Salah satu hasrat terpendam saya adalah menginjakkan kaki di Sabang, tempat berdirinya Tugu Nol Km Indonesia. Dari tugu inilah, sebuah rentang kepulauan yang bernama Indonesia dieja. Menyeruak melewati beberapa pulau sampai di ujung timur, Merauke. Sekitar tahun 1998 saya berkesempatan menginjak Merauke. Kini, 15 tahun kemudian baru bisa menyatukan Sabang – Merauke.
Dalam bayangan saya, Tugu Nol Kilometer itu megah dan kokoh. Anggun dan fenomenal layaknya mercu suar. Ternyata saya salah. Begitu menurunkan sepeda dari kendaraan dobel kabin saya masih bingung di mana tugunya? Setelah membaca plang yang ada baru tahu lokasi tugu. Rerimbunan pohon menyembunyikan bagian atas tugu. Hanya bagian dasar yang terlihat.
Toh kesederhanaan tugu tak mengalangi kekagumanku. Berdiri di bawah lambang negara Indonesia Garuda yang memegang angka 0 sambil memandang lepas ke Laut Andaman memberi rasa bangga. Aku berdiri di tepi Nusantara ….
Dari tepian inilah Jelajah Sepeda Kompas yang bertajuk Merajut Nusantara mencoba menggenapkan jelajah-jelajah sebelumnya hingga tahun 2015 – bertepatan dengan ulang tahun Kompas ke-50 – menyentuh tepi paling timur: Merauke. Tak semua wilayah dijelajahi memang. Namun dengan tujuh jelajah yang akan dilakukan, sudah bisa mewakili upaya merajut nusa-nusa yang ada di Indonesia menjadi satu kata: Nusantara.
***
Sabang adalah sejarah yang hilang.
Pada tahun 1883, dermaga Sabang dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh. Awalnya, pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari Sumatra bagian utara. Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola oleh Sabang Maatschaappij.
Saat ini setiap tahunnya, 50.000 kapal melewati Selat Malaka sehingga pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menyatakan Sabang sebagai Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk mendapatkan keuntungan dengan mendirikan pelabuhan Sabang tersebut sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati Malaka. Prasarana untuk dermaga, pelabuhan, gudang dan fasilitas untuk mengisi bahan bakar sedang dikembangkan.
Hal yang paling penting bagi sejarah Weh adalah sejak adanya pelabuhan di Sabang. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.
Pada tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986. (sumber dari sini)
Sejarah hilang itu masih bisa ditelusuri dengan melihat banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Dalam selintas saja, beberapa bangunan itu masih terlihat. Seperti ketika akan memasuki kapal feri saat Jelajah Sepeda Kompas Sabang – Padang meninggalkan Pulau Weh menuju ke daratan Tanah Rencong. Sejarah yang menarik untuk ditelusuri kembali.
Sayuti, Asisten I Bidang Pemerintahan kota Sabang mewakili Walikota Sabang, mengibarkan bendera start sebagai tanda dimulainya perjalanan sepanjang 1.539 kilometer selama 14 hari.
Semua melaju dengan gembira. Menyambut sebuah perjalanan panjang. Sampai kemudian tanjakan menyadarkan mereka. Jelajah tidak selamanya dilalui dengan bungah. Beberapa peserta yang belum siap lupa untuk memindahkan gir ke posisi enteng. Apalagi ada biawak yang terlindas mobil patroli di tengah jalan membuat beberapa peserta terpaksa melakukan manuver menghindar.
Kontur Pulau Weh yang naik turun memang menjadi pemanasan yang pas. Mengelilingi sebagian pulau kita dihibur jalan mulus dan pemandangan pantai yang begitu menyedot perhatian. Klaim bahwa pantai di Pulau We adalah memiliki air yang paling jernih di Indonesia memang terasa berlebihan tapi tak bisa disangkal juga. Dari ketinggian dasar terumbu karang terlihat samar.
Sayang, tak ada perwakilan dari Sabang yang ikut sebagai peserta jelajah. Padahal saat etape pertama ini beberapa pesepeda dari Sabang Cycling Club ikut serta di sepenggal perjalanan. Dengan antusias ia bercerita soal trek di Pulau Weh ini. Ada offroad, ada juga onroad. “Kalau onroad ya tiap minggu dari kota Sabang ke Km Nol,” kata salah seorang anggota SCC.
Dengan serius ia bertanya bagaimana caranya menjadi peserta jelajah. Hal yang tak bisa aku jawab dengan memuaskan.
Sama seperti diriku yang belum puas hanya memandangi pantai-pantai bersih dan air yang jernih di kejauhan sana.