelum pukul 07.00 kami sudah meninggalkan Wisma Sugri di Jln R. Td. Hardi Winangun No. 5, Rangkasbitung, Banten 42312. Menuju Alun-alun, lalu belok kanan menyusuri Jalan Jendral Ahmad Yani menuju Pandeglang. Pagi itu beberapa anak sekolah mulai masuk sekolah. Setiap bersua, mereka selalu berteriak “Halo Mister!” Entah, tak hanya di Banten, di daerah Cianjur pun teriakan “Halo Mister!” selalu terucap dari mulut-mulut bocah itu. Dalam benak mereka, yang suka bersepeda bawa-bawa tas di boncengan hanya bule mungkin.

Melewati jembatan Kali Ci Katapis membangkitkan ingatan akan perjalanan ke Sawarna. Hanya saja kali ini tidak ke Sawarna. Tidak lagi menyusuri Sungai Cikatapis yang meski berwarna hijau airnya namun membangkitkan selera untuk berendam karena kami waktu itu melintas di siang hari.

Tujuan kali ini adalah Pandeglang. Jalanan utama menuju Kota Pandeglang lumayan bagus dibandingkan ke arah Sawarna. Ternyata ada tanjakan yang cukup menguras tenaga juga. Elevasi Pandeglang memang lebih tinggi (sekitar 180 mdpl) dibandingkan Rangkasbitung yang 40-an mdpl. Secara geografis Pandeglang memang terletak di lereng Gunung Karang setinggi sekitar 1.600 mdpl.

Menuju ke arah Labuan memang kita disuguhi beberapa bukit dengan ketinggian di atas 1.000 mdpl. Saya sempat menerobos overboden karena konsentrasi pada tanjakan. Saat itu jalanan lurus dan saya melihat di depan sana tanjakan pendek namun ngehek. Sebelum tanjakan ada belokan ke kiri. Saya tidak memperhatikan bahwa di ujung jalan menanjak itu ada tanda larangan masuk.

Pelan tapi pasti saya menapaki jalan itu, sementara dari atas kendaraan besar seperti truk turun perlahan-lahan. Ketika sampai atas tanjakan, saya baru dikasih tahu Ketut dan Pak Djoko kalau jalan ini satu arah. La, kalau sudah tahu satu arah mengapa pada membuntuti aku hehe … Ternyata mereka menunggu di pertigaan dan bingung mau ke mana. Sementara saya hanya melihat di peta jalan lurus itu bisa memotong cukup banyak jarak. Tidak tahunya jalan ke kiri tadi memang jalan yang asli dan jalan yang saya lewati itu jalan baru yang khusus untuk satu arah turun.

Tanjakan lain masih ada dengan puncak elevasi 270 mdpl. Setelah itu turun sampai ke pertigaan Labuan untuk menunggu Fami dan Dimas yang berangkat menyusul melewati Anyer.

Tak seberapa lama begitu kami sampai di Indomaret Labuan, Fami dan Dimas tiba. Setelah regrouping perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini melewati jalan beton di pinggir pantai. Meski tidak selalu di pinggir banget, namun sesekali pemandangan laut terpampang di sisi kanan kami. Di seputaran Panimbang kami makan siang.

***

Sebelum berangkat Yanto menyempatkan beli kerang di lapak tak jauh dari rumah makan. Buat makan malam katanya.

Jalanan masih menyusuri pantai sampai pertigaan yang jika lurus ke Tanjung Lesung. Menurut kabar jalanan jelek. Jadi kami memutuskan belok kiri menuju Cibaliung – Cimanggu. Ternyata pilihan yang salah. Setidaknya menurutku, setelah tahu hasil akhirnya hehe…

Selepas pertigaan tadi, tanjakan kecil mulai menyapa. Yang bikin galau, rintik hujan mulai menetes. Sampai akhirnya hujan besar turun. Kami semua meneduh terpencar-pencar. Cukup lama menunggu hujan agak reda. Dari tempat meneduh aku memperhatikan anak-anak kecil yang justru riang bermain bola di sebuah pekarangan rumah. Teringat masa kecil di kampung yang justru semakin lebat hujan semakin pada semangat untuk berhujan-hujan.

Berhubung sudah terlalu lama menunggu dan hujan kebetulan agak mereda, kami pun menyiapkan jaket antiair dan mengeluarkan raincover untuk pannier yang tak antiair. nekat menerobos hujan. Satu per satu kami mulai keluar dari “sarang” dan menerjang hujan.

Hujan kadang berhenti meski sebentar dan disusul dengan hujan lagi. Sementara jalanan dengan pasti merayap naik sampai elevasi 260-an mdpl dari titik awal 16 mdpl. Elevasi setinggi itu tidak dilalui dalam sekali nanjak. Namun harus melewati beberapa gundukan, sekitar tiga gundukan. Cocok untuk melakukan gurah dengkul.

Sampai akhirnya kami berhenti di pertigaan Pasar Cimanggu. Sore sudah menjelang. Sambil menunggu yang masih berada di belakang, kami mengudap makanan yang ada di sebuah warung. Yanto pun meminta pemilik warung merebuskan kerang.

Ketika kami semua sudah berkumpul, gelap sudah memeluk kawasan Cimanggu. Perjalanan sudah sekitar 105 km. Fisik beberapa teman sudah mulai drop. Apalagi sebentar lagi nite ride dan jarak masih cukup jauh, meski dibilang kontur sudah tinggal menurun. Tapi saya yakin, di dalam tren menurun itu pasti ada tanjakan.

Benar saja. Setelah memperoleh turunan, jalan mulai mendaki. Kami semua merapat satu per satu karena ada yang tidak berlampu lengkap. Sampai di atas tanjakan regrouping kembali. Lalu beriringan kembali.

Di sebuah patung badak besar di pinggir jalan kami berhenti. Berpotret meski dalam kegelapan. Tidak peduli dengan hasil akhir, yang penting berpotret sambil istirahat.

Menjumpai Alfamart kami berhenti. Sumur masih sekitar 10 km lagi. Namun meski dibilang jalan tinggal menurun, dari peta terlihat masih ada elevasi yang berselang-seling. Jadi masih ada tanjakan. Akhirnya diputuskan untuk mencari penginapan di daerah Cimanggu.

Seorang pengunjung Alfamart yang melihat kami mencoba bertegur sapa. Dari obrolan itu ia mengabarkan bahwa tak jauh dari Alfamart ada rumah penginapan di kompleks rumah bekas Camat Cimanggu. Ia bersedia mengantarakan salah seorang dari kami untuk menanyakan apakah rumah itu sudah disewa atau belum.

Yang lain mencoba mencari alternatif, seperti mendirikan tenda di masjid. Ada juga yang bertanya apakah diperbolehkan menginap di Alfamart. Paling tidak di depan toko. Entah bagaimana cara Yanto melobi, tak dinyana, petugas Alfamart malah menyilakan kami untuk tidur saja di dalam toko. Di antara rak-rak makanan? Iya.

Toko Alfamart itu memiliki ruang tidur untuk para petugasnya di belakang toko, menyatu dengan bangunan toko. Ada dua kamar tidur dan dapur plus satu kamar mandi. Saat itu terlihat tiga petugas yang berjaga. Sedangkan di belakang ada satu. Total ada empat pegawai.

Begitulah, kami pun bersiap-siap untuk menumpang di “Hotel Alfamart”. Satu per satu kami mandi sambil menunggu toko tutup. Sebentar lagi toko memang mau tutup. Namun satu dua orang masih terlihat masuk toko untuk membeli barang.

Sebuah mobil menepi dan salah satu penumpang, seorang Ibu-ibu berbelanja. Sementara pengemudianya turun dan mengobrol dengan kami. Bertanya banyak hal soal perjalanan kami. Juga kondisi jalan di depan. Kebetulan ia akan ke Pulau Umang, yang searah ke Ujung Kulon.

Begitu waktu sudah mendekati ke angka 10, kegiatan toko mulai berhenti. Pintu mulai ditutup. Kami pun bersiap-siap mencari tempat untuk merebahkan tubuh yang lelah. Beberapa masih di ruangan sela antara dinding kaca dan pintu besi.

Omega mengeluarkan peralatan camping-nya dan mulai memanaskan air. Sementara petugas toko sibuk melakukan closing. Bunyi printer dot matrix bersahutan dengan obrolan kami. Namun bagi yang sudah tidak kuat menahan kantuk langsung menggelar sleeping bag dan tidur di antara rak-rak makanan.

Malam makin larut dan lamat-lamat obrolan melirih. Berganti dengan mimpi serasa tidur di hotel kelas melati.

Tengah malam ada sedikit keributan. Ternyata Omega dan Yanto yang tidur di dekat lemari pendingin minuman “kebanjiran”. Air bersumber dari lemari pendingin itu. Terpaksa mereka berpindah tempat.

***

profil rangkas - cimanggu

Profil rute Rangkasbitung – Alfamart Cimanggu

DSCN1105 DSCN1107 DSCN1111 DSCN1115 DSCN1120 DSCN1126 DSCN1127 DSCN1130 DSCN1132 DSCN1136 DSCN1140 DSCN1141 DSCN1143 DSCN1145 DSCN1149 DSCN1152 DSCN1153 DSCN1156

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s