Solo Audax 600: Meski Terhenti, Jadi Tahu Kunci

solo audax

gussur.comBe prepared for the worst.

Kalimat itu kubaca dari japrian dengan Om Adid yang menjadi tenaga sukarela Solo Audax kali ini.

Ya, saya sudah mempersiapkan hal terburuk tapi sepertinya kurang teliti membaca sebuah perubahan. Tapi, lepas dari semua persoalan yang ada, kembali aku disadarkan bahwa latihan itu tidak bohong. Practice makes perfect, kata Benjamin Franklin.

Setelah merayapi sisi selatan wilayah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, ketika putaran roda Dahon Sp8 melewati Trenggalek menuju Kediri mulai melambat membayangkan rute jalur tengah Ponorogo – Wonogiri di lereng Gunung Lawu (3.265 mdpl) sisi selatan.

Target waktu sudah tak akan tercapai. Mencoba jalur rata lewat Ngawi – Sragen pun sudah demotivasi dengan ramainya lalu lalang bus dan truk di pagi jelang siang yang pasti akan panas. Sudah panas hati dipepet bus dan truk – juga kendaraan pribadi, kepala pun panas dipanggang matahari.

Solusinya? Be a smart rider, kata Om Iman. Jadi ya di pinggir jalan selepas Nganjuk saya pun melipat Merida dan menyerahkan tubuh saya dan Merida dibawa PO Eka menuju Terminal Tirtonadi.

perbatasan
Dua kali melintasi perbatasan Jawa Tengah – DIY.

***

Solo Audax 600 menjadi jeda bagi penyaluran hobi saya setelah lama mencoba lari. Menjadi Audax kedua setelah ikut Audax Jogja 2014. Entah dorongan apa yang membuat saya mencoba Audax kali ini dengan sepeda lipat. Sebelumnya sudah mencoba berseli sejauh 300-an km dan “merasa nyaman”.

Saya pun mencoba membiasakan berseli untuk ber-B2W selama hampir dua bulan menjelang hari H. Dari pengalaman yang saya peroleh saat “berseli 300 km” tadi, penggunaan dropbar sangat membantu saat riding, terutama di tempat yang lapang tanpa pepohonan di kanan-kiri jalan.

Akan tetapi, ketika mencoba mengganti dropbar, kok malah jadi ilfil ya? Akhirnya balik lagi ke flatbar.

Sempat demam tak tahu penyebabnya. Dua kali ke dokter gak sembuh juga. Iseng mencoba menganalisis sendiri, bisa jadi karena jadwal donor darah sudah lewat (jadwalnya tgl 16 Agustus 2018) sehingga tgl 20 Agustus saya pun menyempatkan diri donor darah.

Tanggal 23 Agustus 2018 akhirnya saya memantapkan diri berangkat ke Solo menggunakan kereta. Masih ada hari Jumat untuk istirahat sebelum Sabtunya 25 Agustus start Audax.

atlet sepeda
Menjajal Solo Audax 100 sekaligus latihan.

***

Berbeda dengan Audax Jogja empat tahun silam yang relatif tak punya kenalan, kali ini saya bareng dengan teman-teman B2W Rombongan Bekasi. Ada Om Iman, Om Jarot, Om Hendra, Om Tutus, Om Dirman, Eyang Widi, dan dedengkot B2W Om VeWee. Di menit2 terakhir Om Dirman yang pernah gowes bareng Manado – Makassar batal karena anaknya mengalami musibah.

Kami datang secara bergelombang. Saya menggunakan kereta Kamis malam, Eyang Widi dan Om Hendra menggunakan kendaraan pribadi dan tiba Jumat, Om Tutus naik bus dan tiba hari Sabtu subuh, begitu juga dengan Om Iman, tapi naik kereta. Sementara Om Jarot yang asli Solo sudah beberapa hari tiba dan menginap di rumahnya di Gawok. Om VeWee naik pesawat Jumat sore.

Start dari Novotel Solo sekitar pukul 5.45. Ada dua jarak dalam Audax kali ini: 100K dan 600K. Peserta 600K sekitar 40-an. Sementara yang 100K ada kurang lebih 100. Banyak peserta yang telat start. Namun tidak masalah karena Audax bukanlah lomba balap sepeda. Yang penting bisa mengayuh jarak yang dipilih dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. Tentu rentang waktu ini dihitung dari start tadi. Jadi yang telat ya kehilangan waktu.

Menyusuri Jalan Slamet Riyadi kemudian mengarah ke Sukoharjo, lalu menanjak ke Waduk Gajah Mungkur. Sebelum muncul rute resmi, sempat beredar rute yang lebih manusiawi jika dilihat dari konturnya. Rute itu melintasi Wonogiri – Pacitan – Ponorogo – Trenggalek – Tulung Agung – Kediri – Nganjuk – Madiun – Ngawi – Sragen – Solo. Ngeloop kira-kira. Dilihat dari topografi, tanjakan ada di wilayah bawah. Mulai Wonogiri – Pacitan – Trenggalek.

Nyatanya, rute resmi berubah banyak dari sisi topografi. Tidak merambah sisi utara, tapi bermain di sisi Selatan dan Tengah. Bahkan dari Wonogiri belok dulu ke Gunungkidul. Kemudian dari Madiun balik ke Ponorogo, kembali ke Wonogiri, berputar ke Klaten sebelum finish di Solo.

Di rute tak resmi EG sekitar 4.000-an, sementara di rute resmi EG naik menjadi 7.000-an. Tetap berseli? Ya sudah kadung. Begitu juga dengan balik Minggu malam.

Ketika yang lain sudah melesat meninggalkan titik start, kami masih foto-foto di bawah balon start. “Ngapain buru-buru. Kan masih 40 jam lagi,” kata Om VeWee.

Apa gara-gara masih lama itu kami lalu nyasar dulu? Keluar Novotel harusnya belok kanan dan lantas ke kiri menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Tapi barisan depan bukannya belok kiri malah lurus menyusur Jalan Honggowongso. Namun gak terlalu jauh sebelum akhirnya putar balik.

Saya juga baru pertama kali pakai Etrex 30 pinjaman teman dan belum pinter mengoperasikannya. Hanya berbekal pernah pakai Etrex sebelumnya (seri 10?).

Sayang, pas melewati jembatan yang melintasi Bengawan Solo mengarah ke Sukoharjo bidon saya jatuh. Ketinggal deh dengan rombongan selier. Untung ada Om VeWee yang mau menemani untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu karena beda ban dan tentu tak bisa leluasa berjalan beriringan.

Menuju Wonogiri melewati Sukoharjo mengingatkan tempat asal teman waktu tinggal di asrama dulu: Begajah. Yah, akhirnya tahu juga yang namanya Begajah. Jalanan masih relatif sepi di pagi hari itu dengan kesibukan anak sekolah dan orang yang mau ngantor. Sabtu di banyak wilayah non-Jakarta masih menjadi hati kerja dan sekolah.

Jalur menanjak baru terasa saat masuk Wonogiri. Sempat bingung dengan rutenya. Karena katanya ada perubahan, dan belum sempat aku perbarui di Etrex, maka terpaksa membuka aplikasi GPX Viewer di ponsel yang dengan gampang diubah rutenya.

Menuju Waduk Gajah Mungkur mengingatkan pada etape Jelajah Sepeda Kompas Surabaya – Jakarta. Hanya saja dulu rutenya dari Pacitan – Solo via Waduk Gajah Mungkur. Sekelebat saya masih mengingat rumah makan tempat rombongan berhenti. Rasanya tak ada yang berubah.

Di sebuah puncak bukit dengan latar waduk, beberapa peserta berhenti. Saya pun ikut berhenti dan potret sana-sini, termasuk salah satu peserta yang mengendarai sepeda roda tiga. Ternyata atlet paralympic yang akan turun pada Asian Games nanti.

Check Point 1 (#CP1) ada di km 60, daerah Manyaran. Saya masuk ke #CP1 yang buka dari 07.36 – 09.45 ini pada pukul 08.49. Jadi masih satu jam di bawah Cutt of Time (COT).

jembatan gajah mungkur
Melintas di atas jembatan Waduk Gajah Mungkur.

***

Di CP1 ini Endang yang sesama KGC minta bareng karena peta hanya ada di ponsel sementara enggak ada bracketnya.

Jika di rute tak resmi dari CP1 ini langsung ke Pacitan, dalam rute resmi dibelokkan dulu ke Semin Wonosari, lanjut Semanu dan masuk ke Wonogiri lagi lewat Pracimantoro. Jalur ini didominasi dengan kesepian, tanah kering, namun jalanan mulus. Konturnya ya khas daerah pantai selatan. Roling padat.

Melintasi kawasan Gunung Kidul hati ini selalu tercekat. Ya, sebagian masa kecil ada di wilayah ini, meski lebih banyak di seputaran Wonosari. Dengan pesona alam dan jalanan yang mulus, kini pariwisata kawasan Gunung Kidul mulai menjadi primadona (data 2017, PAD Gunung Kidul dari sektor wisata sekitar 12 persen). Siapa tak kenal Gua Pindul? Plang petunjuk ini sempat saya temui di sepanjang jalan menuju Pracimantoro. Padahal jaraknya masih lumayan jauh, sekitar 6 km.

Tiba di CP2 yang nebeng di RM Sakinah (buka 08.55 – tutup 12.30)  pada pukul 11.47. Saya pun sekalian makan karena kepala sudah mulai nyut-nyutan. Kali ini sendirian saja sebab Endang ternyata sudah duluan bersama Om Endot.

Jalanan semakin menanjak, meski tetap mulus. Bahkan di beberapa tanjakan saya mesti berhenti mengatur napas. Maklumlah, sprocket Dahon masih bawaan pabrik: 8 speed 11-32. Itu pun yang 32 kadang loncat. Sudah saya atur pulleynya tetap gak mulus jalannya. Saya jadi takut kalau malah patah rantainya. Terpaksa jurus zigzag dikeluarkan. Beruntung jalanan sepi.

Memasuki Pacitan saya mulai bersua dengan rombongan yang tadi berangkat duluan dari RM Sakinah. Aura Partai Demokrat sangat terasa begitu memasuki Pacitan. Ya, Pacitan merupakan tempat kelahiran Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini menjadi Ketua Umum PD.

Setelah melewati dua punukan bukit, sampailah di bukit ketiga dengan elevasi puncak sekitar 444 mdpl. Dari sini mulai turun menuju Kota Pacitan yang berada tak jauh dari pesisir. Turunannya banyak yang curam sehingga perlu hati-hati, terutama pengguna seli seperti saya. “Saya malah nuntun tadi,” komentar peserta begitu kami istirahat di CP3 yang berada tak jauh dari “Alun2” Pacitan. Saya tiba di CP3 pukul 15.46. Sudah mepet dengan COT karena CP3 ini buka dari 10.40 dan tutup 16.00.

Di CP3 ini saya bertemu dengan Eyang Widi. Setelah minum air kelapa, saya pun segera melanjutkan kayuhan. Kali ini bareng Eyang Widi dan dr. Jie. Keduanya sudah masuk kategori manula tapi jangan ditanya fisiknya. Saya tak bisa mengimbangi di jalan rata. Hanya di tanjakan bisa sedikit bergaya hehe …

Beruntung bahwa selepas CP3 mulai menanjak dengan teguh sampai ketinggian puncaknya 586 mdpl di km 205. CP3 elevasinya sekitar 33 mdpl dengan odometer km 155. Namun aku sempat tertinggal oleh duo manula itu karena jalanan rata dan mulus membuat mereka bisa mengembangkan kecepatan dengan leluasa. Entah mengapa mereka kemudian berhenti makan bubur kacang ijo di sebuah deretan ruko. Saya jadi kepancing dengan tawaran mereka, sementara beberapa peserta di belakang “cuek” saja dan meneruskan kayuhan mereka.

CP4 agak memberikan kejutan sebab belum jaraknya. Harusnya di Masjid Al Huda, Tegalombo, di km 203. Namun baru km 190 sebuah tongkat ali berkedap-kedip di depan sebuah warung menghentikan kayuhan. Lumayan bisa merebahkan tubuh sembari menyantap Pop Mie. Entah, pingin yang berkuah tapi tak mau yang bikin kenyang.

Saya bertemu dengan Om Jors yang ternyata temannya Max, teman di KGC. Basa-basi sejenak karena dia sudah selesai istirahat dan mau melanjutkan perjalanan dengan MTB-nya.

jalan mulus lengang
Seruas jalan di wilayah Semanu Gunung Kidul.

***

Kembali saya mengayuh pedal bersama Eyang Widi dan Dr. Jie. Menuju CP5 di Kantor Desa Pangkal, Trenggalek, berarti nambah 10km-an. CP5 berada di Km 253.3 dan buka dari pukul 14.00 sampai 22.30. Masih menanjak dengan kanan kiri hutan. Tapi lalu lintas lumayan ramai.

Inilah puncak tanjakan dalam rangkaian Solo Audax 600. Ketinggian di punukan Pacitan menuju Ponorogo ini adalah 590 mdpl. Nah, selepas ini kami berleha-leha menuju Ponorogo.

“Sebentar, ini bukannya salah jalan?” teriak dr. Jie sambil memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan aplikasi Lacakin.

“Salah gimana?” tanyaku.

“La jalur yang benar kan yang biru ini. Kita ada di sini,” terang dr. Jie.

“Yang biru ini sungai dok. Kita bener di sini. Yang bulat itu kan posisi kita. Dan ini jalur yang kita lewati. Agak ke sini baru ketemu CP5,” aku mencoba menjelaskan.

“Oh iya, ya. Maaf. Kalau begitu kita lanjut.”

Setelah jalanan mulus, rute ternyata memasuki jalan yang rusak. Ponorogo mengarah Trenggalek. Di aplikasi GPXViewer akan menemui tanjakan lagi.

Malam, capai, dan jalan rusak. Kombinasi yang bikin gimana gitu …. Mana lalu lintas cukup ramai. Jadi ketika mengayuh di tengah dengan kondisi jalan yang lumayan mesti harus sering menepi ketika dari belakang ada bunyi klakson kendaraan.

Namun malam itu saya menyaksikan kegairahan warung kopi di wilayah ini. Hampir sepanjang jalan rusak itu saya melihat beberapa warung kopi yang ramai pengunjung. Bisa jadi malam minggu.

Menuju CP5 butuh perjuangan yang ekstra karena selain menanjak dulu, pantat sudah dalam ambang batas gak bisa kompromi. Alhasil gowes sesekali sambil berdiri.

Sempat kena PHP oleh kemeriahan yang saya kira sekaligus CP5, ternyata bukan. Lalu saya melakukan kesalahan saat melewati jalan yang separo longsor. Kepada pemuda yang mengatur lalin saya bertanya, apa masih jauh Kantor Desa Pangkal?

Tentu saja jawabannya hiperbola.

Toh kesabaran itu ada batasnya. Ketika jalanan sudah mulai menurun, ternyata CP5 tak jauh dari situ. Begitu sampai CP5 saya kaget lihat Om Iman meringkuk di bawah selimut darurat (emergency blanket). Di sebelahnya ada Om Jarot yang juga rebahan.

menanjak
Kontur jalan seperti ini sering dijumpai.

***

Menuju CP6 kali ini bertambah anggota kami, Om Djarot. Dengan seli Bike Friday-nya. Sekilas Om Djarot ini mengingatkan saya pada goweser yang saya kenal juga.

Jalanan menurun, gelap. Saya berada di barisan belakang, sempat melihat Eyang Widi berhenti. Pas tanya saya kurang jelas apa jawabannya. Tak jauh dari Eyang Widi berhenti kami baru tahu, di sinilah lokasi tanah longsor yang beritanya sempat disebar di Grup WA.

Masalahnya, di grup diberitakan bahwa sepeda atau motor bisa lewat. Tapi saat saya dan dr. Jie mau lewat, polisi yang berjaga di dekat cone-cone yang dipasang di jalanan tak membolehkan.

“Lewat jalan kampung itu. Di sana,” kata polisi sambil menunjuk arah jalan yang dimaksud.

Kami sepakat menunggu Eyang Widi dan Om Djarot biar bisa bareng melewati jalur altenatif. Tapi lama ditunggu gak muncul2 membuat kami bertanya2. Apa ada masalah dengan mereka?

Ketika lebih dari setengah jam menunggu, kami sepakat duluan. Eh, pas mau turun ke jalan alternatif, Eyang Widi dan Om Djarot muncul. Kami pun melewati jalur alternatif melewati kampung yang ternyata harus melewati turunan curam berkelak-kelok. Betapa curamnya jalur ini, beberapa mobil yang datang dari arah berlawanan tak kuat menyelesaikan tanjakan. Akhirnya diganjel dulu ban belakang, baru bisa melewatinya.

Bagi kami, turunan tajam ini juga gak bisa leluasa ditempuh dengan bersepeda. Terpaksa menuntun dengan susah payah karena harus bergantian dengan mobil yang lewat.

Melewati perkampungan dengan jalan tanah dan sedikit makadam cukup menyita waktu. Terlebih setelah bertemu dengan jalan utama, kami masih harus menunggu kembali Eyang Widi dan Om Djarot yang kembali tak kelihatan sorot lampunya.

“Wah, hampir kejatuhan batu tadi,” kata Eyang Widi begitu kami sudah berkumpul kembali. Ya, kemungkinan batu untuk glundhung memang besar karena ganjal ban yang dipakai adalah batu sedapatnya saja. Jadi, ketika dapat batu yang hampir bulat, ketika mobil bisa lewat tanjakan maka batu itu pun bergulir pelan dan lama kelamaan pun menjadi kencang.

“Harusnya pakai balok kayu yang dibikin meruncing,” kata dr. Jie. Ya, idealnya memang begitu. Tapi saya melihat jalur itu juga darurat dipersiapkannya. Itu pun hanya bisa dilalui kendaraan roda empat ukuran kecil, sebangsa MPV. Terlihat banyak truk yang putar balik begitu jalur resmi ditutup.

Waktu hampir mencapai tepinya, ketika kami mengauh kembali. Saya pun sadar tak mungkin mencapai CP6 sesuai target.

Kami berhenti kembali menjelang subuh di sebuah warung. Lapar mulai menjalar. Kemudian ada kabar Om Hendra yang terpaksa “ngojek” waktu menuju CP5 dan ternyata CP5 sudah kosong, ingin bergabung juga. Akhirnya kami menunggu Om Hendra. Saya yang sudah selesai makan akhirnya memutuskan tidur. Toh waktu sudah tak bersahabat untuk membawa ke CP6.

Bangun-bangun ternyata sudah banyak yang parkir di warung. Ketika kami meneruskan kayuhan, ternyata Om Hendra gak jadi bareng dengan kami. Alhasil, kami tetap berempat: Eyang Widi, dr. Jie, Om Djarot, dan saya.

Sebelum subuh kami berhenti di Alfamart di arah menuju Tulungagung. Karena sudah tak lagi mengejar target, maka saya pun mandi di sini.

Hmm … badan jadi segar.

pacitan
Mejeng sebelum masuk Pacitan.

***

Menuju CP6 jalanan sudah tak sekejam sebelumnya. Melewati Tulungagung, menuju Kediri, pagi sudah merangkak. Sempat melewati “tenda biru” bekas keramaian malam sebelumnya di daerah kawasan pesantren. Entah lupa namanya. Banyak bener ponpes di sepanjang Jalan Raya Mojo.

Sempat berhenti karena rombongan depan salah track, tapi bingung juga kok jalur yang ditandai tidak ada tanda-tanda jalan. Sementara Om Djarot mengejar Eyang Widi dan dr. Jie, saya masih mencari2 rute yang benar. Karena gak ketemu juga akhirnya menyusul.

Cukup jauh saya tertinggal, dan semakin jauh karena saya begitu menikmati pagi. Sempat jajan cemilan sebelum melanjutkan, dan ternyata rombongan depan sudah tak terlihat.

Saya sempat kelewatan CP6, dan tidak melihat Eyang Widi cs berhenti. Makanya saya terus lanjut sembari mencari sarapan yang menurut saya enak.

Lepas Kediri ternyata belum ketemu juga, dan akhirnya menepi di Soto Lamongan. Sambil sarapan saya pun mulai mereka langkah. Antara tetap ikut rute, dengan tingkat kepesimisan tinggi tidak bisa mengejar kereta malam itu dan motong jalur langsung menuju Solo via Nganjuk – Caruban – Ngawi – Sragen. Saya coba buka GMaps, jaraknya sekitar 150 km. Saat itu sekitar jam 7 pagi. Dengan rerata kecepatan 20 km per jam (karena rute relatif rata), maka sebelum gelap sudah bisa masuk Solo.

Selesai sarapan dan siap-siap mengayuh, tetiba saja tiga orang yang di depan tadi melesat. Eyang Widi berkejaran dengan dr. Jie, dibuntuti Om Djarot. Saya jadi teringat dengan sebuah cerita di Mati Ketawa ala Rusia. Soal kepedeannya Rusia dengan mobil buatannya yang mengklakson2 terus mobil buatan Amerika, padahal mobil buatan Rusia itu mogok dan ditandu mobil derek.

Saya pun bersegera dan akhirnya membuntuti Om Djarot, yang ternyata mencari toilet karena ada masalah dengan perutnya. Pantas saja “pelan”.

Tapi ada kabar gembira juga. Om Djarot seide dengan saya, langsung menuju Solo via Sragen(tina) hehe … Sempat belok ke sebuah SPBU, ternyata penuh toiletnya. Akhirnya Om Djarot bisa mendarat dengan leluasa di sebuah mushola.

Saya lanjut sendirian dan menyusuri jalan masuk kota Nganjuk. Nah, ketika melintasi jalan raya Nganjuk – Kertosono di daerah Wilangan, saya sempat senam jantung. Ketika asyik mengayuh sambil melihat pemandangan sekitar, tiba-tiba saja dari arah depan sebuah kendaraan melaju kencang dalam jalur saya karena menyalip sebuah truk.

Seandainya saja saya tenang, tak masalah. Namun saya sedang tidak fokus dan kaget. Akhirnya mengarahkan roda ke bahu jalan yang cukup lumayan beda tingginya. Hampir jatuh saya pun segera berhenti menenangkan hati. Tak jauh dari situ ada deretan warung. Saya pun berhenti di sini.

Ah, saya pun lantas berpikir mengapa jika ada kalimat “Be prepared for the worst”, mengapa tak mencoba sebaliknya? “Be prepared for the best!” Hehehe….

Pikiran licik pun mengendap-endap di benak. Yah, kenapa gak naik bus aja. Duduk manis sembari terlelap dan sisa waktu bisa digunakan untuk mengeksplor Solo.

Begitulah, selepas tengah hari pun saya sudah sampai di Terminal Tirtonadi. Mampir di Stasiun Balapan untuk mencetak tiket, saya pun kemudian berkelana kuliner. Kemudian leyeh2 di Twinstar Hotel menjelang gelap, menyiapkan kamar buat Om Hendra, Om Iman, dan Eyang Widi sambil memantau pergerakan teman-teman.

Meski tak bisa menuntaskan misi, namun saya memperoleh kunci untuk menyelesaikan Audax. Tentu juga dengan membandingkan Audax Jogja yang pernah saya ikuti beberapa tahun silam.

pacitan
Baliho penyambut tamu.

(Foto2: Gussur/Om Djarot)

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s