gussur.com – Satu kenangan yang tak terlupakan saat turing dengan sepeda lipat dan melalui jalanan rolling adalah ban dalam meletus karena pelek yang panas akibat terlalu lama tertekan kanpas rem. Itu aku alami saat gowes ke Sawarna dari Pelabuhanratu.
[Baca: Ke Sawarna (Lagi): Begini Rasanya Merayapi Tanjakan Habibi (2)]
Ketika memakai seli yang sama ke Pantai Indrayanti, saya tak begitu khawatir karena rolling di pantai selatan Gunungkidul tak sekejam rolling di seputaran Banten. Tapi ada yang kelupaan saat itu. Saya tak mengecek kondisi kampas sehingga saat dipakai ber-B2W rutin tiba2 saja ban meletus karena pelek robek akibat kampas yang sudah habis.
Agak lama mencari pelek ukuran 20″ dengan lubang 28. Kebanyakan memiliki lubang 32 atau malah 36. Setelah ketemu, akhirnya memutuskan untuk mengetesnya di jalanan rolling. Awalnya mau mengetes dengan jalur Kramatjati – Bogor – Puncak – Cianjur – Cariu – Cibubur – Kramatjati. Namun ajakan teman2 di KGC untuk pesta duren di Ciboleger membuat pikiran berbelok.
***
Stasiun Palmerah menjadi awal dari perjalanan ini. Mengingat tak memiliki banyak waktu, maka gowes ke Baduy ini hanya dilakukan tek-tok. Makanya rute yang dipilih Rangkasbitung – Ciboleger pp. Berangkat dari St. Palmerah menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Rangkasbitung. Ada keberangkatan yang lebih pagi, 5.30, namun aku memilih yang agak siangan 6.30.
Di Stasiun Palmerah kemudian terkumpul beberapa teman: Sony, Om GW, Teguh, Novant (sepupunya Teguh), dan Intan. Di Stasiun Pondok Ranji bertambah lagi: Pak Parman, Rokhmat, Adolf, Pipin, Rani. Ternyata di gerbong lain juga ada beberapa pesepeda yang mau ke Ciboleger juga.
Sampai Stasiun Rangkasbitung setelah meluruskan sepeda masing2, kami kemudian sarapan di dekat Alun-alun Rangkasbitung. Selesai sarapan foto-foto di depan tulisan Rangkasbitung. Biar gak dikira hoax.

Sampai km 20-an jalanan relatif datar, menanjak pelan2. Pemandangan masih segar. Bocah2 sekolah riang berangkat. Ada yang naik angkot, diantar keluarganya, juga ada yang berjalan kaki. Kadang mereka melambaikan tangan memberi semangat.
Kanan kiri sawah selepas Kota Rangkasbitung. Terselip perbukitan. Jalanan ada yang dibeton. Ada pula yang masih aspal; ada yang mulus, ada pula yang sudah terkelupas.

Mulai km 20-an itu barulah jalan mulai terasa nanjaknya. Sayangnya, pas jalan datar aspalnya entah pergi ke mana. Tinggal terserak bebatuan. Ketika berangkat masih bisa melihat jalanan. Nah, pas pulangnya ditemani air hujan yang tumpah ruah dari langit. Jadi sudah gak tahu mana jalan yang rata dan mana yang ada lubang.
Di salah satu tikungan, kami dikejutkan dengan suara motor yang jatuh. Penumpangnya seorang kakek2. Kami merasa bersalah karena sepertinya kakek2 itu ingin mendahului kami yang sedang beriringan merayapi tanjakan tak seberapa. Namun naas, si kakek2 ini terlalu lebar menikungnya dan ban depan melindas plastik yang tercecer di jalanan.
Bagi yang “berjiwa sosial”, banyak godaan yang bisa ditemui di sepanjang jalan ini. Ada angkot, ada ELF, dan ada kolbak. Pilih yang sesuai minat dan kemudahan mengangkut sepedanya saja. Seperti yang berikut ini.

Namun, jalur yang sebenarnya dari rute Rangkasbitung – Ciboleger via Leuwidamar ini baru ditemui selepas km 25-an. Penandanya adalah pertigaan yang ada papan penunjuk. Bojongmanik (3 km), Baduy (8 km).

Diawali dengan turunan dengan kondisi aspal yang bergeronjal, maka rolling2 nan aduhai pun siap membelai betis Anda. Jika pakai MTB sangat mengasyikkan. Tapi pas pakai sepeda lipat begitu menyakitkan. Mau dihajar kok kasihan sepedanya, dibiarkan saja kok turunan dan tanjakan itu menyeringai.
Serba salah kan? (Buat aku lo…..)
Sedikit terhibur dengan adanya beberapa hajatan di sepanjang rute ini. Meski ternyata ada polisi tidur dari untaian ban bekas yang harus hati-hati melewatinya.

Nah, ketika dapat tanjakan nyengklek dan lihat gapura, bersenang2lah. Terminal Ciboleger sebagai tujuan akhir tinggal sedepa lagi. Hilang sudah kepenatan. Betis tak lagi menjerit. Dengkul tak lagi meringis.
Saatnya memandang keluarga petani.
Dari sinilah titik menjelajah kawasan Baduy. Jika hanya punya waktu terbatas, kawasan Baduy Luar tidak jauh lagi dari patung ini. Namun jika ingin lebih mengenal lebih mendalam lagi, sisihkan waktu barang dua tiga hari. Jelajahi Baduy Dalam.
Apabila Anda ingin suasana liburan yang berbeda, meluncurlah ke Kampung Cibeo di Banten untuk bertemu dengan Suku Baduy Dalam yang masih memegang teguh adat istiadat. Anda akan menemukan makna hidup yang tidak Anda dapatkan di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota.
Baduy dalam terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, kampung Cikesik dan kampung Cikertawana yang masing-masing dipimpin oleh Puun. Kampung yang kami datangi ialah kampung Cibeo, kampung Baduy dalam yang cukup terbuka untuk pariwisata. Setelah kira-kira 4 jam perjalanan menanjak dari Kampung Balimbing, Baduy luar ke Baduy dalam, melewati perkampungan, beberapa jembatan, ladang dan lumbung padi, kami akhirnya sampai di Cibeo.
(Sumber: http://indonesia.go.id/?p=8596)
Karena tak punya banyak waktu maka saya hanya bisa “memeluk” Baduy Luar dalam beberapa kejap. Sambil menikmati durian yang sedang menuju titik akhir musimnya. Di titik inilah saya lupa akan trauma turunan menggunakan Dahon Sp8 saya.
1 Comment