gussur.com – Warga yang tinggal di sekitar TPA Jatibarang di Semarang ini memiliki solusi inovatif untuk mengurangi gunungan sampah – memasak dengan memanfaatkan gas metana dari sampah
Rumah makan ini berbeda dari rumah makan kebanyakan. Letaknya tepat di tengah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah. Sekelilingnya adalah gundukan sampah berbagai wujud. Ada sampah rumah tangga, ada pecahan kaca, ada pula plastik.
Warung ini digawangi suami istri Sarimin (56) dan Suyatmi. Dikala para pemulung dewasa dan anak-anak mengais-ngais gunungan sampah, mereka sibuk memasak. Tentu saja pelanggan mereka adalah pemulung yang tak memiliki banyak uang, namun memiliki banyak sampah!
Nah, di sinilah keunikan warung makan ini. Para pemulung yang makan di warung itu membayar makanan tidak dengan uang, tapi dengan sampah plastik yang dimiliki para pemulung. Langkah ini menjadi bagian dari daur ulang plastik yang tak terdegradasi selain mengurangi jumlah sampah plastik di TPA itu.
Sarimin akan menimbang sampah plastik yang dibawa pelanggan dan mengubahnya ke rupiah. Nilai ini yang kemudian digunakan sebagai alat bayar makanan yang disantap pelanggan tadi. Jika kurang ya mengutang, jika berlebih akan dikembalikan.
Seperti dilansir ChannelNewsAsia.com (CNA), Sarimin memperkirakan bahwa dalam sehari terkumpul 1 ton sampah plastik. “Dengan cara ini sampah plastik tidak menumpuk atau dibuang ke sungai yang bisa menyebabkan banjir. Tak hanya menguntungkan pemulung saja, tapi juga semua orang,” kata Sarimin.
Pasangan ini menjadi satu dari delapan tokoh Indonesia berpengaruh yang diprofilkan dalam program bertajuk Indonesia’s Game Changers dari CNA. Program ini bercerita mengenai latar belakang ke-8 tokoh itu yang dinilai dapat membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui kerja keras dan kreativitas.
Warung makan ini dapat menampung sekitar 30 orang dan menyajikan beberapa menu seperti nasi mangut lele atau nasi telur rebus. Harganya berkisan antara Rp5.000 dan Rp10.000. Dibuka pada Januari 2016, warung ini merupakan gagasan dari Agus Junaedi, mantan kepala TPA Jatibarang. Ia ditugaskan pada 2014 oleh Walikota Semarang Hendrar Prihadi untuk mengurangi jumlah sampah plastik di TPA. Sekitar 800 ton limbah berakhir di TPA ini setiap harinya, dan 40 persennya merupakan sampah plastik.
Agus mengatakan bahwa saat itu harga plastik sangat rendah sehingga tidak ada pemulung yang mau memungutnya. “Lantas kami berpikir, kenapa kita tidak menggunakan plastik itu untuk membayar makanan? “kata Agus.
Gas metan gratis dari sampah
Sarimin mengatakan bahwa penghasilannya saat ini berlipat-lipat dibandingkan saat mereka menjad I pemulung yang mengais-ais sampah. Sekarang mereka bisa memperoleh uang sekitar Rp200 ribu sehari, setengahnya dari usaha warung makan dan sisanya dari pemulungan dan penjualan limbah plastik yang mereka kumpulkan.
Menariknya lagi, pasangan ini menggunakan bahan bakar untuk memasak makanan yang dijual di warung mereka secara gratis. Ya, mereka menggunakan gas metana yang dihasilkan dari pemrosesan sampah organik di sekitar mereka. Tentu ini akan mengurangi biaya produksi mereka.
Agus mengatakan bahwa pemanfaatan gas metana itu terjadi setelah terjadinya kebakaran di TPA ini pada 2014 yang menghancurkan hampir 10 hektar lahan. Dari kejadian itu pihak TPA menyadari bahwa gas metana bisa menjadi komoditas yang berharga.
Di TPA Jatibarang, langkah awal limbah diratakan dan kemudian ditutup dengan tanah untuk menampung gas. Lubang dibor ke tanah dan pipa dipasang untuk mengalirkan gas. Gas ini dibagikan gratis kepada masyarakat yang tinggal di dekat TPA. Jadi warga sekitar tak perlu membayar gas untuk memasak.
“Kami ingin mengubah pola pikir, bahwa sampah bisa menjadi komoditas yang bermanfaat. Mudah-mudahan, orang akan mulai mendaur ulang sampah sehingga sampah yang masuk ke tempat pembuangan sampah berkurang setiap harinya. “