gusur.com – Mangut lele selalu membuat diriku kangen. Dulu hampir tiap hari melewati sebuah warung mangut lele yang laris di kampungku. Sampai kemudian penasaran dan mencobanya. Dari situ saya jatuh cinta dengan mangut.
Namun, kecintaanku akan mangut lele terusik manakala saya diajak ke Mangut Lele Mbah Marto. Jika ajakan itu dulu sekaliiiii, mungkin tak ada usikan itu. Tapi berpuluh tahun kemudian ternyata ada pergeseran dalam selera makanku: tak menyukai masakan pedas. Dan Mangut Lele Mbah Marto itu superpedas!
Sebelumnya tidak tahu bahwa mangut di sini pedas. Mengungkapkan rindu akan mangut, saat mampir ke Jogja diajak ke sini. Lokasinya di belakang ISI. Tepatnya di Desa Nengahan, Ngiring-ngiring, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Ancer-ancernya, dari Kota Yogyakarta menuju Parangtritis, setelah lewat ISI siap-siap belok kanan. Patokannya di sebelah kiri Kantor Pos Sewon. Jalannya tidak besar, jadi harus hati-hati. Kalau ragu-ragu setelah ISI menepi dan bertanya ke penduduk sekitar.
Setelah masuk, nanti belok kanan ketika menemui pertigaan pertama. Sekitar 300 meter dari belokan tersebut ada sebuah gang kecil masuk ke kiri. Saya datang bukan pas musim liburan dan hari Jumat. Jadi sepi. Namun baca di blog orang, kalau pas musim liburan kendaraan roda empat sudah mulai diparkir dari pertigaan setelah belok di depan kantor pos. Kebanyakan berplat nomer luar kota.
Dari gang kecil tadi, rumahnya nomor tiga dari mulut gang. Jangan terkecoh dengan plang nama warung yang tertempel di tembok jika judulnya bukan “Mangut Lele Mbah Marto“. Begitu sampai warungnya, jangan membayangkan sebuah tempat yang dirancang khusus untuk berjualan. Warungnya ya rumah Mbah Marto itu. Di teras rumahnya ditata sebuah meja dan dua bangku panjang. Begitu juga di ruang tamu.
Lalu di mana makanan yang disajikan? Langsung menuju ke dapur saja. Bisa lewat pintu depan, atau samping rumah yang langsung menuju pintu dapur. Dapur yang sederhana layaknya rumah pedesaan. Masih pakai tungku dan kayu bakar. Makanan-makanan yang dijajakan ditaruh di beberapa baskom di atas amben yang berada di dapur juga. Ada gudeg, opor ayam, sayur daun pepaya, garang asam, krecek, mangut lele dan tahu, tempe, telur dan ampela yang dimasak menjadi satu.
Tak ada pelayan khusus di sini. Jadi kita bisa ambil sendiri nasi dan lauk pauknya. Makannya juga bisa di ruang tamu, teras, atau amben kosong di dapur. Saya memilih di ruang tamu. Di sini ada beberapa foto pesohor bersama Mbah Marto. Siapa pesohor itu? Lihat sendiri saja ya ….
Tak seberapa lama berdatangan rombongan ibu-ibu yang mau makan juga. Jumatan berkumandang dan saya mengais-ngais mangut sambil membersihkan bumbunya. Meski pedas namun rasa kangen terobati.
Oya, warung Mbah Marto buka dari pukul 11.00 sampai jam 16.00 setiap hari.
Lele terlebih dahulu ditusuk dengan pelepah daun kelapa kemudian di panggang di atas tungku dengan menggunakan kayu bakar sampai matang baru kemudian dimasak bersama bumbunya. Cara memasaknya yang menggunakan kayu bakar inilah yang memberikan aroma dan rasa “asap” yang khas pada lelenya.
Beginilah suasana dapurnya. Selesai makan langsung bayar di dapur ini.
Ambil sendiri yang kita mau.
Suasana pawon yang mengobati kangen pada suasana masa kecilku. Tungku, kayu bakar, bau sangit, semprong, … apa lagi ya?
Gudeg dan mangut lelenya. Perhatikan kuah berwarna merah. Ketebak kan seberapa pedes?
Kalau mau membawa pulang, silakan minta dibungkuskan. Tapi saya yakin rasanya tidak seenak dibandingkan memakannya di tempat.
1 Comment