gussur.com – Cinomati adalah sepenggal jalan pintas yang menghubungkan Kec Pleret dan Kec Dlingo, Kabupaten Bantul. Tanjakan nyengkrek ini sudah dikenal di kalangan pedalis Yogyakarta.
Saya menemukan tanjakan ini saat membikin rute KGC gowes Jogja – Wonosari – Klaten – Jogja. Waktu itu pas ada hari kejepit Hari Raya Nyepi, Maret 2013. Jalanan sepi namun teduh menjadi pertimbangan memilih rute ini dibandingkan jalur utama lewat Pathuk.
Nah, empat tahun berselang, KGC kembali mengadakan gowes bareng Jogja – Indrayanti. Banyak yang meminta lewat Cinomati lagi.
Jika dulu start dari wilayah Brontokusuman, Yogyakarta bagian selatan, kali ini start dari kantor perwakilan Kompas di Kotabaru, Yogyakarta bagian tengah. Berangkatnya pun lebih pagi, sekitar pukul 08.00.
(Trip Cinomati pertama tahun 2013 start kesiangan karena berbagai kendala. Padahal berangkat dari Jakarta setelah Maghrib. Karena menggunakan bus maka kemacetan, jalan rusak, dan dicegat polisi membuat perjalanan terhambat. Sampai Yogyakarta sudah menjelang makan siang.)
Meski beberapa peserta baru sekali ini lewat Cinomati, namun secara refleks saya membelokkan arah rute dari sebelumnya mengikuti jalan besar masuk ke Kotagede. (Rencana kewat Terminal bus Umbulharjo lalu Pleret).
Masuk Kotagede saya ingin memperlihatkan beberapa situs peninggalan Kerajaan Mataram pada masa Panembahan Senopati. Hanya lewat saja karena kalau berhenti akan membuat perjalanan lebih lama.
Meski selintas, setidaknya peserta bisa melihat Makam Raja-raja, Masjid Agung, serta batu giling yang menjadi kursi tahta Panembahan Senopati.
Sebuah insiden ban kempes menimpa Lannue ketika perjalanan menuju Segoroyoso. Kembali aku memilih jalur kampung menghindari jalur utama karena lebih bisa menikmati pemandangan. Perkampungan dengan bentang sawah yang menyela antarkampung menjadi penyejuk cuaca yang mulai panas.
Namun, beberapa ruas jalan rusak. Sementara Yusri dan Rokhmat ternyata ketinggalan jauh dan tidak tahu kalau kami memasuki perkampungan. Mengira kami di depan, mereka pun ngebut mengejar kami.
Nyatanya, jalan rusak dan insiden ban Lannue membuat kami justru yang tertinggal dari Yusri dan Rokhmat. Ketika kami keluar dari jalan alternatif menuju jalan utama, mereka berdua sudah di titik awal pendakian Cinomati.
Ketika akhirnya regrouping, beberapa peserta langsung melanjutkan perjalanan. Tanjakan Cinomati yang sebenarnya sudah di depan mata. Beberapa langsung lanjut pelan-pelan, sisanya masih istirahat di sebuah gardu penjagaan. Mengobrol dengan seorang polisi dan penduduk setempat.
“Dari Jakarta?” Sebuah keterkejutan yang sudah biasa bagi kami kala penduduk lokal bertanya dari mana kami. Dikiranya dari Jakarta naik sepeda kali hehe….
Toh keterkejutan itu tetap saja menggumpal jadi kekaguman ketika kami mengutarakan maksud tujuan kami ke Indrayanti.
***

Dari tempat regrouping tadi, pusat kekuasaan Cinomati memang tak lama lagi. Begitu melihat rambu lalulintas tanjakan, maka hanya dalam hitungan puluhan meter sudah tersua tanjakan yang motor pun kadang ngeden.
Berbeda dengan yang dulu, jalur Cinomati sekarang ini bisa dibilang ramai. Khususnya oleh kemdaraan roda dua. Maklumlah, semenjak kawasan Mangunan Dlingo, Imogiri menjadi daerah tujuan wisata yang Instagramable, jalur ini menjadi alternatif.
Di tempat regrouping tadi sudah ada petunjuk arah beberapa objek wisata semisal Puncak Becici.
Karena ramai maka tak bisa leluasa untuk melakukan zigzag agar bisa menuju puncak tanjakan. Jadi ya harus berhenti jika tak kuat melahap tanjakan. Soalnya tanajakan ini belum berakhir namun ada jeda semu karena kemudian membelok ke kiri.
Di sisi kanan sudut belokan itu ada tempat lapang untuk berhenti sekadar mencari napas yang sepertinya susah diperoleh saat menanjak tadi.
Masih ada beberapa tanjakan berkelok sebelum akhirnya bertemu dengan perempatan yang di tengahnya ada pohon beringin.
Jika ambil kiri kita sampai ke Pathuk, ke kanan Mangunan dengan hutan pinus dan kawan-kawan. Untuk ke Indrayanti ambil yang lurus. Dapat bonus turunan dari perempatan ini.
Ketika membaca postingan Lannue yang melesat di atas kolbak dan menunggu di sebuah masjid pertama dari perempatan itu saya memutuskan untuk sekalian menjadi tempat makan siang. Sambil menunggu bisa melakukan salat.
Nyatanya ada sedikit kendala karena ada miskomunikasi dengan pengantar ransum makan siang. Saya dan pengantar sama-sama buta dengan daerah itu dan ternyata patokan yang saya gunakan mirip dengan lokasi lain yang ternyata dijumpai lebih dulu oleh pengantar.
Beberapa peserta yang sudah lapar memesan Indomie rebus di sebuah warung tak jauh dari masjid. Toh ketika makan siang datang habis juga. Sepertinya tanjakan Cinomati begitu menguras tenaga.
***

Selepas makan siang perjalanan dilanjutkan lagi. Ada beberapa yang sudah mendahului, dan saya hanya bisa memberi ancar2 sebatas yang ada di Googlemaps. Saya sendiri bingung dengan jalan-jalan di kawasan Gunung Kidul jika menyangkut jalur alternatif.
Awalnya berencana lewat Mulo lanjut Gringsing dan tembus Indrayanti dari arah atas kalau di peta. Tapi di peta sepertinya berbeda jauh dengan kondisi di lapangan. Baru sadar kalau sinyal gps di ponsel saya salah setting.
Akhirnya jalur pun menjauh dari jalur yang direncanakan. Ditambah dengan beberapa ruas jalan yang sedang diperbaiki, maka ketika hari menjelang gelap kami baru sampai pertigaan Baron. Masih ada 11 km lagi, kurang lebihnya.
Berhubung jalanan gelap dan tak semua lampu terang, maka kami pun berjalan beriringan. Jika ketemu tanjakan, maka regrouping dilakukan di puncak tanjakan.
Sedikit kejadian lucu tapi nylekit bagi tersangka. Sewaktu sedang asyik2nya menuruni tanjakan ada kabar tasnya Lannue ketinggalan. Beruntung diantarkan oleh bapak2 penunggang motor yang ditemui saat regrouping di pertigaan Baron.
Awalnya kami mengira bapak2 itu bagian dari pemilik warung di dekat pertigaan itu karena sedari kami datang sudah ada di warung itu. Ternyata motor bapak2 ini mogok dan ia menunggu bala bantuan. Beruntung sama kakaknya Rochmat yang kali ini menjadi tim evakuasi bisa “dibereskan” kemogokan itu.
Nah, bisa jadi karena merasa “berhutang budi” dengan rombongan kami, maka bapak2 itu menyusul kami dan mengantarkan tas Lannue yang ketinggalan.
Lalu di mana letak “nylekitnya” itu?
Ketika lokasi penginapan sudah tinggal sekitar sekilometer, ternyata di pinggir jalan ada warung angkringan yang buka. Sambil menunggu rombongan di belakang karena warung itu ada di puncak tanjakan beberapa berhenti ngeteh-ngopi dan makan nyamikan (cemilan). Tapi saking “enaknya”, malah keterusan.
Dari beberapa peserta yang nimbrung, akhirnya semua peserta malah berhenti dan ikut2an ngeteh-ngopi dan makan nyamikan. Saking laparnya, gorengan tempe yang keluar dari penggorengan langsung tandas.
Nah, sebagai ungkapan rasa syukur atas ditemukannya tas tadi, pemilik tas pun ketiban sangkur mentraktir semua makanan dan minuman yang disantap peserta. Tapi tenang saja, nilainya masih jauh di bawah dengan nilai tas yang hilang tapi kembali lagi itu.
Tak seberapa lama dari angkringan tadi akhirnya kami sampai di penginapan yang tak jauh dari Pantai Pulang Syawal yang lebih dikenal dengan nama Pantai Indrayanti.
(Foto2 diambil dari grup WA KGC)
1 Comment