gussur.com – Sabtu 5 April 2014, seperti yang sudah direncanakan, saya kembali ke Kampung Cisadon. Kali ini tak hanya ditemani Fami, namun juga beberapa teman dari KG Pelari(an). Ada Mas AH yang sepertinya mengejar target dalam pelariannya. Ada Abah Ush pelatih abadi dalam soal apa saja. Juga Dimas dan dua penyuka game yang ingin lari dari dunia virtual ke dunia nyata: Adit dan Alfa.
Kalau dipikir-pikir yang lari didominasi nama A: Agung Hartanta, Agus Hermawan, Agus Sur, Adhityaswara, Alfa Anindito. Dimas saja yang enggak hehe… Sama pengawal abadi yang masih setia dengan Meridanya, Fami. Eh, lupa. Ada Kang Gun juga yang ikut mengawal. Sayang, cuma sampai Pondok Pemburu.
Karena harus mengantar anak yang mau rekoleksi di Matraman maka terpaksa saya tidak bisa berangkat bareng rombongan. Sampai di rumah Mas AH di kawasan Sentul City rombongan sudah berangkat. Diantar pakai motor begitu sampai di Km 0 masih ada Fami yang sudah siap mancal.
Pemanasan tak sempat aku lakukan sehingga terpaksa jalan kaki sekitar 1 km sebelum akhirnya mulai berlari. Tanjakan aspal menuju rumah Prabowo langsung memanaskan dengkul.
Dibandingkan dengan jalur beberapa bulan lalu, jalan menuju ke Pondok Pemburu agak berantakan. Bebatuan mulai tersingkap. Namun di beberapa tempat dilakukan pengerasan. Lalu lintas roda empat ke Pondok Pemburu sepertinya meningkat.
Satu per satu mulai menjumpai teman-teman. Di pertigaan portal Kampung Awan sempat bertemu dengan rombongan pelari yang ternyata melewati jalur Km 0 – Kampung Awan sebelum ke Pondok Pemburu. Wah, bisa dicoba juga nih.
Bagi yang pernah gowes ke Pondok Pemburu dari Km 0, silakan nikmati sensasi berlari di tengah hawa yang sejuk. Yang jelas, tidak menyesal deh meski harus jalan kaki. Bukankah pas gowes pun terpaksa kita harus TTB saat menanjak?
Sensasi itu akan bertambah ketika menuju Cisadon. Jalan setapak berbatu, kadang menjadi jalan air juga, ditingkahi humus akan membawa perasaan bungah. Udara segar dengan harum bunga kopi (jika sedang berbunga) akan membawa kita menjauh dari hiruk pikuk kemacetan di Jakarta.
Begitu sampai di Cisadon, seakan tidak percaya bahwa ada perkampungan sederhana, yang seperti terpisah dari gemerlap Jakarta. Atau bahkan Sentul sekalipun. Mereka menerangi malam dengan listrik yang berasal dari turbin bertenaga arus air. Hidup dari perkebunan kopi dan juga kina.
Damai. Tenang. *tapi entah kalau seminggu tinggal di sini. “Gak usah seminggu, tiga hari saja pasti dah bosan,” kata Abah.
Simak saja foto-foto berikut, yang saya ambil dari Facebook. Pemotretnya Mas AH dan Abah Ush.
izin comot foto2nya ya….