gussur.com – Bromo Tengger Semeru 100 Ultra merupakan ultra trail run pertamaku. Sebelumnya sempat mencicipi Tahura Run Trail dan Universal Trail Run. Jarak masih di bawah 30 km. Selebihnya ya trail run cantik di seputaran Sentul. Itu pun tidak rutin.
Saya ambil 70 km, jarak paling pendek untuk kategori ultra. Kategori lain ada 30 km, 102 km, dan 170 km.
Setelah ikut Audax di Yogya dengan jarak 300 km pada 18 Oktober 2014, praktis saya banyak istirahat. Karena pekerjaan dan pemulihan. Lari hanya sekitar 5 km pada tanggal 4 Nov. Selebihnya b2w saja.
Transportasi ke Malang sudah siap. Malang – Cemorolawang? Itu dia yang masih bingung. Membuka grup FB Indorunners menemukan informasi ada yang mencari teman dari Malang ke Cemorolawang. Naik motor tapi. Iseng saya mengomentari postingan itu dengan menunjukkan niat pingin nebeng kalau belum ada yang pasti.
Ternyata belum ada sehingga saya pun mengiyakan untuk nebeng.
Persoalan transportasi pun beres. Tinggal penginapan. Ternyata bisa go show. Banyak penginapan di sana, hanya tinggal memilih ada yang dilengkapi air panas dan ada yang tidak.
***
Jumat pagi 7 November saya tiba di Stasiun Malang. Agusta yang aku tebengin sudah menunggu. Kenalan sebentar langsung berangkat ke Malang. Motor BeAT itu menyelinap di keramaian lalu lintas Kota Malang yang sudah berdenyut menyapa Jumat. Begitu lepas dari tapal batas langsung melesat. Terus terang saya agak deg-degan karena membawa ransel yang cukup berat.
Bayangan saya akan melewati jalur ke Pananjakan. Ternyata tidak. Ke arah Ngadas lalu Jemplang. Baru sekali ini saya lewat jalur ini. Jalanan sedikit rusak dengan tanjakan yang menguras bensin BeAT. Di beberapa tanjakan sampai harus zigzag. Untung jalur sepi.
Sampai Jemplang dan turun ke lautan pasir baru mulai terasa keribetannya. Dari Jemplang ke lautan pasir jalanan sudah dibeton, tapi beberapa hancur total dan justru malah menyulitkan bagi motor. Jalur ini memang hanya dilalui mobil berpenggerak 4 roda (4wd) yang membawa penumpang dari Jemplang ke Cemorolawang. Selain tentu motor.
Terpaksa saya turun di beberapa tempat karena laju BeAT terhenti. Roda terbenam di pasir karena beton sudah amburadul.
Ada kejadian yang lucu saat saya turun. Waktu itu jalurnya agak hancur. Beton mengelupas di sana sini memunculkan pasir lembut. Saat berpapasan dengan rombongan pemotor yang semua pengendara dan pemboncengnya anak muda, saya turun karena laju BeAT seperti kepater.
Saya lalu jalan mengambil sisi pinggir, sementara si pemberi tebengan meluncur dengan pelan namun pasti. Saya pikir akan berhenti setelah jalan agak keras. Ternyata malah ngacir.
Teriakan dan tepukan tangan saya ternyata kalah sama deru motor dan angin. Alhasil saya pun berjalan terus sambil berharap tak terlalu jauh si pemberi tebengan sadar diri pemboncengnya tidak ada.
Benar saja. Sekitar sekilo BeAT berhenti.
“Maaf Bang. Tadi saya sempat tanya-tanya tapi kok diam. Aku pikir Abang ketiduran. Makanya saya jalan pelan. Tapi kok lama-lama gak ada respon juga. Ternyata Abang tidak ada,” kata Agusta.
Aku hanya senyum dikulum saja.
***
Memasuki lautan pasir laju BeAT terkadang kencang terkadang lambat. Kadang harus berhenti dan aku turun. Butuh jam terbang tinggi untuk melaju dengan kencang di atas lautan pasir. Saya melihat itu dari manuver tukang ojek yang sepertinya enteng saja ngebut di atas lautan pasir.
Entah berapa kali turun, saya sudah tidak mengingatnya lagi. Pemandangan sekitar begitu membius. Siang memang terik. Tapi di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) tentu memberikan hawa sejuk meski tengah hari.
Di sisi kiri adalah Kawah Bromo yang terkenal itu. Di sisi kanan adalah perbukitan yang menjadi tepian kawah raksasa Bromo. Ya, kami sebenarnya sedang melintas sebuah kawah raksasa. Salah satu bukit itu, B29, adalah bukit yang harus kami lalui malam nanti.
Hmmm … merayapi punggung bukit di malam hari? Saya sempat tertegun melihat jalur setapak yang berkelak-kelok menuju ke atas bukit.
“Start dari sana tuh Bang. Terus menyusuri puncak bukit, lalu turun, dan naik menuju Bukit B29 itu,” Agusta memberi sedikit bocoran jalur yang akan aku lalui.
Ah, semampunya saja nanti.
Sempat kebingungan mencari jalan masuk menuju ke kawasan Cemorolawang sebelum akhirnya menemukan tetengernya. Jalan aspal menanjak basah seperti tersapu hujan barusan.
Kami langsung menuju ke Lava View Resort untuk mengambil racepack. Begitu turun dari sadel motor saya baru merasakan betapa pegalnya punggung terbebani ransel.
Sehabis makan dan membasahi muka dan badan (tidak mandi karena airnya dingin dan tidak memperoleh penginapan yang ada fasilitas air panas) saya langsung merebahkan badan. Masih ada sekitar 4 jam untuk tidur sebelum bangun dan lari malam hari.
zzzzzzzzzz grrrrrr