Km 0 – Cisadon: Trail Running Lebih Baik dari Road Running?

gussur.wordpress.com – Jika tahun 2013 saya banyak ikut lomba lari di jalan raya, maka tahun 2104 ini saya mencoba tantangan baru. Lari lintas alam atau trail run. Hanya saja tidak banyak lombanya. Jadi ya mencoba menggabungkan keduanya. Lomba paling dekat adalah Tahura Trail Running Race yang diadakan oleh IBA pada tanggal 19 Januari 2014.

Karena belum pernah berlari di alam terbuka, maka saya pun membulatkan tekad untuk mencoba di kawasan Pondok Pemburu, Sentul Bogor. Rencana sebelumnya mau nge-trail di lintasan sepeda gunung di JPG Bintaro. Sayang, waktunya belum pas.

Sempat ragu-ragu juga mengingat cuaca yang tak menentu. Namun karena itu satu-satunya kesempatan ya musti terlaksana. Jadilah memanfaatkan libur Maulud Nabi saya menuju Km 0 Bojongkoneng bersama Fami. Hanya saja dia nyepeda dan saya lari.

Awalnya mau parkir di Imah Baduy. Sayang pagar tertutup dan tak terlihat ada aktivitas. Akhirnya turun lagi dan parkir di Km 0. Sempat berpapasan dengan rombongan yang mau trail run juga.

Saya minta diturunkan tak jauh dari helipadnya Prabowo karena kalau dari Km 0 terlalu jauh ‘ngaspalnya’. Setelah berkemas dan membawa bekal air 2 L di hidrobag, 1 botol 250 mL teh botol, 9 fitbar dari 3 merek plus windbreaker saya pun memanaskan kaki dengan lari-lari kecil.

Di belakang rumah Prabowo saya mulai bertemu dengan rombongan tadi. Satu per satu tersusul sampai yang paling di depan. Mereka sudah kepayahan karena start dari Taman Budaya. Sedang saya masih seger. Jadi wajar saja kesusul hehe …

Target saya adalah nonstop lari sampai Pondok Pemburu. Jalanan sudah nyaman untuk dipakai gowes atau lari. Bebatuan sudah berkurang. Tidak terlalu becek juga. Beberapa tanjakan yang dulu licin sekarang tak terlalu. Apa karena berlari?

Akhirnya jarak sekitar 4 km itu tertempuh dalam waktu 38 menit sekian.

Saya istirahat di teras Pondok Pemburu menunggu Fami. Etape berikutnya adalah Cisadon. Tak seberapa lama beberapa orang pelari dari rombongan tadi mulai berdatangan. Begitu juga Fami.

***

Setelah istirahat cukup lama, bahkan sampai rombongan tadi berangkat lagi ke arah yang sama, Cisadon – saya pun memulai etape kedua. Sebelumnya sudah menghabiskan dua fitbar plus sebagian teh botol. Saya harus mengasup makanan atau minuman manis supaya tidak terserang sakit kepala.

Menuju Cisadon jalanan langsung menanjak dan jalanan rusak. Saluran air di tengah jalan membuat langkah harus hati-hati menapak jika tak mau terpeleset. Di setiap pertigaan saya menunggu Fami yang susah payah menggowes pedal.

Secara keseluruhan jalur ini sangat nyaman untuk trail running. Jalurnya sesekali basah oleh aliran air namun tak dalam. Tanjakan tak begitu tinggi. Elevation gain cuma 200-an m, separo dari jalur Km 0 – Pondok Pemburu. Udara sejuk di ketinggian 1.000-an mdpl begitu menyegarkan paru-paru.

Melewati kanopi pepohonan dan menembus hutan bambu membuat adrenalin semakin terpompa. Namun saya ragu-ragu ketika akan memasuki Cisadon. Akhirnya berhenti di sebuah rumah kosong sembari menunggu Fami.

Ternyata masjid yang jadi patokan tinggal beberapa ratus meter lagi!

***

Di Cisadon istirahat cukup lama. Rombongan tadi yang saya salip ternyata tidak menuju ke masjid. Namun ke arah Wangon. Saya bertanya ke Fami jalur ke Gunung Pancar. Karena lokasi yang sulit dan sudah siang maka diputuskan untuk balik saja.

Kembali saya menunggu Fami di Pondok Pemburu sebelum berangkat duluan karena di jalur Pondok Pemburu – Km 0 jelas Fami akan menyalipku. Dia memang raja turunan di atas Meridanya.

Benar saja, belum terlalu lama berlari sudah terdengar suara putaran crank. Ya sudah, kasih lewat dah …

***

Dibandingkan dengan lari jalan raya, saya merasa ada beberapa hal nilai plus lari trail.

  • Yang utama adalah udara sejuk dan bersih. Ini yang sangat terasa. Apalagi di ketinggian. Tak terlalu ngos-ngosan dibandingkan di jalan raya. Apalagi pada jam yang sama.
  • Relatif nyaman dan santai. Lari di jalan raya seperti kemrungsung dan kudu waspada. Harus pasang telinga kuat-kuat. Di alam lebih nyaman dan santai. Telinga justru mendengar suara burung merdu atau cericit tupai dibandingkan sentakan klakson.
  • Melatih keseimbangan. Di jalan raya yang relatif datar maka fokus lari hanya menjaga kelurusan badan saja. Sangat berbeda lari di alam karena justru badan jangan lurus terus. Kudu pintar meliuk-liuk, bahkan membungkuk, jika ada alangan pohon yang menjorok ke jalan setapak.

Namun lari di alam juga memiliki risiko cedera yang lebih tinggi, terutama di angkle kaki. Gerakan memilih tapak yang pas untuk kaki menjejak bikin rentan cedera. Jika yang terinjak adalah batu yang labil bisa keseleo. Atau permukaan yang licin bisa terpeleset.

Tapi secara keseluruhan saya pikir lari trail lebih baik dari lari jalan raya.

Anda setuju?

Foto-foto hasil jepretan Fami.
P1040107

P1040109

P1040116

P1040118

edit lompat

3 Comments

  1. Wah, maaf… saya benar-benar tertarik dengan topik yang Anda angkat di blog Anda ini. Saya menjadi tertarik untuk bersepeda dan berlari. Hehehe…
    Terimakasih atas ilmunya …
    Salam.. Ainin Najib–Jember

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s