gussur.com – Sudah lama sebenarnya untuk menyambangi wilayah Garut Selatan ini. Namun baru kesampaian belum lama ini. Memanfaatkan bulan Ramadan sehingga lokasi maupun perjalanan tidak begitu padat.
Benar saja, dari Jakarta sekitar pukul 08.00, sampai di Garut kota sekitar pukul 12.00. Kendala bepergian di bulan puasa ya banyak warung tutup. Apalagi saat itu hari Jumat, ketika mau isi bensin harus menunggu petugasnya selesai Jumatan.
Dari Garut kota menuju ke Pameungpeuk jalanan relatif mulus. Dominan turun. Namun berkelak-kelok. Si kecil terasa pusing karena hanya terganjal makanan kecil. Akhirnya berhenti sebelum Cisompet. Lanjut ke Cisompet ternyata ketemu warung nasi yang buka. Sempat terlewat sehingga putar balik.
Sebelumnya saya sudah menghubungi Kang Coe teman sepedaan untuk meminta bantuan agar bisa menginap di Wisma LAPAN. Ternyata lokasinya di pinggir pantai meski terbatasi oleh pagar yang tinggi. Sampai di sini masih sore, sekitar pk. 16.00. Matahari masih bersinar lembut. Setelah menaruh tas dan basa-basi dengan Kang Asep yang mengurus Wisma, saya pun ke Pantai Santolo.
***
Pantai Santolo memiliki hamparan pasir putih yang lembut. Garis pantainya membentang dari selatan ke utara sejauh mata memandang. Di ujung selatan ada semacam selat yang memisahkan Pulau Santolo dengan daratan Pulau Jawa. Melalui selat ini perahu-perahu nelayan berlabuh sehabis mencari ikan di laut lepas. Ada tempat pelelangan ikan yang bisa menjadi surga ikan segar saat ada perahu yang buang sauh dari menjala ikan.
Di bibir pantai puluhan lapak bambu sedang dalam tahap penyelesaian. Menurut seorang penduduk sekitar, Lebaran menjadi puncak keramaian di pantai ini. Lapak-lapak itu nantinya disewakan untuk berteduh atau jualan.
Sore itu awan begitu cerah sehingga saya berkesempatan menikmati pemandangan indah kala sang surya masuk ke peraduan.
Ketika gelap memeluk pantai, saya pun melipir ke bangunan-bangunan di pinggir pantai yang menawarkan penginapan dan rumah makan. Penginapan dengan rate sekitar Rp1oo-an ribu hingga Rp200-an ribu ini ada yang berada di pinggir pantai. Jadi bisa tidur ditemani suara debur ombak. Berharap bulan purnama sehingga tengah malam sampai subuh bisa kembali menyaksikan keindahan alam. Kali ini melihat bulan bulat di atas laut.
Yang perlu diperhatikan di sini soal makanan. Sebelum memesan tanyakan dulu kisaran harganya. Pengalaman kemarin dikasih harga di atas rata-rata dan masakan tidak oke.
***
Paginya saya ke Pulau Santolo atau dikenal dengan Pantai Santolo Indah, namun lewat Pantai Sayang heulang. Sebenarnya bisa saja lewat Tempat Pelelangan Ikan dan menyeberang selat menggunakan perahu. Bayarnya juga murah, Rp2.000. Bersusah-susah lewat Sayang Heulang karena penasaran melihat jembatan gantung.
Masuk Pantai Sayang Heulang kita harus bayar retribusi. Pantainya relatif bersih dengan garis pantai yang panjang. Membujur dari barat ke timur. Di sini lebih banyak penginapan dan beberapa sudah bangunan permanen bagus. Beberapa gubuk sedang direnovasi.
Untuk menuju ke jembatan gantung, dari pintu masuk ambil belokan kanan, terus sampai mentok. Sayang, melihat jembatan gantung yang ada hanya keprihatinan. Di sana-sini karat mulai menggerogoti kekokohan jembatan. Sedangkan di ujung jembatan, tempat pijakan hilang beberapa buah.
“Entah mengapa di dekat laut kok di bikin jembatan besi begini,” ujar seorang penduduk yang sedang membetulkan perahunya.
Tadinya mau menyeberang lewat jembatan, tapi melihat kondisi itu jadi urung. Akhirnya menyewa perahu dengan tarif Rp5.000 per orang. Jembatan gantung itu melintasi muara Sungai Cilauteureun. Air sungai sepertinya tidak bisa ke laut karena di muaranya terhampar karang yang lebar. Jika air surut, sebenarnya bisa menuju ke Pulau Santolo dengan melintasi karang itu.
***
Pulau Santolo memiliki pantai dengan karang yang sangat luas. Pasir hanya mengisi sejengkal jarak antara daratan dan laut. Di ujung yang berlawanan dengan jembatan tadi ada pintu air yang katanya peninggalan Belanda. Namun sudah ambrol di salah satu ujungnya. Tak jauh dari pintu air ini ada alat pemantau tsunami. Sayang, kondisinya sudah rusak.
Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di sini ketika air laut sedang pasang. Sebuah plang yang terpaku di sebuah pohon mengusik perhatianku. Plang itu memberitahukan bahwa ada kolam renang kurang lebih 50 m ke arah laut.
“Kolam renangnya ya di tengah itu. Kalau pasang begini tidak kelihatan. Nanti kalau sudah surut dan hamparan karang terlihat, kolam renangnya muncul,” kata seorang bapak tua yang sedang memperbaiki gubug bambunya. Waktu itu memang menjelang tengah hari sehingga gelombang pasang sedang dalam puncaknya.
Saya pun menunggu sambil memperhatikan suasana pulau. Ada mercu suar yang sepertinya bangunan baru. Ada batu karang berdiri tegar sendirian, mengingatkan Batu Layar di Sawarna atau di Pangandaran. Saya membayangkan kalau sore hari pasti indah pemandangan batu itu. Latar belakang matahari yang akan tenggelam. Banyak yang memancing di ujung dermaga atau ke ujung hamparan karang.
Menunggu air surut saya mencoba ikut-ikutan memancing. Sewa dari seorang penduduk Rp5.000 dengan umpan kelomang yang harus dipecahkan dulu rumahnya. Kalau beruntung, ada lobster yang bisa dipancing. Begitu iming-iming tukang sewa pancing.
Berpindah ke beberapa tempat tak satu pun ikan kecantol. Apalagi lobster hehe … Toh aktivitas itu mampu membunuh waktu dan tanpa terasa hamparan karang mulai muncul. Benar saja, di beberapa tempat ada cekungan-cekungan yang berbentuk persegi panjang dengan kedalaman sekitar satu meter. Dasarnya pasir putih atau sedikit padang lamun. Inilah yang dimaksud kolam renang itu.
Puas berenang saya pun menyudahi pengembaraan di Santolo Indah ini. Pulangnya saya mencoba menyusuri sisi pulau yang langsung bertemu dengan ujung jembatan di Pulau Santolo Indah. Ternyata ada hutan kecil di ujung jembatan dan beberapa hamparan pasir putih yang cocok untuk berkemah.
Namun, ceceran sampah masih menjadi masalah yang jika tak ditangani akan membuat Santolo Indah menjadi “bubrah”. Semoga ini hanya ketakutan semu saja.