gussur.com – “Muntahkan saja. Kalau gak bisa, colok jarimu ke mulut!”
Kalimat itu aku dengar saat berpapasan dengan seorang pelari yang berlari balik arah menuju ke temannya yang berhenti berlari di atas trotoar sambil kedua tangannya memegang perutnya.
Duh, saya tak bisa membayangkan harus memuntahkan isi perut dengan mencolokkan jari ke mulut.
Drama di sekitar km 29 di Jalan Lodaya Bandung itu bukan yang pertama kusua dalam Pocari Sweat Bandung Marathon 2019 (PSBM). Namun ini yang paling dramatis dan menjijikkan menurutku. Apakah setelah muntah badan jadi segar dan bisa meneruskan sekitar 13 km lagi?
“Kesakitan” saat mengikuti lomba lari full marathon menjadi pemandangan yang biasa. Sebelum lomba saya sudah melihat peserta dengan kinesio tape di beberapa bagian kaki. Bahkan ada yang seperti tato saja menghiasi kedua kakinya. Paha depan dan belakang, seputar lutut, kemudian betis belakang.
Sebelum 10 km pertama sudah ada yang jalan kaki. Memang waktu itu jalanan menanjak melewati jalan layang Pasopati. Namun jika jarak seperempatnya saja sudah kehilangan daya tahan, bagaimana nanti jarak sisanya? Pasti menderita.
Drama-drama selanjutnya dengan mudah kita lihat di setiap pos hidrasi. Ada yang disemprot, dioles, atau sekadar berhenti meluruskan kaki sambil rebahan atau duduk. Selepas pertengahan jarak, ada yang kram, baik kaki atau perut. Juga perut bermasalah seperti di awal artikel ini.
Marathon berjarak 42,195 km bukanlah ajang pelariaan yang bisa dilakoni dengan kebulatan tekad. Hanya bermodal HM sekali lantas memberanikan diri untuk naik kelas karena “kompor” teman-teman sekomunitas misalnya.
“Kan sudah pernah 21. Tinggal nambah dikit bisalah sampai 30 km. Sisanya tinggal jalan kaki.” Kira-kira begitu semangat kita dibakar.
Padahal, seperti dikatakan coach Andri Yanto, pelatih lari, dalam suatu acara Road to Bank Jateng Borobudur Marathon, lari marathon merupakan proyek jangka panjang. Tentu ini tujuannya untuk bisa finish strong. Atau guyonan teman-teman, bisa finish congkak!
Tentu saja saran Andri itu untuk kita-kita pelari rekreasi. Yang sebagian besar waktu habis untuk bekerja di belakang meja. Perlu disadari pula, msaing-masing dari kita memiliki masa lalu yang berbeda-beda, terutama saat masa remaja. Ada yang memang suka olahraga dari dulunya. Banyak juga yang masa remaja buat nongkrong dari satu tempat ke tempat lain.
Tapi, lupakan masa lalu itu. Mari kita berangkat dari titik yang sama. Baru berlari beberapa kali, dan ingin merasakan virgin FM dengan kece badai.
Apa yang saya sampaikan di sini berasal dari obrolan tadi.
Berlari marathon harus siap dengan kata disiplin. Bukan dis(e)lipin ya? Latihan diselipkan di kesibukan kita. Tapi disiplin menjaga latihan secara berkesinambungan. Ingat, regularity is more important than intensity. Kata grup sebelah itu.
- Target waktu
Bagi pelari baru, jangan sok menetapkan target waktu. Bisa finish sebelum COT saja sudah prestasi. Kalau mau menetapkan target waktu, tetapkan setelah kita menjalani beberapa langkah latihan.
Andri mengatakan, “Jangan menetapkan target di depan, kecuali sudah berpengalaman. Untuk pelari yang tidak terlatih secara kontinyu sebaiknya menetapkan di belakang. Lihat latihan seperti apa, baru dikalkulasi targetnya bagaimana.”
Berbeda dengan pelari yang sudah berpengalaman. Pelari ini sudah memiliki kesiapan tubuh karena sudah terbiasa. Tentunya dengan proses latihan sebelumnya yang sudah berlangsung cukup lama. - Fokus daya tahan
Marathon adalah latihan full endurance. Latihan interval untuk persiapan marathon tidak terlalu penting. Yang diperlukan saat berlari marathon adalah latihan aerobik, atau latihan daya tahan (endurance).
Terdapat dua sistem energi untuk latihan, yaitu anaerobik dan aerobik. Sayangnya kita tidak bisa mencampurkan keduanya dalam satu sesi latihan. Untuk itu pelari disarankan untuk fokus pada latihan dengan dasar sistem energi aerobik, yaitu yang membutuhkan oksigen.
Kenapa?
Latihan aerobik melatih tubuh untuk lebih efisien. Latihan dengan sistem aerobik yang berlangsung lama dan kontinyu membuat otot-otot kita lebih beradaptasi, sehingga mempercepat proses distribusi oksigen ke otot, mengurangi tingkat formasi laktat, meningkatkan pengurangan jumlah laktat, dan meningkatkan produksi energi dan penggunaannya.
Lemak adalah sumber energi utama untuk sistem energi aerobik. Dalam periode ini, tubuh belajar untuk memecah dan menggunakan lemak sebagai sumber energi secara lebih efisien. Nilai tambahnya adalah membantu metabolisme lemak dengan baik paska latihan. Hal ini sangat berguna untuk pelari jarak jauh. Tubuh kita semakin efisien dalam memanfaatkan pemakaian glikogen otot. - Tingkatkan jarak secara bertahap
Dalam suatu program, peningkatan jarak sebaiknya dilakukan secara bertahap. Tidak meloncat-loncat seperti katak. Misal jika jarak mingguan 20 km, jangan sok pede meloncat ke 60 km. Bisa sih, tapi badan bisa jadi remek. Butuh waktu lama buat pemulihan. Peningkatan jarak yang terlalu drastis juga rentan dengan cedera.
Kita intip saja program latihan Hamdan Sayuti untuk ikut Bali Marathon. Ia butuh tiga bulan! Latihan dilakukan setiap hari, pagi dan sore. Jarak mulai dari 12 km hingga 26 km.
Untuk pelari rekreasi tentu butuh waktu lebih lama. Andri Yanto menyarankan waktu ideal menyiapkan lari marathon adalah selama 6 bulan. Peningkatan jarak dilakukan perlahan hingga memiliki total jarak mingguan yang ideal.
Untuk bisa sekadar finish, total jarak mingguan sebanyak 60 km mungkin sudah cukup. Apabila memiliki target waktu tertentu, tentunya memerlukan tingkatan latihan dan jarak yang lebih lagi. Untuk performa yang maksimal, total jarak mingguan pelari rekreasi adalah 100 km. Untuk atlet pro memiliki total jarak mingguan sekitar 200 km ke atas atau 120-140 mil. - Lari jarak jauh
Latihan long-run berkaitan juga dengan latihan daya tahan. Andri Yanto berpendapat bahwa long-run berjarak antara 21 km hingga 27 km. Lebih dari itu maka latihan sudah tidak efisien lagi. Karena masih ada waktu-waktu keesokannya untuk kembali berlatih. Jika tubuh terlalu lelah nantinya sudah tidak ada energi untuk kembali melanjutkan program yang sedang dijalankan.
Setiap pelatih memiliki batasan untuk jarak long-run, tetapi umumnya sekitar 20-30% dari total mileages. - Perhatikan nutrisi
Banyak yang abai soal nutrisi. Padahal, ibarat mesin tubuh perlu bahan bakar yang baik kan? Kalau bisa Pertamx Turbo. Kalau tidak ya Pertalite. Sehabis latihan tubuh perlu asupan nutrisi untuk memperbaiki otot-otot yang rusak.
“Makanan sehat mungkin tidak membuat kita berlari lebih cepat, tetapi dapat menjaga tubuh kita tetap sehat. Dengan memiliki tubuh yang sehat, kita bisa tetap berlari dalam jangka waktu yang panjang,” kata Andri Yanto.
Soal nutrisi ini juga butuh disiplin. - Istirahat, jangan lupa
Tidur adalah komponen penting dalam suatu program. Performa tubuh seorang pelari tidak dapat maksimal jika kekurangan jam tidur. Untuk pekerja kantoran setidaknya memiliki jam tidur malam tidak kurang dari 6 jam. Seorang atlet pro memiliki durasi tidur yang lebih panjang.
Semakin tinggi tingkat kesulitan latihan, maka semakin banyak energi yang terpakai, dan semakin lama proses recovery yang dibutuhkan.
Kira-kira begitu tahapan yang harus dimulai untuk bisa naik ke level marathon. Lebih baik muntah saat latihan daripada muntah saat lomba. Mirip yang dikatakan oleh petinju legendaris, Muhammad Ali. “I hated every minute of training, but I said, ‘Don’t quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion.’”