gussur.com – Terkadang kita masih berpikir seribu kali untuk bersedekah. Alasan yang sering terlontar adalah masih merasa kekurangan. Masalahnya, manusia terkadang merasa tak pernah berkecukupan.
Esensi sedekah adalah berbagi. Dan itu tak ada kaitannya dengan kekurangan atau kelebihan. Berbagi adalah menyisihkan sebagian dari milik kita dengan orang lain.
Cerita dari Haryoko R Wirjosoetomo ini semoga membuka wawasan kita soal berbagi.
Suatu pagi sekitar pukul 09.00, saya harus menjalankan tugas sebagai salah satu pembicara dalam seminar nasional bertajuk “Indonesia Building Management Summit 2016”. Lokasi acara di Hotel Aryaduta, depan patung Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Rumah saya di Cinere, dan jalur ke sana di pagi hari sangat padat. Jadi saya memutuskan berangkat selepas subuh dan memesan taksi saja. Saya memesan taksi, minta dijemput pukul 05.00.
Entah karena kebiasaan sopir atau lantaran rumah saya dekat dengan pool mereka, saya selalu dijemput seperempat jam lebih awal dari permintaan. Begitu pula pagi tadi. Jam lima kurang seperempat taksi sudah datang. Saya pun berangkatlah.
Sopir yang menjemput saya sudah tua. Orangnya sopan dan ramah. Tatkala saya hendak meletakkan ransel laptop di sisi kanan, terpegang oleh saya sebuah bungkusan plastik. Tadi tak terlihat, tas plastiknya berwarna hitam terbaur dengan jok mobil yang berwarna senada.
Saya pun bertanya kepada pak sopir.
“Pak, di sebelah saya ada tas kresek ,rasanya ada isinya. Tas siapa?”
“Oh, maaf Pak, Itu tas kresek bawaan saya. Mohon taruh di jok depan sini Pak …”
Saya membungkuk ke depan dan menaruh tas di kursi kiri sisi sopir. Iseng saya bertanya kepadanya.
“Apa isinya pak?.”
“Nasi bungkus Pak, ada lima bungkus. Lauk ikan asin dan oseng-oseng tempe…”
“Lima bungkus? Banyak amat Pak bekalnya? Apa habis?”
” Bukan untuk saya Pak …”
“Untuk siapa?”
“Untuk mereka yang butuh sarapan Pak. Nanti di beberapa tempat di depan sana, jika Bapak izinkan, saya akan berhenti sebentar ya Pak …”
Saya punya banyak waktu dan juga ingin tahu apa yang akan dilakukannya dengan lima bungkus nasi itu. Tanpa keberatan sama sekali, saya mengiyakannya.
Benar juga, sepuluh menit kemudian ia menepi. Diambilnya sebungkus nasi, keluar dari mobil dan menghampiri seorang tukang sapu jalanan. Mereka tampak bercakap sebentar, ia menyerahkan bungkusan nasinya, saling berjabat tangan dan kembali ke mobil.
Begitu seterusnya, sampai bawaannya habis.
Melihat pemandangan demi pemandangan itu saya terdiam cukup lama, sebelum akhirnya bertanya.
“Apakah setiap pagi Anda melakukannya Pak?”
“Iya Pak.”
“Boleh saya tahu mengapa?”
“Senang saja Pak. Rasanya bahagia sekali bisa memberi sesuatu kepada orang lain, meskipun hanya sebungkus nasi.”
“Anda sendiri yang membungkusnya?”
“Berdua dengan isteri saya. Kami menyiapkannya sebelum salat subuh.”
Saya terdiam. Perlahan ada rasa malu yang merambat kian kuat dalam hati.
Ya, memberi tak perlu menunggu kita berlebih.