gussur.com – Borobudur Marathon 2017 kemarin merupakan keikutsertaan saya ketiga kalinya di lomba lari yang mengambil tempat Start/Finish di Candi Borobudur itu. Yang pertama bisa dibaca di sini. Ada sedikit asa membuncah melihat gelaran yang menurut saya tak kalah dengan BMBM 2015 (sebelum berubah menjadi MBM, Maybank Bali Marathon).
Saya sampai sempat merekomendasikan seorang teman untuk menjajal di Borobudur Marathon 2016. Saya pun mendaftar di kategori FM, dan berharap keseruan di HM pada Borobudur Marathon 2015 berlipat ganda. Tapi apa yang terjadi?
Ketika 2017 Borobudur Marathon “dipegang” Kompas saya pun berharap lagi bahwa pengalaman Kompas yang sudah sukses menggelar event Jelajah Sepeda bisa mengisi kekurangan gelaran BorMar 2016.
Nyatanya memang demikian adanya. Sore selepas lomba, lini masa media sosial mulai dibanjiri pujian atas suksesnya acara BJBM 2017. Dengan mengusung jargon Reborn Harmony, Borobudur Marathon pun diungkapkan sebagai BJBM, Bank Jateng Borobudur Marathon. Bukan lagi BorMar, Borobudur Marathon.
Bisa jadi penggantian istilah itu untuk mengubur kenangan buruk dengan BorMar 2016. Bukankah di tradisi masyarakat Jawa (Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah) dulu jika ada anak yang sakit-sakitan namanya diganti dengan harapan bisa bebas dari rasa sakit-sakitan itu?
BJBM juga dekat dengan MBM, event lari yang seakan menjadi standar bagi EO jika ingin menyelenggarakan lomba lari berkelas internasional. Dan tak ada yang menyangkal jika Bali Marathon menjadi rujukan mereka yang ingin “memerawani” lari full marathon. Sampai ngetopnya Bali Marathon sampai ada yang bilang event ini sebagai Lebarannya para pelari.
Nah, tentu ada apa-apanya jika selesai BJBM, banyak pelari yang memberi apresiasi dan menyejajarkan dengan Bali Marathon. Ada pula yang membandingkan dengan Jogja Marathon dan Bandung Marathon. (Kedua event terakhir saya tidak ikut sehingga tidak tahu bagaimana kondisi nyatanya.)
Menurut saya membandingkan di sini bukan mencari peringkat, siapa yang terbaik atau siapa yang nomor satu. Soalnya susah untuk mencari hal itu. Tapi yang direkomendasikanlah hehe…
Kebetulan saya tidak ambil sendiri RPC kali ini. Gara-garanya pesawat delay yang membuat waktu menjadi mepet. Akhirnya nitip teman. Menyesal sebenarnya karena kata teman2 pengambilan RPC lancar, petugasnya ramah-ramah,suasana juga sudah mendukung sebuah perlombaan.
Berbeda banget dengan dua kali Borobudur Marathon, seperti yang saya ceritakan di atas.
Paket RPC selain jersey lomba dan BIB juga ada voucher Rp50rb (dua lembar) makan di resto Manohara, ada “seperangkat” pereda nyeri dari Salonpas. Plus tiga sachet Batugin. Agak aneh kenapa “peluruh” batu ginjal yang disertakan. Lebih berguna jika Madurasa atau Antangin. (Cuma enggak tahu itu sepabrik dengan Batugin apa tidak.)
Nilai plus lainnya ada penawaran shuttle bus meski ada yang komentar di Fesbuk pemberitahuannya telat. Shuttle busnya sendiri ada dua lokasi. Di Magelang berangkat dari Artos Mall (pukul 03.00) dan di Yogyakarta dari tiga lokasi (TVRI Yogyakarta, Taman Parkir Abu Bakar Ali Malioboro, dan Plaza Ambarukmo) yang berangkat pukul 02.00.
***
Dari penginapan di Magelang kota, saya bersama teman-teman berangkat sekitar pukul 03.30. Sampai di pertigaan patung Soekarno-Hatta, Mungkid, kendaraan sudah mulai mengantri. Namun ternyata setelah ada mobil polisi yang mengatur langsung lancar.
Bisa jadi karena peserta yang dibatasi tak sampai 9.000. Tahun sebelumnya dengan peserta lebih dari 12.000 terjadi antrian macet di jalur ini, yang membuat banyak orang parkir di pinggir jalan karena memburu waktu start.
Patut diacungi jempol adalah pemisahan titik start per kategori. Ini dimungkinkan karena lokasi start kebetulan berada di sebuah persimpangan jalan berbentuk Y, dengan titik start/finish di bagian dasar huruf Y. Kategori FM yang start pertama ditaruh di dekat gate Start/Finish. Sementara kategori 21K dan 10K ditaruh di cabang huruf.
Pemisahan lokasi itu konsekuensinya harus memberikan marka yang jelas. Dan itu sudah dilakukan panitia, selain menaruh marshal di setiap persimpangan yang akan mengarahkan peserta ke lokasi start. Dijamin tidak akan kesasar, dan kejadian yang saya alami salah masuk barisan pada tahun lalu tidak terulang.
Yang ajib juga adalah toilet portabel yang dipasang berderet-deret berwarna-warni di Taman Lumbini. Dalam hal ini, MBM kalah set. Lokasi start MBM yang terbatas memang tak bisa memanjakan peserta dengan deretan toilet yang terhampar di rerumputan.
Start tepat waktu, pukul 05.00 karena saya ikut FM. Sebelumnya nyanyi lagu “Indonesia Raya” yang dipandu Andien. Pengibaran bendera oleh Imam Nachrowi, sementara tembakan start oleh Ganjar Pranowo.
Seperti yang ada dalam bayangan saya, rute kali ini memang benar-benar mengeksplorasi kekayaan budaya dan alam Borobudur dan sekitar. Rute jalan pedesaan, sapaan penduduk yang memberi semangat, persawahan, siluet Borobudur dari kejauhan, serta Gunung Merapi yang bersinar diterpa Matahari.
Pos hidrasi berlimpah dengan petugas yang ramah. Menawarkan mineral dan isotonik. Yang perlu dibenahi tempat sampah yang agak kecil, berupa ember plastik ukuran sekitar 50L. Jadi cepat penuh dan ketika ada yang membuang sambil berlari bisa keluar lagi. Memang ada petugas yang mengambil serakan cup yang tak dibuang ke tempat sampah sih.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, rute FM kali ini lebih bersahabat tapi sadis. Bersahabat karena banyaknya marshal yang menjaga kesterilan rute sehingga nyaman ketika berlari. Bahkan ketika gerimis dan hujan besar marshal yang saya temui tetap berjaga sambil mengenakan jas hujan plastik. Patut diacungi jempol soal dedikasinya itu.
Pemandangannya pun ciamik. Melintasi persawahan yang menguning, atau sawah yang sedang ditanami. Ada latar belakang Candi Borobudurnya, Gunung Merapi, atau hamparan sawah yang luas. Bahkan melewati kanopi bambu yang sudah sulit ditemui di perkotaan.
Sadisnya, banyak tanjakan dan tak hanya di awal dan tengah, tapi di akhir rute juga ada. Jika di MBM sejak KM 36-an sudah menurun terus, di BJBM sempat di-PHP. Di sekitar km 30-an jalanan sudah menurun alus. Ah, pasti kemudian datar dan sampai ke Taman Lumbini.
Enggak tahunya, masih ada rolling di km 35-an dan km 37-an. Beruntung cuaca tak segarang tahun lalu.
(Tapi bagus juga lo tanda KM-nya. Terbuat dari besi yang kokoh berdiri.)
Sayang, beberapa fotografer kayaknya ngumpet karena hujan. Bisa dimaklumi sebab saya sendiri juga malas potret2 ketika hujan mulai turun. Jadi ponsel masuk plastik dan masuk ke saku fuel belt.
***
Tanpa persiapan yang matang, saya menyerah di km 26-an. Padahal sudah bertekad untuk lari terus sampai km 30. Gegara kaos kaki yang sempit dan “mencekik” pergelangan kaki bagian atas. “Cekikan” ini sudah mulai terasa di km 21-an. Awalnya saya kira ikatan tali sepatu yang kekencangan penyebabnya. Namun ketika saya cek kok normal2 saja ikatannya.
Saya mencoba mencopotnya dan menarik2nya biar kendor. Lumayan membantu namun tetap saja tidak nyaman. Akhirnya saya copot saja. Tapi lama kelamaan tidak nyaman pakai sepatu tanpa kaos kaki karena kerikil2 kecil masuk dan nyempil di seputaran kaki.
Akhirnya di km 30-an mampir ke sebuah toko penjual kaos kaki. Bapak pemilik toko malah nanya2 soal lomba lari Borbudur Marathon. Jadilah saya berhenti cukup lama, sekalian istirahat. Saya memilih kaos kaki seharga Rp10.000 (satunya dibandrol Rp5.000).
Kali ini kaki terbebas dari “cekikan”. Kebetulan pas mau lari kembali ketemu Kumoro, teman se-Pelari[an]. Sempat jalan bareng, lalu saling meninggalkan, akhirnya kompak jalan kaki bareng di 4 km akhir.
Ketika berbarengan dengan seorang peserta dari Semarang yang mencopot sepatunya dan hanya berkaos kaki saja untuk sampai ke titik finish, saya lalu kepikiran. Kenapa enggak pakai sendal saja ya?
Jadilah #BJBM 2017 kali ini terselesaikan dengan waktu 6.02 jam. Tak jauh berbeda dengan MBM 2017 (06.03) pada 27/8/2017 dan Mandiri Jakarta Marathon 2017 (06.09) pada 29/10/2017.
Tiga marathon yang berdekatan dan semua dengan bekal sekadarnya. Ya, itung2 setidaknya “menyiksa” tubuh.
Toh kali ini saya senang sebab teman yang saya rekomendasikan untuk ikut BJBM 2017 kali ini sumringah. “Sempurna!” begitu katanya.
Saya pun bungah meski tubuh lelah.
1 Comment