Sentul Ultra Marathon: Keindahan Membius Tak Jauh dari Jakarta

gussur.com – Agak ogah-ogahan sebenarnya ikut Sentul Ultra Marathon (SUM) karena seminggu sebelumnya radang tenggorokan mulai bertengger di jakun mengganggu sistem pernapasan dan proses memamah biak. Tapi ya kadung dah bayar dan racepack juga sudah diambilkan. Jadilah pagi-pagi sekitar pukul 04.20 saya keluar dari sarang di kawasan Jakarta Timur.

Meluncur membelah tol Jagorawi jalan masih lengang. Alhasil, tak sampai setengah jam sudah ngejogrok di rumahnya Mas AH. Disuguhi susu Milo, lumayan buat ngeganjel perut. Rencana mau beli camilan buat lari di lapak Indomaret atau Alfamaret sepanjang jalan menuju ke Gunung Pancar. Eh, la kok pada belum buka. Beruntung masih ada sebotol air mineral di mobil.

Start kali ini berbeda dengan start-start lomba lari yang saya ikuti. Mungkin saya kuper ya hehe … Jadi siapa pun yang sudah siap boleh langsung start. Jadi tidak ada namanya start massal. Makanya, begitu merasa siap ya saya langsung dipindai chip di belakang BIB.

Start di Bumi Perkemahan Gunung Pancar. Lokasinya kalau dari gerbang naik terus, lalu begitu menjumpai belokan kiri pertama langsung ikuti jalanan menurun dan tak jauh setelah melewati jembatan akan kita lihat lapangan luas berundak dan sebuah bangunan mirip joglo di kanan jalan.

***

Rute dari Bumi Perkemahan tadi naik ke pertigaan dan seharusnya menuju ke Giri Tirta yang kalau dari gerbang belok kanan setelah belokan kiri menuju ke Bumi Perkemahan tadi. Namun banyak yang naik terus menuju ke pemandian air panas Gunung Pancar. Begitu mendekati tempat start Sebex, beberapa turun. Katanya salah jalur. Mas AH bilang terus saja.

Mengikuti aspal menuju ke perkampungan belakang pemandian air panas jalanan menanjak terus. Lumayan buat pemanasan. Habis itu ada turunan cukup terjal. Rolling sebelum akhirnya ketemu marshal bersepeda yang mengarahkan untuk berbelok kanan memasuki perkampungan.

Sampai sini saya baru sadar tak ada petunjuk rute. Terpaksa bertanya ke penduduk setempat. Beberapa peserta ada yang tidak yakin dengan omongan penduduk. “Beneran lewat sini Pak?” Soalnya jalan yang ditunjukkan itu di antara emperen rumah penduduk sementara di depan dia ada jalan setapak menanjak.

Saya yang melihat banyak tapak sepatu menuju emperan langsung mengikuti omongan Bapak itu.

Selepas perkampungan baru terasa sisi lain Sentul yang masih kaya dengan perbukitan. Jalan setapak menuju Puncak Paniisan (?). Basah rerumputan karena embun tersapu sepatu dan berpindah ke tanah jalan setapak. Membuat beberapa tempat menjadi licin.

Semakin mendaki keindahan alamnya semakin membius. Kabut masih melingkupi sebagian kawasan Sentul. Baru sekali ini lewat jalur ini saya benar-benar terkesima. Sungguh, tempat seindah ini hanya selemparan batu dari Jakarta. Di Puncak Paniisan ada fotografer yang sudah menunggu. Jadilah pada “mejeng” ketika sang fotografer beraksi.

Menuruni puncak ke rimbunan pohon pinus menjadi keasyikan tersendiri. Namun kudu hati-hati sebab jalur licin. Saya sempat terpeleset karena terlalu asyik.

Jalur selanjutnya sangat menarik dan menantang. Melintasi sungai, menembus kebon kopi, melewati hutan yang gundul, sampai kesasar. Hal yang banyak dikeluhkan dari lomba ini memang minimnya marka jalur. Sementara di banyak persimpangan tak ada marshal.

“Jika hanya satu atau dua peserta yang kesasar mungkin bisa dimengerti itu sebagai kesalahan peserta. Tapi jika banyak peserta yang kesasar, itu kesalahan panitia,” begitu salah satu pernyataan di grup Trail Run Indonesia.

***

Terlepas dari kurangnya penanda jalur, trek yang disuguhkan Sentul Ultra Marathon ini sangat variatif. Minus turunan aspal hehe… Atau beton. Entah mengapa belum bisa mengatasi lari di turunan aspal. Jempol kaki terasa sakit. Ini terjadi ketika selepas Kampung Awan. Ada turunan beton yang sangat licin ditapaki sepatu saya. Lalu dari KM 0 ke Bukit Alladin.

Di beberapa jalur kita masih bisa melihat kabut di bawah tapak kaki. Di kanan maupun kiri kita. Seolah berlari di atas awan. Begitu juga ketika memasuki kebun kopi. Saya membayangkan kalau pohon kopinya sedang berbunga. Pagi itu akan disambut wanginya bunga kopi.

Melintasi kali yang bersih penuh bebatuan menjadi jeda yang mengasyikan. Jika tidak sedang lomba, berlama-lama di sini membuat tubuh serasa menjadi segar.

Kali ini saya masih terkena kram. Pertama selepas Kampung Awan, kedua menuju Taman Budaya (yang ternyata jalur nyasar). Menjadi PR untuk dapat memahami tubuh yang butuh garam. Kram kedua ini pas tak ada orang atau peserta lain. Saya langsung menepi di teras rumah penduduk sambil mencoba mengatasi kram. Ketika sudah agak membaik, baru ada beberapa peserta lewat dan salah satunya memberikan gel penahan nyeri.

Selepas kram benar-benar hanya bisa berjalan. Menuju Jungleland yang tak ada peneduh sama sekali. Harus selepas Bukit Alladin dan menyusuri jalan raya Taman Budaya – Km 0 rute yang benar langsung belok kanan yang nanti akan menyeberang kali dan dapat gelang. Tapi saya tak melihat tanda dan marshal. Saya tanya penduduk banyak peserta yang lurus.

Sampai gerbang finish sudah lewat COT.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s