gussur.wordpress.com – Apa yang bisa kita lakukan dalam menyiasati kemonotonan? Berbuat tak biasa.
Dalam berangkat – pulang kerja, saya selalu penasaran untuk mencoba cara dan rute yang berbeda. Namun pelan tapi pasti saya sudah mencoret beberapa moda transportasi. Menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi umum. Dicoret bukan berarti tidak saya gunakan sama sekali. Sesekali masih saya pakai karena beberapa pertimbangan kritis.
Jadi lebih sering naik motor roda dua dan sepeda. Untuk jarak 20-an km kedua alat transportasi itu masih dapat diandalkan.
Sampai suatu saat – terinspirasi teman yang jalan kaki pulang dari kantor – saya pun tergelitik ingin mencobanya. Namun agar lebih cepat sampai ya lari. Kebetulan mau ikut lomba lari Jakarta Marathon. Bukan ikut maraton, baru berani yang separonya saja.
Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya tanggal 22 Oktober saya bertekad untuk menjajalnya.
Persiapan tak matang karena perlampuan agar bisa “melihat dan dilihat” belum beres. Ini penting karena tak semua jalanan di Jakarta memiliki trotoar dan atau berpenerangan cukup.
Dalam memilih rute saya menghindari jalur angkutan umum. Tak hanya menghindari polusi, namun meminimalkan godaan agar tidak “ngangkot”. Makanya, keluar kantor tak serta merta saya lari lurus menuju depan Universitas “Beragama” dr Moestopo via Permataijo. Namun masuk jalan kecil yang sejajar jalan utama.
Ransel yang saya bawa sedikit mengganggu dengan bebunyian isinya yang bersenggolan satu sama lain. Begitu juga dengan lampu flip-flop yang saya ambil dari sepeda ternyata banyak mati akibat goncangan. Dalam sisa waktu saya belum menemukan tas lari yang murmer. Jadi ya dengan peralatan seadanya saja.
***
Dari kantor di daerah Kebunjeruk saya tidak mengambil jalan utama, Jalan Panjang. Masuk gang dan menyusuri jalan perkampungan sejajar jalan utama menjadi pilihan. Menjadi perhatian orang namun lebih bagus daripada rentan kesenggol motor atau mobil. Plus menghirup asap kendaraan.
Di beberapa lampu merah dan saat mau menyeberang jalan perlu waktu lebih. Beberapa sorot mata motoris memandangku yang lari-lari kecil di persimpangan jalan. Kok tahu? La untuk nyeberang persimpangan di saat yang tak tepat kudu waspada. Lihat kanan-kiri-depan. Rata-rata motoris juga tidak berhelm di jalanan kecil itu.
Menghadapi kemacetan di kawasan perumahan Permata Ijo mencoba mencari jalan tikus. Baru tahu bahwa di situ tempat penitipan motor karyawan Senayan City. Menjadi persoalan bagi karyawan yang bekerja di mal ketika parkir motor. Jika parkir di tempat parkir yang disediakan mal tentu menghabiskan uang cukup berarti. Hitungannya per jam. Nah, di parkiran “swasta” ini hitungannya sekali parkir.
Fenomena serupa saya temukan di seputaran Mal Pejaten Village. Ratusan motor terparkir di halaman rumah atau halaman ruko tak jauh dari mal. Bahkan di sebuah rumah yang tertutup pagar sempat terlihat deretan motor di halaman yang tak begitu lebar. Beruntunglah kantor yang menyediakan parkir sendiri dan gratis.
Melawan arah di Jalan Patiunus baru terasa lampu kepala. Jalan itu ternyata gelap juga di malam hari. Lurus sampai ke Bulungan terkadang harus rela lari di pinggir jalan daripada di trotoar. Banyak jebakan di trotoar ternyata.
Dari Blok M saya menyusuri jalur sepeda pulang bersama kawan dari KGC. Menyusuri jalan sejajar Panglima Polim sampai tembus ke Mal Kemang Village. Masuk ke area mal dan keluar di Kemang Raya di depan sekolah bank. Menyusuri Kemang Raya sebentar untuk kemudian belok kiri masuk ke Hero. Atau Gelael ya?
Nah, di titik ini saya sudah tidak mulai fokus. Kilometer sudah menuju ke angka 15. Menyusuri ingatan – terus terang setiap pulang gowes lewat daerah Kemang seperti masuk labirin – saya terus berlari kecil. Sok yakin saja. Tiba-tiba saja ada anjing mengejar karena tak diikat rantai. Sotoy juga tuh bule. Bawa dua anjing satu dirantai satu dilepas, dan yang dilepas itu ngejar saya. Saya mencoba berhenti pura-pura ambil batu. Anjing itu cuma menggonggong dan kembali ke tuannya. Bulenya malah diam tak minta maaf. Kalau ketemu batu benar-benar tak sambit tuh anjing. Atau bulenya sekalian. Mana gelap lagi.
Belak-belok sambil berlari saya baru sadar. Lo, kok lewat toko Emax lagi? Lah, ini Kemang Raya. Ini pintu masuk tadi. Hehehe … Ya sudah, menyusur lagi Kemang Raya dan begitu ada jalan kecil belok kiri langsung masuk kembali. Ternyata labirin di sini tambah rumit. Akhirnya menyerah karena sudah terpepet waktu. Hampir dua jam berlari. Tanya sekali tak berujung solusi. Maksudnya masih bingung. Tanya lagi. Sampai akhirnya keluar di SPBU Jln. Kemang Selatan.
Muter-muter yang tak sia-sia sebab jarak menjadi genap 21,sekian km.
Berhenti dan minum di SPBU ini kaki kiri sudah “menjerit”. Bisa jadi karena kaos kaki tidak pas, sepatu yang kurang oke, atau memang sudah batasnya. Cek di kilometer tertunjuk angka 16,sekian. Ya sudah lumayan. Dulu pas Adidas KOTR di BSD menuju 15 km saja sudah kepayahan.
Sisa jarak menjadi momok. Terus berlari, jalan kaki, atau naik ojek? Haha … perang batin. Sambil jalan saya berpikir. Sesekali lari kecil. Sampai akhirnya mantap lanjut dengan jalan kaki. Itu pun terasa ngilu di kaki kiri.
Perempatan Republika – Salihara – Stasiun Pasar Minggu menjadi target pencapaian saya. Sampai akhirnya tiba di depan gerbang rumah. Total jarak 21,91 km, dengan waktu tempuh 3 jam 51 detik.
Ini baru sebuah permulaan … Semoga menjadi jeda yang tak menimbulkan jera.
Trek lari bisa dilihat di sini:
Keren…21 KM pulang ngantor…saya juga suka lari kalo pulang ngantor tapi jaraknya hanya 1/5 saja…salam runner
Salam kembali … Ya itung2 latihan HM haha… Santai aja kok larinya. Cuma belum nemu rute yang nyaman.