If you want to run, run a mile. If you want to experience a different life, run a marathon. If you want to talk to God, run an ultra. ~ Dean Karnazes, pelari, penulis buku
Waktu tinggal 2.30 jam. Jarak masih 13 km. Secara normal terkejarlah. Dengan pace santai, jarak segitu bisa ditempuh di bawah dua jam. Masalahnya ini kondisi tidak normal. Baik fisik maupun medan jalan.
Setelah mengisi botol air aku pun bergegas meninggalkan Water Station/WS 7 (Warung Sunda Manglayang Cisarua) menuju WS 8 (Melrimba Garden). Tempat finish etapeku sebagai pelari pertama Relay 2 BNI ITB Ultramarathon 200K.
Waktu sudah lewat pukul 12.00. Hari Sabtu. Jika dihitung dari start lari di BNI Pusat Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Selatan pada Jumat 11 Oktober 2019 pukul 22.00, berarti sudah lebih dari 14 jam aku berlari. Jaraknya sudah hampir 80 km.
Lari terjauh yang kulakukan selama ini. Bukan jarak dan waktu yang menjadi masalah. Tapi cedera yang mendera dengkul kiri sisi luar. Terasa nyeri setiap menapak. Cedera muncul selepas dari Check Point 1 atau WS 4 di Robinson Cibinong. Dari titik start sekitar 45 km jaraknya.
Aku mencoba menyamankan gaya berlari. Juga tidak memaksa untuk berlari terus. Begitu terasa nyeri aku pun berjalan kaki.
Tantangan panas dan jalan menanjak membikin goyah hati. Apalagi melihat beberapa peserta “diangkut” tim supportnya atau membonceng motor dengan berhelm “Grab”. Aku pun selalu memantau jam tangan. Setiap bergetar (yang menandakan sudah lewat 1 km) langsung kulihat catatan pace di jam. Jika 11 lebih berarti aku harus memaksa untuk berlari. Tanjakan hanyalah persepsi.
Begitulah, memasuki kawasan kebun teh hati sedikit dingin. Bukan karena waktu pasti aman. Emang cuacanya dingin. Kendaraan juga sudah lebih lega. Aku kemudian selalu menjaga pace di bawah 10. Dengan asumsi, jika bisa menjaga pace di bawah 10, untuk jarak 13 km tadi berarti 130 menit. Atau 2 jam 10 menit. Ada sisa 15 menit untuk istirahat. Lima menit sisanya untuk jaga-jaga karena belum tentu jamku sesuai dengan jam panitia.

***
Melihat ada peserta di depan, aku bersemangat untuk mengejar dan siapa tahu bisa menjadi kawan lari. Kawan jalan tepatnya sih. Eh, ketika hampir kesusul, ternyata mereka bertiga melipir ke cangkruk di pinggir kebun teh itu.
“Semangat Pak!” begitu mereka kompak berteriak melihat aku masih tertatih berlari.
Waduh, dik … dik. Sampeyan tak oyak ben duwe kanca jebul malah mandek. Untung demotivasi tak menjalari otakku. Kalau badan sudah dari Pasar Cisarua mengalami demotivasi.
Melihat paralayang melayang menjadi hiburan. Setidaknya ada yang bisa dilihat di atas. Melupakan tanjakan berkelak-kelok. Beberapa pengendara motor atau penumpang mobil selalu berteriak “Semangat …” sambil mengacungkan jempol.
Aku hanya membalas dengan senyum. Entah kecut apa manis. Tapi berterima kasih atas teriakan mereka. Tanpa sadar kubah Masjid Atta’awun terlihat di kejauhan. Ah … sudah dekat. Kembali kulirik jam. Masih tetap berkejaran dengan binatang bernama pace. Untung bukan buah.
Aku pun berdoa, memohon supaya diberi kesempatan untuk menyelesaikan lomba ini sebelum waktunya. Lantas teringat dengan kalimat dari Dean Karnazes tadi. Aku mulai banyak berdialog dengan Tuhan.
Terbayang pula wajah-wajah donatur yang sudah menyumbang buat masa depan mahasiswa-mahasiswa yang tidak beruntung. Masak mengecewakan mereka?
Menjelang Riung Gunung, dari kejauhan aku melihat orang berpakaian merah menyala jalan turun. Ketika bertemu dengan seorang peserta di depanku, orang itu berhenti dan bercakap-cakap. Wah, ada apa gerangan?
Ketika orang itu semakin mendekat saya baru lihat wajahnya dengan jelas. Woalah … jebul AC/DC. Langsung aku pasang muka serius sambil jalan melebar. Saat hampir berpapasan, aku pun berlari-lari kecil.
Akhirnya, melihat Sign KM 90 membuat semangatku menyala-nyala. Jika semenjak Cibinong tak berfoto-foto, kali ini aku rela melewatkan dua – tiga menit untuk berswafoto. Setidaknya menjadi bukti sudah melewati kilometer terakhir sebelum CP 2 di Melrimba yang berjarak sekitar 93 km dari titik start.

Masih dengan kombinasi lari jalan lari, Masjid Atta’awun terlewati. Mulailah rute cacing kepanasan jika melihat di GMaps. Pertanda elevasi naik terjal. Tapi, kok setelah melewati dua kelokan Melrimba tidak terlihat. Seingatku, saat gowes ke Mang Ade di dekat perbatasan Bogor – Cianjur, Melrimba tak begitu jauh dari masjid ini.
Penasaran kutanya ke Akang-akang Villa.
“Melrimba masih jauh ya?”
“Sekitar 10 kilo lagi,” jawabnya.
Makk…. Langsung keluarkan ponsel dan cek di GMaps. Ternyata tinggal sekiloan. Apa tadi aku salah dengar? Tapi sepuluh dan sekilo kan terdengarny beda sekali.
Nah, lalu di kejauhan aku melihat ada peserta pakai kaos la88ler, lapan-lapan lelarian. Semangat aku mengejar biar bisa finish bareng. Melihat jam masih cukup untuk tak terlindas COT.
“Eh, bang Latif. Ayo finish bareng,” sapaku. Bang Latif agak terkejut melihat kedatanganku. Belum sempat ngobrol, seorang panitia mendatangi kami bertanya relay berapa. Ketika aku menjawab Relay 2, ia bilang waktu tinggal lima menit lagi.
The power of “kepepet” pun langsung membuatku bisa “sprint” di sekitaran 300 m sebelum Melrimba. Aulia pasangan relayku pun terlihat di depan gerbang Melrimba. (Ketika aku cek di Strava setelah lomba usai, ternyata pace terakhir ini berada di angka 6:18. Kebetulan jarak ini sudah lewat dari kilometer 93.)
Melihat papan timing, aku pun bersyukur bahwa bisa menyelesaikan etape pertama kategori Relay 2 BNI ITB Ultramarathon 200 K di bawah batasan waktu. Jadi teringat dengan lomba trail run di Gunung Merapi beberapa tahun silam.
***
BNI ITB Ultramarathon ini merupakan kali kedua aku ikut. Secara kebetulan pula kalau merunut tahun lalu. Tiba-tiba saja aku memperoleh kesempatan ikut di Relay 8 (tahun lalu 170 km jaraknya) karena ada peserta yang batal. Waktu itu aku mendapat giliran di CP3 Masjid Rajamandala, Citatah.
Ketika masa pendaftaran BNI ITB UM 200K 2019 dibuka, Aulia mengajak ikut Relay 2. Degh … 100K? Batinku. Lari terjauhku paling FM. Pernah 70K tapi sudah lama sekali. Aku pun sudah seperti kapok dengan long run. Ingin menikmati lari dalam sekelebat saja.
Tapi entahlah, kok rasa penasaran justru mengelitik benak. Ingin mengetahui sampai mana batas tubuh kurusku ini bisa berdiri di atas kaki sampai jarak dan waktu yang ditentukan.
Setelah mantap, akhirnya mulai mencari-cari pola latihan untuk bisa menembus finish strong 100K. Ketemu yang sederhana: mileage seminggu minimal 100 km serta long run sekitar 70 km.
Hanya saja, apa yang sederhana tak jarang menjadi kompleks manakala kita diribetkan oleh hal-hal di luar kewajaran. Termasuk beban pekerjaan. Tak melulu di kantor kan yang namanya pekerjaan itu?
Jadilah latihan yang sudah sederhana tadi gak terpenuhi. Padahal aku sudah berusaha sekuat hati. Kalau tenaga sudah pasrah saja sih. Termasuk mengganti bike to work dengan run to work. Lumayan, 20 km. Kalau pp kan sudah 40 km. seminggu tiga kali saja sudah terpenuhi mileage mingguan. Tinggal long run-nya saja.
Kenyataannya? Ada saja gangguan untuk run to home. Mileage seminggu paling tinggi 70-an km. Long run terjauh setara FM.
Belum lagi tabungan tidur yang sangat kurang. Seminggu sebelum lomba masih saja tidur seperti biasa. Malah kadang berkurang. Pas hari H lomba, siang harinya mencoba tidur. Lumayan bisa dapat 2 jam. Tapi gak biasa tidur siang malah jadi pusing pas bangun.
Dan inilah yang aku alami. Ngantuk berat selepas WS1 di bawah jalan layang non tol Antasari. Maklum, sudah jam 11 malam lebih. Waktu tidur di hari-hari normal. Di WS 2 Taman Tanjung Pasar Minggu mau rebahan ternyata enggak ada tempat. Jadinya ditahan sampai WS 3 di BNI Cimanggis. Melihat ada tikar ngaanggur, aku minta izin yang duduk tak jauh di situ.
“Oh, aku juga numpang kok Mas,” katanya.
Ya sudah, set timer 15 menit dan langsung rebahan. Sempat terlelap beberapa menit sebelum timer menyalak-nyalak. Oke… mari kita lanjutkan.
Sempat tidur lagi di WS 4 sekaligus CP 1. Sebelumnya fisio dulu. Lumayan untuk meredakan kaki yang tegang menerjang separo malam.
Selepas CP 1 di Robinson tadi rasa kantuk sudah hilang. Soalnya hari sudah terang tanah. Kebangeten kalau masih ngantuk. Tapi ya datang masalah lain. Sisi luar dengkul kiri nyeri. Inikah batas tubuhku?
Cerita selanjutnya adalah “berdialog dengan Tuhan” lewat rapalan jalan-lari-jalan-lari-jalan-lari …. (teruskan sendiri sampai Melrimba Garden, Puncak).
* terima kasih buat teman2 komunitas la88ler atas semua usaha hingga aku bisa ikut lari lagi.
** juga buat donator… jangan kapok berdonasi, sebab saya juga tidak kapok berlari.
1 Comment