Cerita Kopi di Nggone Mbahmu

gussur.com – Kopi kini memasuki gelombang ketiga masa ketenarannya. Pertama, saat penemuan kopi itu sendiri. Kedua, menjamurnya Starbuck (yang kemudian diikuti dengan Starling, alias “Starbuck” keliling). Ketiga, ya sekarang2 ini dengan menjamurnya kafe atau warung kopi yang sampai ke pelosok desa.

Sepenggal kalimat itu aku dengar dari Mas Pur, kawan gowes yang tinggal di Klaten. Memang benar, sekarang ini dengan mudah kita menjumpai warung kopi. Di sekitaran rumah saya di kawasan Condet saja sudah ada tiga warung kopi dalam jangkauan kurang dari 1 km. Warung ini terletak di jalan kampung, bukan jalan besar. Dua mobil berpapasan pun harus hati-hati kalau tidak mau spion saling beradu. (Habis itu gantian mulut yang beradu …. kali aja).

Sepenggal jalan kampung dan warung kopi di salah satu ruasnya itu mengingatkan saya akan Nggone Mbahmu. Kalau ini bukan warung kopi dekat rumah, tapi di Klaten. Yang punya, ya Mas Pur tadi. Namun, hanya sepenggal jalan itu yang bisa dipersamakan. Warung kopinya sudah sangat berbeda.

Berkenalan dengan cikal bakal Nggone Mbahmu saat ada acara gowes di Klaten. Reuni JSSP, Jelajah Sepeda Sabang – Padang, yang diselenggarakan Kompas. Perjalanan menuju reuni itu sendiri penuh dramatis. Cerita selengkapnya di sini: Bersama Merida Mencumbu Klaten – Srigethuk via Nglanggeran.

Eh, sebelumnya sudah berkenalan. Waktu gowes Jogja – Wonosari. Kemudian pulangnya lewat Klaten, sekaligus gowes dari Candi ke Candi. Cuma ketika yang lainnya gowes candi ke candi, aku malah ke Deles.

Lokasi Nggone Mbahmu yang sekarang ini dulunya adalah tempat saya dan teman2 tidur. Sebuah paviliun dari bangunan yang oleh warga Klaten disebut Gedung Batu. Saya lupa kenapa disebut Gedung Batu. Bisa jadi karena temboknya yang dari batu alam.

Memasuki gedung ini terasa kesegaran dan kelegaan. Ketika akhir tahun 2017 kemarin ke sini, sore sudah membayang di ketiak hari. Dibandingkan dengan dua kunjungan sebelumnya, ada sedikit perubahan di halaman rumah ini. Sebuah batu hitam bertuliskan “Nggone Mbahmu” ada di depan pelataran bangunan utama.

Bangunan utama tetap dipertahankan sebagai wilayah privat bagi keluarga ini. Untuk ke “Nggone Mbahmu” harus melewati pelataran bangunan utama dan menuju paviliun, yang sekarang ada plang “COFFEE” di salah satu sudutnya.

DSCN8610***

Dari balik jendela kaca saya sudah melihat Mas Pur yang sedang melayani tamu-tamunya. Saya pun kemudian melihat-lihat paviliun yang sudah berubah total itu. Dua ruangan yang kini menyatu terbuka itu dijadikan pusat segala aktivitas dari “Nggone Mbahmu”.

Di ruang dalam terdapat mesin sangrai berkapasitas 20 kgĀ 5 kg (semoga tak salah ingat aku. Ternyata ingatanku sudah harus diinstall ulang, makasih Mas Pur yang japri mengoreksi …). Merek mesin ini Froco, dengan seri FR5. Untuk kawasan Jogja dan sekitar, ini termasuk yang terbesar. Mas Pur sempat bercerita bagaimana ia memilih mesin sangrai buatan Tangerang. Mesin itu sempat ngejogrog selama sebulan karena Mas Pur masih membenahi “kafe”-nya.

“Sempat ada ‘kegaduhan’. Siapa yang memasukkan mesin sebesar itu di Klaten?” cerita Mas Pur setelah ia memasukkan mesin itu namun belum dioperasikan.

“Akhirnya pada tahu. Ooo… nggone juragan lengo.” (Sebelum mengurus Nggone Mbahmu, Mas Pur meneruskan usaha orangtuanya berdagang minyak curah.)

Sementara di ruang luar yang pertama kita masuki merupakan ruang beraksinya Mas Pur dan Mbak Warih (istrinya). Meracik kopi serta mengobrol dengan tamu di meja yang hanya muat sekitar enam orang. Tembok kedua ruangan itu didominasi warna putih.

Beragam kopi single origin dari Nusantara ada di sini. Silahkan pilih mana yang akan dicoba. Selain itu Mas Pur juga membuat campuran beberapa kopi, dan menjadi andalan dari Nggone Mbahmu. Selain kopi standar tadi (kopi item), kita bisa juga mencoba menu Kopasus (Kopi pake susu) yang tentu sesuai namanya merupakan campuran kopi dan susu. Atau Koko, kopi korma. Bisa pula kopi dingin.

Sambil meracik kopi, Mas Pur bisa diajak ngobrol. Atau kita diam saja dan biar Mas Pur yang menjelaskan proses yang dia lakukan :). Terus terang saja, di Nggone Mbahmu ini kita tak hanya memperoleh kenikmatan sajian kopi, tapi juga tambahan wawasan. Tak masalah jika nanti menjadi lupa, tapi setidaknya ada satu dua hal yang nyantol di benak kita.

Jika waktunya luang, Mas Pur dengan senang hati menjelaskan proses sangrai. Bagaimana perjalanan biji kopi dari mulai dipetik sampai kemudian disangrai sesuai kebutuhan dan kemudian siap digiling dan dinikmati.

DSCN8582

***

Cukup lama proses yang dialami Nggone Mbahmu sebelum akhirnya dibuka untuk umum pada pertengahan Juni 2017. Mas Pur tak ingin Nggone Mbahmu menjadi tempat ngopi tapi suasana sepi karena ada WiFi. Ia ingin tempat itu menjadi media interaksi yang hangat. Sehangat nama tempatnya, Nggone Mbahmu yang dalam bahasa Indonesia berarti “Rumahnya Kakekmu”.

Harga yang ditawarkan bersahabat. Meski jangan kaget melihat harga di daftar menu yang memakai embel2 “e”. Itu bukan “Euro”.

“Kuwi artine ewu,” kata Mas Pur ketawa. (ewu dalam bahasa Indonesia berarti seribu)

Untuk harga kopinya sendiri berkisar dari Rp35 ribu sampai dengan Rp50 ribu-an untuk sekantong biji kopi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan bagi pengunjung yang ingin menyeduh kopi di tempat, beberapa olahan kopi ditawarkan dari harga Rp20 ribu hingga Rp25 ribu. Kudapan berharga Rp5 ribuan.

Sebagai sebuah tempat ngopi, Nggone Mbahmu memang memberikan suasana yang berbeda dengan tempat ngopi kebanyakan.

Jika penasaran, silakan simpan peta berikut ini.Ā https://goo.gl/maps/YfP3n8Q6XjD2

 

3 Comments

Leave a reply to gussur Cancel reply