gussur.com – Lokasinya dekat kampung halaman, namun baru sekali ini saya menapaki Makam Giriloyo yang diplang pinggir Jalan Imogiri selepas Jembatan Karangsemut dari Yogyakarta disebut Makam Sunan Cirebon. Dibandingkan Makam Raja-raja di Pajimatan, Makam Giriloyo terkesan mini. Hanya ada satu tangga ke atas yang melewati sebuah masjid. Di puncaknya pun tak banyak makam yang disua.
Makam Giriloyo memang kalah pamor dibandingkan dengan Makam Raja-raja di Pajimatan. Padahal, justru makam yang dibangun pada hari Jumat Legi, 22 Rabingulawal, 1714 Jawa, Jimakir (1 Februari 1788 M) inilah yang sebenarnya bakal menjadi tempat disemayamkannya Sultan Agung, Raja Mataram yang terkenal itu.
Alkisah Sultan Agung berkeinginan untuk dimakamkan di Mekah, namun tidak diperbolehkan oleh ulama setempat. Sehingga untuk menentukan letak makamnya, ia melemparkan sebongkah batu dari Mekah, yang ternyata jatuh di Giriloyo ini. Sayangnya Gunung Giriloyo telah diminta untuk menjadi makam Pamanda Sultan, yaitu Pangeran Juminah. Sultan Agung pun akhirnya menetapkan gunung di Pajimatan sebagai makamnya, yang kemudian dikenal sebagai Makam Raja-Raja Imogiri.
Sebongkah batu itu kemudian diberikan mitos, barang siapa yang bisa memeluknya akan diberi kekayaan yang berlimpah. Ada pula anggapan bahwa jika seseorang dapat mencakup batu yang kecil dengan kedua tangan, maka permintaannya akan terkabul.
Karena hanya menemani teman yang nyekar ke makam orangtuanya, maka saya pun hanya melihat-lihat dari luar saja. Tidak sempat untuk meminta penjaga makam menerangkan seluk beluk pemakaman ini. Ketika menapaki Makam Cirebon, saya hanya menjumpai pintu yang digembok.
Meski begitu, sebuah denah yang tergantung di sudut Masjid Giriloyo membantu memberi gambaran soal makam ini. Dari denah itu terlihat makam yang terletak di puncak perbukitan itu memiliki dua lokasi pemakaman. Sebelah kiri, dipagari tembok keliling, ada 58 delapan makam di dalamnya. Sementara di ujung sebelah kanan terdapat sebuah makam tertutup, dan diantara keduanya terdapat sepuluh makam berada di area terbuka (empat di ujung kiri, enam di ujung kanan).
Masjid Giriloyo konon juga merupakan peninggalan zaman Sultan Agung, dibangun berbarengan dengan pembuatan Makam Giriloyo. Bentuknya sederhana, segi empat berukuran 18 x 9,5 m beratap limasan tumpang khas Jawa Hindu, dengan hiasan di puncaknya. Terdapat pula kolam di sisi depannya yang airnya berasal dari kali yang mengalir dari perbukitan.
Jika mampir ke sini, ada baiknya minta dipandu juru kunci sehingga bisa melihat makam yang ada di kompleks makam utama. Beberapa makam bisa kita lihat tanpa perlu kehadiran juru kunci. Misalnya Makam Tumenggung Wiroguna.
Tumenggung Wiroguno adalah Panglima Perang Mataram kepercayaan Sultan Agung yang menyerbu Pati karena dianggap mbalelo, dan memboyong Roro Mendut ke Mataram untuk dipersembahkannya kepada Sultan Agung. Namun Sultan menghadiahkan Mendut kepada Tumenggung Wiroguno karena jasa-jasanya, dan mengetahui bahwa sang tumenggung menginginkannya. Sayangnya Roro Mendut jatuh cinta kepada Pronocitro yang minggat dari rumah ibunya, Nyai Singa Barong, seorang saudagar dari Pekalongan. Pronocitro akhirnya tewas ditangan Tumenggung Wiroguno, dan Roro Mendut memilih untuk mati bersama kekasihnya itu.
Masih banyak yang bisa dilihat di kompleks makam ini. Terutama mereka yang gemar dengan sejarah, Mataram khususnya.
Makam Giriloyo: Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta
gambar-gambarnya kok di kasih keterangan