gussur.com – (Pas cek draft tulisan, terselip tulisan ini. Sudah 7 tahun ternyata. Entah mengapa kok belum terpublish. Padahal sudah jadi artikelnya. Makanya lamgsung aku publish. Bagaimana kabarmu Rendy?)
~~~~~~~~~~~~
Sosok ini selalu mewarnai Jelajah Sepeda (JS) yang diadakan Kompas. Saya mengenalnya saat ikut Jelajah Sepeda Kompas Surabaya – Jakarta. Mengenal lebih dekat terutama, sebab sebelumnya saya sudah berkenalan dengan sosok nyentrik ini.
Nama panggilannya Rendy. Duh, kok jadi lupa nama aslinya. Dulu pernah lihat KTP-nya. Tapi ya apalah arti sebuah nama. Diberi nama Kendy atau Andy, sosok ini gak peduli. Dan gak marah! Bahkan selama ikut JS ia diberi panggilan macam-macam. Mulai dari Bob Marley karena rambutnya yang panjang cenderung gimbal, lalu Joko Bodo, dan Simbad. Eh Limbad ya?
Satu yang membuat saya kagum dengan sosok ini adalah bagaimana memandang dan menjalani kehidupan. Mengalir begitu saja. Ah, lebih tepat melaju seiring roda sepeda (onthel).
Onthel? Ya, Rendy identik dengan onthel meski kalau mengikuti JS tentu tidak menggunakan onthel. Di kalangan onthelis se-Indonesia bisa jadi ia dikenal sebagai sesepuh.
Banyak cerita lucu soal Rendy berkaitan dengan JS. Pada JS pertama dengan rute Anyer – Panarukan (JSAP) saya mendengar begitu banyak hal lucu soal Rendy. Mulai dari soal memindah gigi sepeda sampai celana khusus sepeda.
Sebelum ikut JS pertama ia hanya mengenal sepeda onthel satu gigi. Nah, ketika ikut JSAP yang menggunakan sepeda buatan Polygon dengan multigigi, ia baru ngeh saat etape kedua (Jakarta – Bandung). Etape pertama Anyer – Jakarta ia tidak mengganti giginya. Saat menanjak di Puncak, ia ngos-ngosan dan mengeluarkan sekuat tenaganya. Tenaganya memang besar. Kempolnya gempal. Tapi, ya sebesar-besarnya tenaga kalau komposisi gir tidak tepat tentu susah menaklukan tanjakan Puncak. Nah, oleh road captain Rendy diajari cara memindah gigi yang bisa membuat gowesan enteng. Ia pun girang sumringah.
Soal celana khusus sepeda? Maaf, gak diceritakan di sini hehe …
Baru pada JS Surabaya – Jakarta saya mengenal sosoknya dari dekat. Orangnya ramah (banget). Mudah diajak bercanda. Dan itu tadi, hidup baginya seperti menggowes sepeda onthelnya. Selama tenaga masih ada, napas masih kuat, roda akan berputar. Karena onthel hanya mengenal satu gigi, maka menggowes pun sederhana. Tekan pedal. Sudah. Tak perlu ribet dengan memindah gigi. Jalan nanjak tentu butuh tenaga ekstra. Tak kuat? Ya tuntun. Begitu juga dengan hidup. Tak perlu njlimet.
Rendy membuktikan soal itu. Saat bersepeda ke Papua (Irian) dan kehabisan ongkos, ia pun bekerja serabutan. Mulai dari berjualan asesoris buat ibu-ibu sampai kerajinan tangan, seperti name tag para pegawai Kabupaten. Ia nongkrong di depan kantor kabupaten dan menawarkan dagangannya saat mereka istirahat atau pulang kerja. Tak ada target harus berapa hari ia di sana.
Meski dari raut wajahnya tidak mbejaji, namun kharisma Rendy di kalangan onthelis tak perlu diragukan. Saat tim JSSJ menginap di Pekalongan, saya diajak muter-muter kota batik itu bersama teman onthelisnya. Jangan sangka mereka setua Rendy. Masih anak SMA! Dan Rendy tinggal bilang mau ke mana, maka anak-anak muda ini dengan senang hati mengantarkannya.
Sepeda sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Rendy. Jambore onthel ke mana pun akan disambanginya. Dengan bersepeda tentunya. Jika suatu saat Anda berjumpa dengan sosok ini, cegatlah dan ajak berhenti untuk berkenalan. Pasti akan dapat banyak cerita.