gussur.com – Universal Trail Run merupakan lari lintas alam kedua yang saya ikuti. Sebelumnya adalah Tahura Trail Running di Taman Hutan Rakyat atau Taman Ir. H. Djuanda di Bandung juga.
Dibandingkan dengan Tahura, Universal Trail Run yang mengambil lokasi di Bandung Barat lebih menantang dan tingkat kesulitan yang beragam. Start dan finish di Vila Istana Bunga, Parongpong, Bandung.
Dari titik start sudah langsung menanjak sebagai pemanasan. Kemudian masuk ke kebun teh dengan udara yang segar. Pemandangan juga oke dong. Dua alasan inilah yang membuat saya mulai menggemari lari lintas alam daripada lari jalan raya.
(Baca: Km 0 – Cisadon: Trail Running Lebih Baik dari Road Running?)
Dari kebun teh masuk ke hutan dengan medan yang mulai menantang. Bahkan ada yang harus turun melalui tali. Beruntung saya ada di rombongan depan sehingga kondisi lintasan masih belum parah. Tidak membayangkan bagaimana yang ada di paling buntut saat melintasi medan ini.
Tak hanya turunan, tanjakan yang harus dijalani dengan merayap pun ada di jalur ini. Sekali lagi rombongan depan memiliki keberuntungan karena jalur masih baru. Tak terbayang jika sudah dilalui beratus-ratus kaki akan bertambah licin.
Namun, ketika melintasi jalur setapak dengan bekas garukan motor trail saya mengalami cedera. Entah mengapa saya kurang akrab dengan jalur berlubang akibat gerusan motor trail ini. Jadi teringat ketika terjatuh di jalur sepeda Rindu Alam Puncak saat offroad.
Saat itu, ketika sedang melaju di turunan saya terlambang mengantisipasi laju sepeda. Alhasil begitu terjebak di lubang garukan ban motor trail tadi saya hanya pasrah sebelum akhirnya terjatuh. Beruntung tak ada cedera berarti.
Nah, berbeda dengan kali ini. Mencoba berlari di jalan yang tak berlubang saya kehilangan keseimbangan sehingga kaki kiri terperosok di lubang jalur ban motor trail. Saat itu belum terasa. Namun ketika melakukan hal yang sama di jalur berbeda, kali ini giliran terperosok ke sisi kiri alias bahu jalan setapak yang ternyata lubang juga.
Kesakitan baru terasa ketika sudah lepas dari jalur ini dan menghadapi turunan di rindang pohon pinus. Ankle mulai terasa sakit. Wah, padahal rute masih jauh kalau lihat di kilometer Garmin saya. Ngenesnya, jalur turun terus. Alhasil beberapa peserta mulai mendahului.
Kombinasi lari, istirahat, jalan cepat aku terapkan. Jalur sudah mulai keluar hutan. Jadi campuran antara aspal, konblok, dan jalan tanah. Masih ada tanjakan juga. Setelah tiba di finish saya hitung-hitung sekitar 10 km saya memadukan lari, jalan cepat, dan berhenti istirahat.
Yang menarik dari lari lintas alam ini adalah penanda jalur yang menggunakan taburan kertas kecil-kecil. Terutama di persimpangan. Beberapa memang menggunakan tanda panah yang ditempel di pepohonan. Namun kebanyakan menggunakan taburan kertas yang ditaruh di sisi jalan.
Nah, menaburkan kertas ini tidak tepat di persimpangan tapi agak menjorok di jalur yang mau dilalui. Alhasil kadang harus menebak dulu sambil melihat taburan kertas. Jika benar ya terus kalau tidak ada ya balik lagi. Masalahnya ketika balik ini sering hilang orientasi karena badan capai.
Bisa jadi kondisi seperti di atas yang membuat banyak orang tersesat. Dengar cerita ada yang tersesat sampai berjam-jam sebelum menemukan jalur yang sesuai.
Soal kecapean dan orientasi ini sempat saya lihat sendiri. Beberapa kilometer sebelum finish saya melihat seorang peserta jauh di depan salah jalan. Terpaksa saya susul sambil panggil-panggil dia. Begitu tahu ada tanda anak panah yang saya tunjukkan dia bilang, “Wah, enggak lihat saya. Habis keenakan lari di jalan ini.” Kebetulan jalur lurus itu memang aspal. Padahal jalur seharusnya masuk ke jalur beton.
Secara keseluruhan lari ini sangat menantang. Tak terbayangkan bahwa yang membuat jalur ini para aki-aki dari Bandung Hash House Harriers. Total jarak di Garmin FR10 saya 21,21 km.
Semoga masih bisa ikut lari lintas alam di lokasi lain. Akibat dari lari ini saya harus pergi ke tukang urut. Syukur bahwa sekarang sudah mulai membaik.
*Foto-foto di bawah saya ambil dari Facebook. Foto narsis oleh Abah Agus Hermawan.
2 Comments