Membawa Gianto Pulang (1) : Mampir Taman Doa Gantang

gianto menuju gancik

gussur.com – “When the spirits are low, when the day appears dark, when work becomes monotonous, when hope hardly seems worth having, just mount a bicycle and go out for a spin down the road, without thought on anything but the ride you are taking.” ― Arthur Conan Doyle

Saya teringat dengan ungkapan dari pengarang berkebangsaan Inggris – salah satu seri terkenalnya adalah Sherlock Holmes – itu ketika ingin membawa Gianto pulang kampung.

Gianto adalah panggilanku kepada sepeda MTB-ku. Karena mereknya Giant dan aku berlatar belakang Jawa ya dengan gampang tinggal kasih “o” di belakangnya. Jadilah Gianto. Sudah ratusan km kususuri jalan di negeri ini dengan Gianto. Usianya sejak beli baru sudah mendekati 10 tahun. Sudah termasuk tua untuk dunia persepedaan saat ini yang sudah dijejali dengan sepeda berlingkar ban 27″ atau 29″. Gianto sendiri masuk kategori 26″. 

Dari semula ingin menggowes Gianto dari Jakarta ke Imogiri, sebuah kecamatan di Kabupaten Bantul sisi Timur. Terkenal dengan Makam Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Tapi ternyata waktu tidak pernah berpihak pada keinginan itu. Padahal peta gpx sebagai panduan sudah saya buat: menyusuri jalur tengah yang relatif sepi.

Kesempatan itu akhirnya datang bersamaan dengan keikutsertaan saya di Borobudur Marathon 2018. Meski tidak jadi menggowes langsung dari Jakarta karena keterbatasan waktu, tapi aku sudah berketetapan hati membawa Gianto pulang. Makanya saya menumpang bus agar bisa membawa serta Gianto.

***

17 Nov 2018

Menumpang bus Safari Dharma Raya, sekitar pukul 06.00 saya sudah “mendarat” di Blabak, Magelang. Setelah merakit sepeda, saya pun bergegas menuju Gantang, di kaki Gunung Merbabu. Ada sebuah taman doa yang di kalangan orang Katolik begitu populer belakangan.

Sekitar 10 menit gowes pemanasan saya menepi dulu melihat penjaja bubur sayur. Sembari mengetrack jalur via GMaps. Jaraknya sekitar 14 km tapi nanjak alus sebelum beberapa kilometer mendekati finish nanjak nyengkrek.

‘Nyabu’ dulu…

Selepas makan bubur dan teh manis yang tak sampai Rp10.000,- itu aku pun mulai menyusuri penziarahan batin menuju Gantang. Pagi itu lalu lintas sudah ramai, terutama yang dari atas. Aktivitas warga mulai berdenyut. Berbeda dengan di Jakarta, di banyak wilayah di Jawa Tengah dan Yogyakarta hari Sabtu bukanlah hari libur bagi pegawai dan anak-anak sekolah.

Rute menuju Taman Doa Gantang

Pelan tapi pasti saya kembali mengayuh pedal. Dua kilo menjelang Taman Doa Gantang, tanjakan nyengkrek mulai tersua. Deru nafas bercampur dengan bau pupuk kandang yang bertebaran di pinggir jalan karena daerah sekitar merupakan ladang penduduk. Sesekali menyapa penduduk yang berjalan kaki menuju ladang.

Akhirnya sampai juga di parkiran Taman Doa Gantang. Langsung saya beberes dengan tujuan yang sudah saya pendam dari Blabak tadi: pup! Rutinitas pagi. Juga mandi tentunya. Setelah minta izin ke anak-anak yang menonton teve di tempat semacam beranda, saya memasuki satu dari beberapa toilet yang ada. Mencoba memilih yang ada WC duduknya, saya segera bersiap melaksanakan hajat.

Melihat air dalam ember di samping WC kosong, saya lantas membuka kran. Blaik! Ternyata gak keluar air. Buru-buru hajat yang mau keluar kutarik kembali dan kembali menggunakan pakaian, lantas keluar bertanya ke anak-anak tadi.

“Airnya gak ngalir ya Dik?”

“Iya Pak!”

***

Aku pun kembali berkemas-kemas dan menuju ke Taman Doa dengan berharap air suci mengalir untuk membasuh muka. Untung di sini air mengalir lancar. Tentu tidak bisa digunakan untuk mandi. Jadi saya hanya membasuh muka. Dinginnya air menyegarkan kepenatan.

Segera saya menuju ke pelataran Patung Bunda Maria dan tenggelam dalam keheningan. 

Taman Doa Gantang

Sekitar satu jam saya bersimpuh di Taman Doa ini sebelum akhirnya bersiap-siap menuju ke Artos Mal mengambil paket lomba Borobudur Marathon.

Menuruni jalan menuju Blabak, saya mencoba tidak mengikuti jalan besar. Tanya-tanya ke penduduk setempat, ada jalan menuju Candimulyo yang bisa tembus dari belakang Artos.

“Cuma jalannya naik turun Dik!” kata seorang bapak pemilik warung yang pagi itu saya datangi karena ingin membeli minuman.

Jalanan memang naik turun tapi relatif sepi dan melintasi persawahan. Tanaman padi masih hijau, menyejukkan mata. 

Tiba di Artos Mal saya segera menitipkan sepeda ke Mbak2 penjaga parkiran motor. Juga tas bawaan saya. Saya kemudian menuju ke lantai tiga tempat pengambilan RPC. Ternyata sudah ramai juga. Banyak yang masih membawa tas bepergian mereka. Pertanda mereka langsung dari bandara atau stasiun.

Rute dari Taman Doa Gantang menuju Artos Mal.
Inovasi baru dalam pengambilan RPC. Begitu selesai memperoleh BIB, nama kita akan muncul di layar besar di ruang pengambilan RPC. Karena penuh sesak antrian dan buru-buru, saya hanya sempat motret nama tanpa bisa selfi.

Karena mendapat titipan RPC, maka saya pun menitipkan RPC saya dan RPC titipan ke teman yang akan ke penginapan menggunakan kendaraan.

Saya? Kembali menyusuri jalanan di Magelang dengan Gianto menuju penginapan di Bumi Shambara, tak jauh dari Candi Borobudur.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s