gussur.com – Hanya beberapa jam saja saya di Citorek. Sebuah kampung adat yang memiliki banyak sisi untuk dikuliti. Penduduknya, budayanya, alamnya, atau sejarah masa lalunya. Tapi aku tak menyesal meski hanya mengenalnya sejengkal.
Dalam hidup tak senantiasa kita harus memiliki semuanya. Atau harus merengkuh asa atau benda yang lama kita perjuangkan. Proses menuju ke arah itu saja sudah memberi banyak pelajaran dalam kehidupan.
Tiba-tiba saja ingatan saya melayang pada Lara Croft. Dalam film “Lara Croft Tomb Raider: The Cradle Of Life”, ia akhirnya bisa menemukan kotak pandora. Seandainya saja mau, ia bisa membukanya dan menjadi penguasa dunia. Namun nyatanya kotak itu dikembalikan di tempat asalnya. Tenggelam dan akan menjadi misteri.
Nah, anggap saja sisi yang belum terungkap di Kampung Citorek adalah misteri yang akan mengundang saya kembali. Entah kapan waktunya.

***
Perjalanan menuju Kasepuhan Ciptagelar diiringi dengan suasana pagi di Citorek. Kabut, semburat mentari, padi yang menghijau, ibu-ibu yang mulai beraktivitas, deretan lumbung padi di kejauhan.
Jalanan mulus (zaman dulu kala) menanjak menjadi pemanasan bagi para K-Night menuju Warungbanten sebelum ke Ciptagelar.
Saya pikir Warungbanten ini nama sebuah rumah makan. Ternyata nama daerah. Padahal sewaktu menuju ke sana sudah sangat berharap bertemu dengan teh manis campur es segelas penuh. Ya, selain jalan menanjak makadam campur tanah, panas begitu menyengat. Terlebih selepas melintas sungai dengan air yang jernih. Serasa pingin nyemplung saja. Sayang, agak dalam untuk turun.
Tak jauh dari jembatan ini ada warung dan ada beberapa KNighters (Om Elang, Om Yopi, Om Jommy) yang sedang mengaso. Saya pun ikut2an melipir, diikuti Bli Nyoman. Sweeper tangguh Om Vidi pun menyusul tapi tak berhenti. Lagi on fire katanya.
Tapi tak seberapa lama, ketiga KNighters yang sudah beristirahat tadi langsung bersiap-siap berangkat. Om Wahyu yang tiba bersama aku dan Bli Nyoman pun ikut melanjutkan perjalanan juga. Terpaksa aku dan Bli Nyoman istirahat sambil kulineran.

Namun, melintasi rute Citorek – Warungbanten ini yang menarik adalah melihat tambang emas tradisional. Cikotok. Antam memang sudah menghentikan operasionalnya di Cikotok sejak 2016 setelah lebih dari 40 tahun mengelola tambang emas Cikotok yang merupakan peninggalan Belanda.
Rasa penasaran itu sudah muncul saat di Citorek melihat aktivitas ibu-ibu yang menjemur lumpur di tengah jalan. Sempat bingung kok menjemurnya di selebar jalan sehingga tidak ada celah untuk lewat. Namun melihat pengendara motor dan mobil dengan cuek melindas lumpur itu aku pun mengikuti langkah mereka.
“Enggak apa-apa dilindas. Biar hancur sekalian,” kata ibu-ibu itu. Setelah hancur halus, lumpur itu kemudian diolah di ruangan tertutup yang hanya bisa ditandai dengan suara gemuruh mesin diesel.
Semakin ke arah Warungbanten, semakin banyak hilir mudik motor membawa karung-karung berisi lumpur emas itu. Lokasinya di perbukitan di sisi kanan rute menuju Warungbanten. Makin lama makin penasaran, dan akhirnya menemukan lobang penggalian di pinggir jalan.

Sayangnya, enggak ada pekerja di dalam. Mau masuk takut ada apa-apa di dalam. Tapi bisa membayangkan bagaimana susahnya para penggali mencari urat emas di dalam perut bumi. Nyawa menjadi taruhan, dan sudah sering kita mendengar korban dari penambangan emas tradisional ini.
Sebenarnya penambangan ilegal ini sudah ditertibkan oleh Pemerintah. Menurut Bli Nyoman, pemerintah sudah menutup lobang-lobang itu dengan beton. Tapi penduduk setempat membongkarnya kembali. Saya sempat melihat sendiri beton penutup yang dibongkar itu. Masih terlihat besi rangka beton di sisi lobang yang digunakan penduduk untuk masuk ke perut bumi.
Sepanjang jalan di sisi penambangan terlihat beberapa karung lumpur yang siap diangkut untuk dihaluskan dengan dijemur di jalan raya.

Rute arah Ciptagelar akhirnya bertemu dengan pertigaan. Kalau ke kanan arah Sawarna, kiri arah Pelabuhanratu (dan Ciptagelar tentunya).
Saya jadi teringat dengan turing beberapa waktu silam dari Sawarna yang mencoba mengarah ke Cikotok dan tembus Cipanas, lalu Luwiliang. Namun, jalanan yang kami lalui ternyata makadam jahanam. Dalam artian batu besar yang lepas. Alhasil perjalanan jadi terhambat.
Setelah ditimbang-timbang, akhirnya rute Bayah – Cikotok – Cipanas itu kami lupakan. Sebagai gantinya nyari kolbak dan evak ke Rangkasbitung. Itu pun berkejaran dengan waktu memburu sang kereta.
Uhh … jadi teringat dengan lagu-lagu ABBA kalau mengenang episode evakuasi itu.
Siang itu panas benar-benar menyengat. Seberapa pun banyak minum akan terkuras lagi saat merayapi jalanan aspal mulus.
“Warungbanten tuh yang ada menara BTS itu,” kata Bli Nyoman yang menjadi kawan seiring mulai dari warung selepas jembatan tadi. Kami berhenti karena melihat Om Yopi ada masalah dengan ban belakangnya.
BTS menjadi harapan baru akan sebuah tempat bernama Warungbanten.
***
Saya akhirnya bertemu lagi dengan rombongan Om Elang yang berhenti di sebuah warung tak jauh dari pertigaan. Alasan berhenti selain karena makan siang juga tidak yakin dengan jalan yang akan dilalui karena mereka tak membawa GPS atau punya track gpx.
Di warung ini pula opsi langsung ke Pelabuhanratu dibahas. Masalahnya, besok pada mau kerja. Jika tetap ke Ciptagelar dengan sisa waktu yang ada, bisa-bisa sampai subuh baru tiba di Pelabuhanratu.
Secara jarak memang ke Ciptagelar tidak jauh-jauh amat. Namun menjadi lain jika ditempuh menggunakan sepeda. Terlebih jalanan makadam. Makanya, diskusi di warung itu membulat setuju untuk langsung ke Pelabuhanratu.
Sempat berhenti untuk makan sate di Pasirkuray, Ciptagelar pun dilupakan. Kami menikmati turunan aspal yang entah berapa kilometer jauhnya sebelum berhenti karena masalah ban sepeda Om Yopi. Hari sudah gelap sebelum akhirnya Om AA dan Om Imam muncul.
Hanya Om Jwk yang menikmati makadam Ciptagelar dan kemudian balik kanan arah Sirnaresmi sebelum bergabung di Pelabuhanratu. Sementara Om Vidi yang galau antara nyusul Om Jwk atau menunggu rombongan hore-hore di belakang memutuskan lanjut ke Pelabuhanratu dan pulang naik bus meski ternyata harus turun di Cibadak karena bus arah Bogor sudah “langka”.
Di Cimaja akhirnya rombongan diangkut dengan kolbak dan mobilnya Om AA menuju ke Karacak kembali. Sempat duduk di kursi depan ternyata Om Yopi yang di belakang kena jackpot di sekitar Cikidang sehingga saya menawarkan pindah tempat.
Ah, ternyata rebahan di bagian belakang kolbak nikmat juga. Jadi tahu rasanya kenikmatan tukang bangunan atau tukang sayur yang tidur di bagian belakang kolbak. Menjelang tengah malam kaget karena tiba-tiba saja kolbak berhenti. Begitu bangun tambah bingung. Gelap di sekitar. Setelah sesaat mengamati keadaan akhirnya mengerti alasan kenapa kolbak berhenti. Om Yopi kembali kena jackpot.
Jalanan memang meliuk-liuk. “Plus sopirnya ngerokok,” kata Om Yopi. Kasihan juga melihat Om Yopi memuntahkan isi perut yang terakhir terisi di sore sehabis Ashar.
Sampai PLTA Karacak Bogor sudah berganti hari. Masih ada sisa perjalanan ke Jakarta. Beruntung nebeng Om Imam sehingga perjalanan pulang pun tinggal hanya selemparan kolor saja gowesnya. Sampai rumah mandi dan baru sadar paha memar akibat jatuh tertimpa planthangan (toptube) sepeda. Gara-garanya ya reflek melepas cleat yang sudah menurun.
Meski tak kesampaian melihat Kasepuhan Ciptagelar, gowes dua hari tetap memberiku kebahagiaan. Seperti yang dikatakan penulis buku asal AS, Greg Anderson, kebahagiaan ditemukan tak melulu karena sebuah tujuan tercapai, tapi bisa pula ditemukan saat melakukan hal itu.
Yah, PR Ciptagelar masih tersimpan dalam memori.
Jadi kangen buat sepedaan nih..