Jalan Berliku Menuju Ciletuh, Sukabumi

gussur.com – Terlewat satu alarm akhirnya bangun juga selepas pukul 04.00. Untung semalam sudah menyiapkan ubarampe buat gowes. Tapi sempat terpikir apa bawa kendaraan ke Cibinong? Akhirnya menuju 4.30 memutuskan gowes saja menuju tikum dekat Pemda Bogor di Cibinong.

Teryata baru lewat Simpang Depok sudah jam 05.00. Menepi untuk memberi tahu supaya ditinggal saja, ternyata sudah ada misscalled dari Om Jwk. Juga sebuah pesan bahwa Om Jwk dan Om Vewee sudah berangkat duluan. Mereka akan menunggu di Pintu Gerbang Gunung Bunder.

Aku pun mempercepat kayuhanku. Diterpa hujan yang mulai menderas membuat aku menepi dan memakai mantol. Meski pada akhirnya jersey basah juga, tapi setidaknya tidak menjadi dingin karena angin campur derasnya hujan.

Dari Kebun Raya Bogor saya ambil jalan menuju Empang, Sukamantri, terus arah Curug Nangka, Curug Luhur, dan gerbang Gunung Bunder. Jalur ini mengingatkan saya waktu KGC gowes bareng ke Gunung Bunder, lalu pulangnya terbagi dua arah. Ada yang arah Barat (Ciledug, Tangsel, Bintaro, dan sekitar) mengambil jalur seperti berangkat, yakni lewat Dramaga Bogor. Arah satunya mereka yang tinggal di sisi Timur seperti Bekasi, Sentul, ataupun Jakarta lewat Curug Luhur.

Sempat gamang juga apakah lewat Cijeruk, Cigombong, Cibadak saja mengingat jalur ke Gunung Bunder rolling maut. Kuperkirakan sampai Gunung Bunder pukul 09.00 lewat. Tapi rasa penasaran jalur Cianten yang sering dibahas para KNight membuat aku mantap ke Gunung Bunder.

Sekitar pukul 08.00 memutuskan sarapan di dekat pertigaan arah Curug Nangka. Buka WA ada pesan dari Om Veewee yang mengabarkan menunggu di gerbang Gunung Bunder. Bubur ayam yang biasa tak aduk2 akhirnya kuaduk2 juga biar cepat dingin. Lalu bergegas menghabiskannya. Sudah teramat merasa bersalah membuat kedua KNight menunggu terlalu lama.

Menuju Curug Luhur teringat dengan ekspresi Lannue yang seperi ikan menggelepar2 saat menuntun sepedanya merayapi tanjakan. Gianto yang sudah lama kupakai seperti tak bersahabat. Entah protes atau ngambek. Terasa berat dikayuh di tanjakan.

Ketika bertemu dengan pertigaan, semangat kembali meletup. Setidaknya tinggal tiga kiloan sampai gerbang. Selain itu sudah tidak ada rolling. Kukayuh pedal sepenuh hati (kalau sepenuh tenaga jelas hoaks wong tenaga sudah terkewer2). Baru beberapa ratus meter Om Jwk menelepon. Sambil mengatur napas karena jalanan menanjak, saya mengabari bahwa sebentar lagi sampai gerbang Gunung Bunder.

Akhirnya gerbang Taman Nasional Gunung Halimun Salak (ini nama yang bener … kok dari tadi nyebutnya gerbang Gunung Bunder) terlihat dan saya pun mengerahkan tenaga terakhir untuk istirahat sejenak. Om Jwk dan Om Veewee sudah pasti terlalu lama menunggu. Makanya begitu saya sampai langsung siap-siap berangkat.

***

Saya pikir dari gerbang ini terus masuk ke jalan setapak menuju Cianten. Ternyata masuk ke kawasan Gunung Bunder, terus keluar lewat gerbang satunya lagi, Gerbang Cikampak. Hanya saja tidak sampai ketemu jalan raya arah Jasinga. Pas di pertigaan yang banyak angkutan ngetem, berbelok kiri. Ternyata ada tanjakan yang jahanam saudara-saudara! Duh, paha yang belum segar harus diperas lagi. Beruntung aku sempat meninggikan seatpost yang ternyata kependekan.

Jalur melalui perkampungan itu akhirnya menuju ke lokasi calon PLTA mikrohidro yang mengingatkan PLTA Karacak. Apalagi kalau bukan saluran pipa miring yang akan menghantarkan air untuk menggerakkan turbin.

plta cianten
saluran pipa yang akan menghantarkan air untuk memutar turbin

Tapi dari sini mulailah perjalanan yang menguras tenaga. Setelah melewati tanjakan makadam meninggalkan perkampungan, langsung disergap tanjakan tanah yang pasti licin kalau nekat gowes. Apalagi ban sepeda belakang yang sudah mulai menipis.

Saya jadi teringat dengan obrolan Om Jwk di aplikasi pesan WA.

Kayaknya tanah cuman sedikit… tanjakan itu pun harus MTB om …nggak mungkin di goes

MTB di sini maksudnya TTB. TunTunBike alias nuntun sepeda. Ya seperti gambar di bawah ini.

dari balik roda
jalan tanah yang susah untuk digowes

Ujung dari per-TTB-an ini adalah kebun teh Cianten. Sudah tiga kali saya membawa sepeda ke Kebun Teh Cianten. Salah satu episodenya ada di tulisan ini.

(Nanjak Ke Kebun Teh Cianten)

Tentu saja berbeda nuansanya. Jika dulu lewat jalan utama (yang sudah bagus karena dilewati Bus Damri jurusan Leuwiliang Bogor – Cikidang Sukabumi), maka sekarang bisa dibilang lewat jalan ular.

Istirahat sebentar di kebun teh, sembari makan pisang dan telur ayam kampung dari Om Jwk. Wah, bekalnya ternyata lengkap juga. Pantas gembolan di punggung terasa membusung (ke belakang). Satu hal yang belum bisa aku lakukan: membawa tas punggung saat offroad! Entah mengapa punggung basah menjadi ganjalan, meski ada tas punggung yang bisa membuat punggung tak terlalu basah kuyub saat dipakai.

Keluar dari kebun teh kemudian menyusuri jalan raya yang sedang dilakukan betonisasi. Sempat kendaraan terhenti lajunya karena truk molen pembawa adukan semen sedang menumpahkan adonan semen dari punggungnya yang seperti gasing terpenggal bagian atasnya itu.

Makan siang tak jauh dari Pasar Cipeuteuy. Sudah lewat dari saatnya makan siang sih. Tapi dalam turing sudah menjadi hal lumrah makan siang tak tepat waktu pukul 12.00. Emangnya lagi ngantor? Wong ngantor saja kadang juga lewat atau malah kecepatan makan siangnya.

Sayang, menu yang ada di warung banyak yang pakai cabai.

***

Meski jalan beraspal mulus, namun di beberapa lokasi berlubang. Tapi sudah relatif datar. Dan mulai memasuki perkebunan kelapa sawit. Seperti familiar. Seperti biasa, saya tercecer di belakang. Om Jwk melesat seperti tak pernah capai. Sedangkan Om Veewee pelan tapi pasti seperti noktah di horison. Lalu hilang di tikungan.

Benar juga, ujung dari jalan ini adalah pertigaan daerah Nangkakoneng yang jika ke kiri menuju Cibadak. Di seberang pertigaan ada warung yang dulu ketika saya dan teman2 KGC turing ke Sawarna via Pelabuhan Ratu.

Jalur Cikidang sudah menanti. Rolling-rolling kecil di tengah kebun sawit menjadi aktivitas kami. Saya teringat ketika lewat sini kala pohon sawit masih kecil. Saya bisa melihat jalan naik turun berkelak-kelok. Kini sudah tidak bisa lagi. Tertutup oleh tingginya pohon sawit. Sebagai gantinya sekarang bisa melihat buah kelapa sawit yang habis dipanen.

Sebelum Citarik regrouping kembali untuk menunggu rombongan terakhir: Intan, Mas AH, dan Mas Tjahjo. Tunggu punya tunggu ternyata Intan dengan cepat menyalip kami yang asyik ngopi di warung. Ia menyapa kami dari dalam … angkot! (Ke Sawarna (Lagi): Deja Vu Monteng di Cikidang – 1)

Makanya ketika mulai jalan lagi maka saya sudah membayangkan seperti apa jalur di depan. Termasuk tanjakan belok patah yang mengingatkan saya akan Monteng.

Saya kembali menggowes sendirian sebelum akhirnya bertemua dengan Om Jwk dan Om Veewee di perempatan yang salah satunya mengarah ke kota Pelabuhan Ratu. Terlihat dua K-Night-er itu berbincang2 dengan seorang bapak. Ternyata bertanya soal rute ke Ciletuh. Saya sudah pasrah saja!

Ketika akhirnya kayuhan berlanjut, sampai ke pertigaan dengan plang petunjuk salah satunya ke Ujung Genteng (dan salah duanya ke Geopark Ciletuh, serta salah ketiganya ke Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa), saya jadi teringat dengan perjalanan ke Ujung Genteng beberapa tahun silam.

Waktu sudah sore seiring matahari lingsir ke arah Barat. Melewati jembatan jalanan mulai menanjak alus. Berkelak-kelok dengan sesekali pemandangan laut di sisi kanan menjadi pelepas lelah. Terlihat perluasan pembangunan PLTU Pelabuhan Ratu dengan cerobongnya yang sudah tinggi menjulang di tepi pantai.

Menjelang Maghrib kami berhenti di warung di wilayah Cigaru. Saya mencoba merebahkan badan. Sudah lebih dari 130 km jarak yang disusuri Gianto. Sudah lama tak gowes jauh, langsung memperoleh menu yang “superhot”, maka seluruh badan terasa kaku. Dari obrolan dengan pemilik warung, ternyata ada jalur yang lebih singkat menuju Ciletuh. Yakni lewat Pantai Loji yang ada gapura berornamen ikan di sisi kanan. Saya sempat melihatnya.

Hanya saja, jalur itu berbahaya jika dilalui malam hari. Di jalur inilah motor yang masuk jurang karena tak tahu kondisi jalan, yang seharusnya belok kanan habis tanjakan (ada rambu jalan) tapi malah ngegas lurus yang langsung masuk jurang. Kejadian itu sempat terekam dan videonya menjadi viral.

Kami akhirnya memutuskan lewat jalur arah Jampang – Kiara Dua. Ketika malam sudah turun dan hujan semakin deras, saya lalu teringat dengan Cangar. Waktu itu ikut acaranya K-Night juga. Melintasi sembilan gunung di wilayah Malang dan sekitarnya.

Setelah itu, tanjakan di Tahura Soeryo menambah kerasnya etape pertama ini. Hari sudah gelap dan energi sudah habis untuk merayapi tanjakan Prigen, Trawas dan Tretes membuat rombongan tercerai-berai. Beberapa pedalis terpaksa dievakuasi. Sebelum puncak tanjakan memang ada sekitar enam tanjakan berkelak-kelok dengan sosok G. Welirang di sisi kiri. Dalam remangnya malam, G. Welirang terlihat mistis. Puncaknya berselimut kabut.

Selepas tanjakan Cangar di kawasan Tahura Soeryo menuju Batu, turunan aspal mulus membantu pedalis melepas lelah. Namun turunan itu membuat badan menjadi kaku, tubuh kehilangan panasnya karena dinginnya malam dan seharian digempur hujan. (SONGO-G #1: Tanjakan & Turunan Makadam Lereng G. Arjuno Menggempur Pedalis)

Lebih mencekamnya, di jalur ini banyak terjadi tanah longsor. Beruntung longsoran itu kebanyakan berada di sisi kanan meski was-was sebab ada salah satu longsoran yang menutupi lebih dari separo jalan. Setiap bunyi kemrosak saya segera waspada.

Kali ini saya ditemani Om VeeWee yang berbekal lampu flip-flop di belakang sehingga keberadaannya bisa dideteksi pengguna jalan.

***

Kami berhenti lagi di sebuah warung, sebelum memasuki perkebunan teh Surangga. Memesan teh hangat dan camilan, saya langsung kepikiran untuk menginap di sini saja. Soalnya di warung itu ada bale-bale yang ditempati si bapak pemilik warung. Apalagi dari cerita-cerita si bapak itu, Ciletuh sudah tak jauh lagi. Membayangkan mandi air hangat lalu meringkuk di atas bale-bale itu untuk mengumpulkan tenaga yang sudah habis dan esok paginya melanjutkan perjalanan.

Tapi …..?

Kenyataannya, dalam guyuran hujan yang awalnya menggigilkan badan, Gianto tetap kupaksa menggelinding. Ketika jalan datar lajunya semakin cepat membelah hujan dan malam. Saya tahu di kanan kiri adalah perkebunan teh. Jadi teringat saat perjalanan ke Ujung Genteng berhenti di salah satu warung di pinggiran kebun teh ini.

Sampai akhirnya kami bertemu dengan pertigaan Kiara Dua yang dibilang si bapak pemilik warung tempat anganku akan menginap tadi. Kebetulan di situ warung makan, sehingga sekalian mengisi perut yang sudah saatnya diisi.

Sop iga hangat menjadi menu yang sangat pas! Terlebih memang enak sopnya. Melihat di peta, perjalanan masih sekitar 40 km. Hmmm… seperti sudah mencium bau laut Ciletuh.

Rasa pegal di badan sudah tak terasa lagi. Sebenarnya tak ada lagi tenaga untuk merasakan. Hujan yang sudah mereda saat kami makan tadi malah mulai “bangkit” kembali. Om Jwk berhenti untuk memakai mantelnya. Saya sudah dari tadi menggunakan jaket karena badan tipisku tak sanggup menerima desiran angin malam.

Beruntung aku membawa lampu yang terang sehingga laju Gianto tak terganggu. Kayuhan semakin menggila ketika kami berbelok kiri mengikuti plang petunjuk. Jalanan mulus menambah pompaan adrenalin sehingga saya bisa mengikuti irama Om Jwk. Atau Om Jwk yang melambatkan kayuhannya ya?

Tapi yang namanya menyusuri jalan baru, meski sudah diberi tahu tinggal sekian kilometer, terasa juga perasaan tidak sampai-sampai juga. Apalagi jalanan rolling, meski cenderung turun.

Ketika melihat tugu bertuliskan Geopark Ciletuh, saya bersorak dalam hati! Sebelumnya saya sempat browsing2 di Internet dan melihat tugu itu sebagai salah satu tempat wajib foto. Sempat mau berhenti tapi dengkul sedang on. Selain itu takut ketinggalan juga nanti hehe …

Pada akhirnya kami tiba di Ciletuh menjelang pergantian hari. Setelah beberes dengan sepeda lalu mandi dan tidur.

Selesai sudah perjalanan Condet – Ciletuh.

***

DSCN8624//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8625//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8627//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8635//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8637//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8639//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8641//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8643//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8647//embedr.flickr.com/assets/client-code.jsDSCN8663//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8673//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8674//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

DSCN8676//embedr.flickr.com/assets/client-code.js

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s