Ke Sawarna (Lagi) – Begini Rasanya Merayapi Bukit Habibie – 2

gussur.com – Istirahat semalam, meski tak tuntas sudah cukup untuk memulihkan lagi perjalanan. Jika pada etape pertama ada Tanjakan Cikidang yang mengingatkan pada Monteng (baca: Ke Sawarna (Lagi) – Deja Vu Monteng di Cikidang – 1), maka pada etape dua ini akan ada Bukit Habibie.

Bangun pagi seperti biasa saya harus melakukan hajat harian. Tapi kamar mandi sedang dipakai. Mencoba mencari alternatif, kata Tisno ada kamar mandi umum di belakang kamar penginapan. Namun kondisinya mengenaskan. Tisno bilang, cuek saja. Tapi selain gelap juga kamarnya tak terawat.

Saya pun melihat di pinggir pantai ada WC/Kamar Mandi Umum. Buru-buru ke sana sampai lupa bawa uang buat bayar numpang ke WC. Eh, di perjalanan ketemu Adi Onthel. Malak dia dapat Rp5.000. Cukuplah haha….

Sampai di sana, lah masih tutup. Gara2 malak Adi kali. Mencari di sekitar kok enggak ada. Hari memang masih pagi dan Minggu. Namun di muara sudah banyak orang beraktivitas. Memegang jala yang dibentuk seperti tudung saji tapi jaringnya ada di bagian bawah.

Karena sudah kebelet dan tidak ada pelampiasan, maka melihat bentang pantai yang cukup panjang saya pun melakukan pemanasan. Bawa lari saja. Kalaupun nanti keluar tinggal nyebut ke laut.

Lumayan, dapat 3,38 km dan ternyata gak jadi beol. (Baca: Lari Pantai Citepus)

Balik ke penginapan sudah menunggu penjual nasi uduk. Langsung ambil satu sebagai pengisi perut. Tak lama kemudian dapat giliran mandi. Ah, leganya …

Selesai mandi lalu ngepak-ngepak dan segera bersiap-siap. Setelah semua berkumpul, tak lupa kami foto keluarga di depan penginapan.

***

Perjalanan menuju Bukit Habibie sudah dipanasi dengan tanjakan kecil menuju ke Hotel Ina Samudra Beach yang terkenal dengan kamar Nyi Roro Kidulnya.  Setelahnya jalanan relatif datar.

Menyusuri kawasan Cimaja terlihat kawasan ini lebih hidup dibandingkan Citepus. Ya, Pantai Cimaja memang telah membius para turis asing untuk bermain papan seluncur. Sepagi itu sudah ada beberapa bule yang sliweran.

Kami berhenti di Pantai Karanghawu menunggu beberapa teman yang mengambil uang di ATM. Pagi itu pantai sudah ramai. Maklum hari Minggu. Tempat ini juga dijadikan sebagai penghubung ke lokasi Mak Erot. Ada pangkalan ojek khusus yang siap mengantar pelanggan sampai ke lokasi Mak Erot.

Selepas Karanghawu jalanan mulai merayap.

Memasuki wilayah Kecamatan Pasirbaru, tanjakan terjal mulai terlihat. Dibandingkan tanjakan-tanjakan kemarin tanjakan kali ini sudah “menggila”. Saya mulai membungkuk, punggung nyaris sejajar dengan jalan raya. Sudah tak ada lagi gir tersisa sehingga hanya mengatur napas yang bisa saya lakukan. Saya berhenti di depan Vila Carmel karena ada sedikit ruang lega.

Jurus zigzag kukeluarkan. Sayangnya tak bisa memanfaatkan separo jalan karena lalu lalang kendaraan lebih ramai di sini. Jadi sebatas roda depan berzigzag. Ini sangat membantu menjaga momen roda untuk terus berputar. Jika sudah terasa berat, ya menepi.

Kelebihan sepeda lipat dibandingkan sepeda 26 atau 700 dalam hal berhenti di tengah tanjakan adalah untuk memulai gowes lagi sepeda lipat lebih enteng kayuhannya. Ini berkaitan dengan diameter roda yang lebih kecil. Makanya saya berani menggunakan sepeda lipat ya karena faktor ini. Tentu untuk melahap tanjakan panjang menjadi butuh beberapa kali berhenti. Tak mengapalah sambil menikmati pemandangan. Sebab di beberapa lokasi pemandangannya mengingatkan Pulau Sabang. Teluk, pasir putih, birunya laut.

Tanjakan Cibareno ini berakhir di ketinggian sekitar 290 meter di atas permukaan laut. Setelah itu turun terus sampai di perbatasan Jawa Barat – Banten. Di sinilah baru terasa, ternyata ada perbedaan kualitas jalan antara Provinsi Jawa Barat yang hotmix relatif mulus dan Provinsi Banten yang aspal biasa dan mulai mengelupas di sana-sini.

Saya sempat hampir berantem dengan pengendara motor yang berboncengan di dekat gerbang Pantai Cibareno karena ketika zigzag mereka mengklakson-klakson saya. Padahal jalan sepi sehingga dalam pemikiran saya dia bisa mengambil seluruh lebar jalan untuk menyalip. Tanjakan itu sendiri masih panjang sehingga jika ada kendaraan dari arah berlawanan masih terlihat dan ada waktu untuk menepi.

Begitu motor ada di depan saya, otomatis saya berteriak, “Berisik!” sambil ngap-ngapan menata napas. Eh, mereka berhenti menunggu saya. Saya pun menjelaskan bahwa saya terganggu dengan suara klakson. Tanpa mengklakson pun saya tahu bahwa di belakang saya ada motor. Makanya saya mencoba menjaga tidak banyak memakan banyak lebar jalan. Mereka langsung ngegas motor berlalu sambil berkata-kata yang tak jelas aku dengar.

Kondisi serupa terjadi ketika saya hampir selesai mendaki Bukit Habibie. Masih sekitar 300-an meter sebelum puncak tanjakan, sebuah mobil mengklakson saya yang sedang zigzag mengatasi beratnya tanjakan dan cuaca panas. Kali ini saya berhenti mendadak dan sepertinya pengendara mobil itu kaget juga. Terlihat mesin mobil mati. Saya menengok ke belakang dan selintas melihat sorot pengemudi yang tak suka perilaku saya.

Terpaksa saya turun dari sepeda dan menuntun ke tepi jalan. Beruntung ada pohon pisang sehingga saya bisa berteduh. Mobil itu lewat sembari sopirnya menatap tajam ke diriku. Aku sih cuek saja dan mengambil bidon, lalu mengguyur kerongkongan dengan air minum.

Bukit Habibie memiliki ketinggian sekitar 380-an mdpl. Dari sini terlihat Pelabuhan Ratu di bawah dan di kejauhan Pantai Ujunggenteng. Di sini berjajar beberapa warung yang bagian belakangnya menghadap ke Teluk Pelabuhan Ratu.

Disebut Bukit Habibie karena tak jauh dari puncaknya terdapat menara radio yang dibangun kala Habibie menjadi Menristek. Saya sempat berhenti di depan menara ini namun plang petunjuk sudah memutih semua. Tak ada lagi yang bisa dibaca di sana.

***

Melewati puncak Bukti Habibie bukan berarti “penderitaan” berakhir. Masih ada tanjakan lain menuju ke Gunung Batu. Kali ini musuhnya jalan rusak dan hawa panas. Plus tempat berteduh di kiri jalan yang nyaris tak tersua. Jadilah ketika berhenti harus menepi ke sisi kanan jalan. Tentu saja harus melihat kondisi jalan. Saya pun mulai menyalakan lampu supaya ketika menepi di sisi jalan itu terlihat jika ada kendaraan dari arah berlawanan.

Tak jauh dari Pasar Gunung Batu kami berhenti untuk makan siang. Makan siang yang terlambat karena sudah jam dua siang lebih. Menurut warga yang saya tanya ketika berhenti di dekat Polsek Cilograng, Rumah Makan Sate Abah Godeg menjadi tempat pemberhentian untuk makan siang mereka yang akan ke Sawarna.

Memang, tak jauh dari rumah makan ini ada pertigaan yang menjadi pintu gerbang masuk ke Desa Sawarna. Jalanan memang agak kecil karena bukan jalan provinsi. Sebenarnya bisa saja mengikuti jalan provinsi yang menuju Bayah, lalu masuk ke Desa Sawarna melalui pintu Pantai Karang Taraje. Namun memutar.

Dari plang yang ada di papan petunjuk, Sawarna tinggal 12 km. Jarak yang lumayan untuk menyembunyikan rolling hehe… Tapi yang perlu diwaspadai adalah turunan panjang sebelum masuk Sawarna. Terlebih jika habis hujan atau gerimis. Aspal menjadi licin.

Petaka menimpa sepeda lipat saya saat melaju di turunan ini. Sekitar dua per tiga turunan sudah saya lewati, tiba-tiba ban terasa kempes. Ya, ban “meletus” karena rim terlalu panas. Di sinilah kelemahan sepeda lipat dengan ban kecil. Karena diameter rim yang lebih pendek maka panas yang terakumulasi akibat direm terus-menerus menyebabkan ban dalam memuai dan akhirnya sobek atau bocor.

Dari kejadian ini saya baru sadar ternyata susah juga memasang kembali ban ke dudukannya. Bentuk RD Sp 8 yang didesain supaya terhindar benturan saat dilipat dan dibawa “terbang” ternyata menyulitkan untuk memasukkan ban. Atau saya yang belum menemukan triknya ya? Yang jelas saya sampai harus mencopot RD dan begitu ban terpasang di dudukan saya mengencangkan kembali RD. Bukan pekerjaan mudah juga ternyata.

Setelah kejadian itu saya agak waswas saat melewati turunan. Bahkan saat bertemu turunan tajam terpaksa saya TTB hehe… Jadi, siapa bilang turunan itu menyenangkan! Bagi saya saat itu malah menyiksa.

Gara-gara kempes ban membuat saya paling akhir menyentuh Sawarna. Tak apalah. Namun dari kejadian itu pula saya mulai berpikir, benarkah investasi terbaik seorang pesepeda ada di dirinya? Bukan di sepeda?

Saya pun berandai-andai jika sepeda lipat saya remnya menggunakan disc.

***
DSCN4327

Di perbatasan Banten – Jawa Barat

DSCN4326

Di depan Stasiun Pemancar “Habibie”

DSCN4323

Di atas Bukit Habibie

DSCN4307

Kelak-kelok menuju Puncak Habibie

DSCN4300

Mengingatkan Sabang

DSCN4290

Pangkalan Ojek Pantai Karanghawu

DSCN4281

Pantai Karanghawu

DSCN4275Di depan penginapan

 

6 Comments

  1. wah seru banget gowes ke sawarna … tanjakan2nya memang mantap .. tapi pemandangannya indah sekalii ..
    saya pernah ke sawarna … tapi pakai mobil bawa keluarga .. hehe … cuman ngebayangin aja kalo gowes lewat tanjakan2 ini .. fiuhhh ..

Leave a reply to gussur Cancel reply