gussur.com – Lari di Borobudur kali ini menjadi lari yang keempat kalinya. Jika disimak dari tulisan2 saya di blog ini, terlihat grafik kepuasan terhadap lomba lari di Borobudur ibarat roller coaster. Naik turun naik naik lagi.
Yang pertama pada 15 November 2015. Belum ada kategori full marathon (FM). Saya pun ikut yang kategori setengah maraton dan terkesan dengan lomba ini, terlepas dari kekurangan yang ada. Namanya masih Borobudur 10K karena dua kegiatan sebelumnya kategori terjauh hanya 10K.
Setahun kemudian, 2016, dengan harapan membuncah ikut lagi dan mencoba kategori FM. Jika HM saja mengensankan, apalagi FM? Dua kali mengesankan tentunya. Itu teorinya. Nyatanya? Ketika ditangani EO, sebelumnya oleh Pemda, Borobudur Marathon kali ini justru mengecewakan.
Lantas, kapokkah saya?
Karena 2017 manajemen lomba diambil alih Kompas, ya kudu mendukung acara yang diselenggarakan sesama kolega dong. Dengan jargon Reborn Harmony, dan didukung Bank Jateng, Borobudur Marathon 2017 pun sukses bangkit dari “amburadulnya” lomba tahun sebelumnya.
Jadi, tak ada alasan lagi untuk tidak ikut di Borobudur Marathon 2018 (BorMar).
***
Pada gelaran 2018 Borobudur Marathon mengusung tema Raising Harmony. Ibarat bayi yang baru tumbuh, setelah lahir tentu fase berikutnya merangkak, lalu berjalan, dan kemudian berlari. Tentu saja setiap fase ada peningkatan kemampuan. Dalam hal organisasi lomba, ini berarti peningkatan kualitas.
Selain disambut panakawan di Bandara Adisucipto, pengambilan RPC di Artos Mal Magelang kali ini dikejutkan dengan inovasi baru dari panitia BorMar. Usai mengambil RPC, nama kita akan muncul di layar besar di sisi kanan ruang pengambilan RPC dalam frame stupa.
Tawaran produk yang berkaitan dengan lari dari para sponsor pun menarik minat beberapa peserta yang selesai mengambil RPC. Seperti pada booth Isoplus yang menjadi minuman isotonik dalam acara ini diserbu peserta yang ingin memperoleh minuman isotonik gratis dengan menunjukkan BIB kita. Atau fuel belt seharga Rp50ribu plus gratis satu buah botol minuman isotonik.
***
Pada hari H, mereka yang sudah pernah ikut BorMar tahun kemarin tentu sudah hapal dengan penataan start. Juga deretan toilet portabel warna-warni dan tenda drop bag. Semua masih sama persis tahun lalu.
Begitu juga dengan tata letak panggung penembak aba-aba dan penyanyi lagu Indonesia Raya. Hanya kali ini bukan Andien yang tampil, tapi Monita Tahale. Pemilik nama lengkap Monita Angelica Maharani Tahalea ini merupakan jebolan Indonesia Idol 2005. Dengan gaun putih krembyak2 – saya malah berimajinasi pada kostum film2 horor yang sekarang ini lagi tren, apalagi lihatnya di pagi buta – suara dara kelahiran 21 Juli 1987 ini membius para peserta.

Mendung yang menggayut di langit mengirimkan sinyal akan datangnya hujan seperti tahun lalu. Antara berkah dan musibah. Berkah karena cuaca tidak panas, sebab pada saat lomba, cuaca seputar Magelang begitu gerahnya. Panas nylekit. Musibah karena gak banyak fotografer yang bertahan dalam hujan sehingga koleksi foto peserta berkurang.
Start tepat waktu, yang dibuka oleh Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang ikut pada kategori 10K, ribuan pelari kategori FM mulai menyeruak di jalanan seputar Taman Lumbini sebelum akhirnya tumpah ruah di rute lomba seputaran Candi Borobudur.
Dibandingkan tahun sebelumnya, hiburan kesenian kali ini lebih banyak dan beragam. Sayang, tidak bisa bertanya lebih banyak karena kali ini saya mencoba mengukur berapa lama catatan saya. Toh beberapa kesenian sempat menjadi ajang selfiku.
Pos hidrasi kali ini lebih banyak dari sebelumnya karena di penggal rute terakhir dipersempit jaraknya menjadi tiap 2 km. Ini menjadi patokanku untuk mengendorkan urat-urat kaki dengan meneguk air mineral dan isotonik sekaligus dengan berjalan kaki sekitar 100 m. Cuaca yang memang panas meski matahari tak menampakkan membuat gelas-gelas berisi air itu tandas ketika masuk dalam keranjang plastik.
Inovasi lain yang membantu diriku dalam menyusuri rute tahun lalu itu adalah garis biru. Ketika kaki sudah capek diajak lari, maka jurus lari – jalan pun aku keluarkan. Masalahnya, agar bisa mangkus jarak antara lari dan jalan harus seimbang. Saya sering menggunakan pal di pinggir jalan yang jaraknya biasanya per 100 m sebagai pemandu. Sayangnya, tak semua jalan memiliki pal ini.
Maka, ketika ada garis biru yang menjadi pemandu jarak efektif, saya pun memakainya sebagai pemandu jurus jarak – lari. Jadi ketika menginjak garis biru, saya pun mulai berjalan. Ketika menginjak garis biru di depan, saya mulai lari lagi sampai kemudian menginjak garis biru lagi di depannya. Begitu seterusnya.
Sampai akhirnya bisa finish dengan waktu yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. BorMar kali ini waktu tempuhku 05:12:21. Tahun 2017 lebih dari 6 jam, tepatnya 06:02:36.
Hujan yang batal bisa jadi membuat pelarianku kali ini lebih bergigi dibandingkan dengan tahun lalu.
Semoga masih bisa berlari di tahun depan.
