gussur.com – Tiba-tiba saja si sulung mau ke Monas pada malam Minggu tgl. 2 Agustus 2014. Ingin melihat air mancur yang dulu sempat dilihatnya pas selintas pulang dari Katedral.
Agak ogah-ogahan mengantar tapi karena enggak ada kegiatan ya akhirnya pergi juga. Jalanan masih sepi karena belum banyak pemudik yang kembali ke Jakarta.
Rencana mau parkir di IRTI yang dekat Balaikota DKI, tapi saat melintas di pintu utara (tak jauh dari Stasiun Gambir) ada seseorang yang memberikan tanda masih ada tempat untuk parkir. Ya sudah, langsung membelokkan kendaraan dan parkir.
Begitu turun dari kendaraan si tukang parkir tadi langsung menembak, “Uang parkirnya sekalian om. Rp30.000.” Wah, mahal banget. Kupikir cuma Rp10 ribu. Makanya aku tawar Rp10 ribu. Gak mau. Tetep Rp30 ribu. Saya naikkan ke Rp15 ribu.
“Gak bisa Bos. Ini sudah buka portal.”
“Portal apaan?”
“La, tadi kan terhalang bajaj-bajaj kan tempat ini. Itu portalnya. Bisa parkir di sini karena bajaj-bajajnya menyingkir.”
Aku bilang kalau segitu enggak jadi parkir deh. Akhirnya mau juga menerima Rp15 ribu dan menghilang dia.
***
Memasuki Taman Monas yang berpagar setinggi sekitar 3 m ini rasanya kok miris. Inikah taman kebanggaan bangsa? PKL berjejer di koridor menuju pintu masuk. Sementara bau pesing meruap dari sisi-sisi pagar. Sampah bertebaran tak terawat.
Ini malam hari. Bagaimana kalau siang? Eh, malah tertib ya?
Begitu di dalam kawasan Monas, banyak lapak pedagang berjejer di sepanjang lorong masuk ke pelataran Tugu Monas. Ada pedagang pakaian, asesoris dan pernak-pernik wanita, mainan anak, sampai makanan khas Jakarta semacam kerak telor.
Melihat kerak telor si sulung minta mencoba. Pesan dua. Harganya, pakai telor bebek Rp20 ribu, dan telor ayam Rp15 ribu. Rasanya, ya standar. “Aneh rasanya,” kata si sulung yang memang jarang mencicipi kerak telor meski tinggal di kawasan cagar budaya Condet.
Selesai makan kerak telor berkeliling memutari Tugu Monas. Banyak yang bermain ketapel berlampu LED. Itu lo, mainan yang dilontarkan ke atas dengan ketapel dan ada kelap-kelip lampu LED. Yang sedikit sebel dengan lalu lalang pemotor sepeda listrik. Tak bersuara dan hanya memanfaatkan lampu depan sebagai penanda, terkadang bikin kaget. Tiba-tiba saja meluncur di samping kita.
Di sisi selatan ternyata lebih “hidup”. Ada wahana khusus anak-anak. Semacam papan seluncuran dari balon. Ada tukang ramal yang ramai dikerubungi pengunjung. Di sini lapak penjual makanan lebih banyak lagi. Rata-rata menjual soto, mi, dan bakso.
Penasaran dengan kerumunan orang yang sangat banyak saya mendekat. Agak susah untuk melongok sampai akhirnya memperoleh celah. O alah, pertunjukan debus yang membuat saya pening. Maklum, waktu itu pertunjukannya sedang mengiris lidah dengan darah menetes. “Hiii ….”
Anak-anak bertanya pertunjukan apa yang ada di dalam pagar kerumunan orang. Kuceritakan saja apa yang saya lihat.
***
Memutar kembali ke arah tempat parkir mobil tadi, saya mampir ke Patung Diponegoro yang menghadap ke Istana Negara (?). Pelataran patung menjadi tempat tidur gelandangan. Sampah plastik bertebaran di hamparan rumput. Di salah satu pojok teronggok sampah cukup banyak.
Dua anak muda bernyanyi riang dengan salah satu mengiringi menggunakan gitar. Duh syahdunya. Lagu-lagu romantis yang terdengar. Iya ya, ini malam Minggu. Jadi lupa hehe …
Tak jauh dari patung ini ada penyewaan motor mini. Terlihat tiga anak-anak kebut-kebutan dengan suara knalpot memecah keheningan malam. Tanpa perlindungan kepala saya miris juga melihat mereka. Ya, memang tidak sampai ada yang jatuh saat itu. Tapi siapa tahu mereka bersenggolan dan jatuh?
Di sebelah “track” motor sewaan tadi tampak tiga anak kecil bermain ayun-ayunan menggunakan tali baja sling yang difungsikan sebagai pagar taman. “Itu kan digunakan untuk pagar biar orang tak masuk taman malah dijadikan mainan ya Pak. Jadi rusak tuh,” si bungsu komentar dengan agak keras tak jauh dari anak-anak itu.
Saya hanya mengiyakan saja dan segera berlalu dari situ.
Sekitar dua jam di Monas kami segera pulang. Seandainya ditata dengan baik, kawasan ini bisa menjadi sarana hiburan di malam hari. Sayang, sampah bertebaran di sana-sini. Toilet juga kurang jumlahnya. Kalaupun ada baunya minta ampun.
Motor listrik perlu dikasih bebunyian agar tidak membahayakan orang yang santai berjalan kaki.
Berharap saja pada Pemda Jakarta dapat menata kawasan ini menjadi lebih baik. Lebih terang di semua sisi. Agar orang tak risi menghabiskan sisa hari.