“Menyiksa” Troy di Bandung All Terrain Challenge 200K

Troy di Situ Cileunca.

gussur.com – Beberapa kali menyiksa seli untuk merasakan medan yang bukan peruntukkannya. Namun untuk kali ini, aku sepertinya terlalu kejam. Element Troy yang roda 16 itu aku bejek menyusuri pegunungan Bandung Selatan, dari Pengalengan ke Ciwidey.

Kontur jalan tak semuanya mulus. Nama eventnya saja Bandung All Terrain Challenge (BATC) 200K. EOnya Audax Randonneurs Indonesia. Jadi unsupported.

Soal kontur, aku sempat japri sama panitia. Apakah pakai sepeda lipat memungkinkan? Tak ada jawaban pasti.

“Mayanlah,” itu jawaban dari panitia saat aku tanya jalan makadamnya.

(Ternyata, 65 persen jalur yang dilalui adalah aspal. Sisanya baru rute offroad gravel. Rutenya dimulai dengan gowes di jalur aspal biasa sejauh 80 km. lalu secara bergantian peserta melewati jalanan gravel, aspal, makadam, tanah, beton hingga kilometer 120. Lalu sisa 80 km lagi adalah aspal hingga finis kembali ke titik start.)

Aku pun menabalkan hati ikut BATC 200K.

Berhubung masih pandemi, maka protokol kesehatan pun diterapkan. Salah satunya jaga jarak. Start pun tidak berbarengan. Ada 30 menit waktu untuk start. Mulai dari pukul 05.00 sampai 05.30.

Sebelum start bareng KNight

Aku star di akhir, 5.30. Lebih sebenarnya, karena menunggu teman bersiap-siap. Start dari BikeSystem di Jalan Dago tak jauh dari SImpang Dago, rute berbelok menuju Cikutra, Cicaheum, Cibiru, mengarah ke Garut, sebelum belok kanan menuju Majalaya.

Nah, di sinilah etape mendaki dimulai. Tipis-tipis namun jauh. Bagi chainring 53 belum terasa. Apalagi masih di jalan aspal. Sampai ke CP1 km 49 di Indomaret Pakutandang (Jl. Raya Pacet). Sampai di sini masih bertemu dengan rombongan depan yang sudah siap-siap melanjutkan audax-nya.

Sampai CP1 masih kompak dengan Om Vidi, Om Iwan Big (keduanya peserta langananan Audax), Udo. Harusnya ada Om Jwk, entah pas start kok menghilang. Ketemu juga dengan Om Endot yang berwajah baru. Berkumis dan berjenggot hehe …

Tanjakan masih berlanjut sampai Curug Cisanti, yang diyakini sebagai hulu Sungai Citarum. Banyak pesepeda menuju ke sini. Banyak pula yang sudah turun.

Selepas Curug Cisanti dan memasuki area perkebunan Malabar, barulah all terrain dimulai. Om Vidi dan Om Iwan pun “tak sabar” menunggu aku dan Udo yang pakai ban kecil.

Di sinilah mulai menguji keandalan ban kecil untuk meliuk-liuk mencari permukaan rata. Rata ya, bukan mulus. Soalnya aspal mulusnya sudah terkelupas. Meninggalkan bebatuan. Dengan menggunakan ban 16 inch, tentu harus bisa mendaratkan laju ban ke daerah yang relatif rata. Beda dengan ban 700 atau 26, apalagi 29. Meski tanpa peredam benturan tak masalah menghajar kontur seperti itu.

Beruntung pernah ikut yoga dan latihan core. Sehingga fleksibitas dan kekuatan otot paha terbentuk. Sangat membantu saat harus meliuk-liuk mencari permukaan rata sambil berdiri (off saddle).

Adrenalin makin meningkat ketika pas turunan landai ketemu dengan jalanan makadam yang dominan coral atau serpihan-serpihan batu kecil. Sensasi tergelincir atau ban depan ngesot membuat jantung terpacu karena menanti moment apakah sampai terpeleset atau aman meluncur. Syukur alhamdulilah sepanjang melintasi kontur seperti itu aman-aman saja.

Menuju CP 2 ada bagian yang tak terlupakan. Yakni ketika melewati turunan makadam berbatu yang tersembunyi di kelokan. Sempat mau turun, tapi memakai cleat dan agak susah dilepas sehingga pasrah saja menjaga agar ban depan bisa melaju tanpa terpeleset.

Selepas turunan makadam itu, praktis kontur offroad. Pergerakan jadi melambat. Sekitar satu kilometer sebelum CP2 sedikit ragu-ragu. Kok jalannya masuk ke kebun? Tapi sebelumnya sudah bertanya ke orang yang aku temui dan memang dia melihat beberapa pesepeda menyusuri jalan itu.

Benar saja, ujung jalan kebun itu jalan beton yang membelah Situ Cileunca. Sebelum masuk situ mata langsung tertonjok pada QR Code. Yah, sampai juga di CP2 Warung Lotek Ibu Tati (Situ Cileunca) km 96. Di sana sudah ngejogrok Om Vidi dan Om Big.

“Lo, mana Udo?” tanya Om Vidi. Aku lantas menoleh. Eh iya Udo di mana ya? Tapi terakhir aku melihat sih dia di belakangku saat aku mau masuk jalur kebun itu. Pasti menyusul.

Nikmatnya telur ceplok di CP2.

SELEPAS CP2, rute menyusuri jalan aspal mulus kembali sebelum masuk rute makadam ke arah Perkebunan Teh Gambung. Melintas di sini hawa adem. Pohon-pohon besar menaungi jalanan. Jalan makadam dan aspal mulus (zaman Majapahit), serta beton di beberapa tanjakan membuat kayuhan tak begitu memaksa dengkul. Di jalur inilah titik elevasi tertinggi tercapai, sebelum akhirnya meluncur di atas jalur beton di tengah hamparan kebun teh.

“Uhhhh … hampir 12 km. Edannn ….” batinku sembari melirik jarak di jam tangan. Membayangkan melintasinya dengan MTB atau gravel tentu nyaman sekali.

Selepas Gambung menuju Soreang lewat peradaban kembali. Sampai Stadion Jalak Harupat rute kembali tercepat belok kanan tentunya. Tembus Kopo, tinggal lurus ke Utara menuju Dago. Namun demi 200 km dan biar gak bosan ngaspal, dilewatkan ke Batujajar menembus Kota Baru Parahyangan (KBP) dari belakang. Sebelum masuk KBP mampir di CP3 Indomaret Cipatik km 145.

Menuju KBP ternyata harus melintasi jembatan ponton yang di kanan kirinya dipenuhi warung-warung makan dan juga keramba-keramba ikan yang bertebaran di Waduk Saguling. Agak nger-ngeri sedap melintasi jembatan ponton ini. Beberapa tempat sudah dilapisi karung goni sehingga mengurangi kelicinannya.

Selepas jembatan ponton, rute lalu masuk ke jalan rusak. Yang agak mengherankan, aku melihat ada museum di tengah perkampungan menuju KBP. Museum Galeri Bahari (Mugaba) namanya. Coba Googling, ternyata yang mendirikan adalah bekas KSAL yang putra daerah sini.

“Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi mendirikan Museum Galeri Bahari (Mugaba) di tanah kelahirannya Kampung Banuraja, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat.” (ayobandung.com)

Tantangan adrenalin mencuat lagi ketika menyusuri perbukitan gundul di belakang KBP. Selain rolling juga harus bertemu sapa dengan truk-truk yang membawa material. Sepertinya tempat ini akan menjadi perluasan KBP.

Masuk ke kawasan KBP rasanya sudah sejengkal lagi titik finish. Padahal masih ada 30-an km lagi. Tapi jalanan sudah aspal. Masih sore di KBP tapi gelap menyergap ketika masuk kota. Beriringan berdua dengan Udo, akhirnya sampai ke BikeSystem setengah jam sebelum Cut off Time (COT).

Satu hal yang sangat aku sayangkan: tidak bisa berfoto-foto! Padahal pemandangannya ajib. Tapi dari awal ketika memutuskan menggunakan Troy, aku hanya fokus untuk menyelesaikan BATC 200 K ini di bawah COT.

Rute mana lagi yang akan disambangi Troy?

(Foto-foto: Dok Pribadi & IG Audax Randonneurs Indonesia)

Misi selesai!
Start dari Bikesystem di kawasan jalan Dago, Bandung menuju Cicalengka lalu Ciparay lanjut Cisanti. Diteruskan ke Cileunca, Gambung, Soreang, Cihampelas, dan Dermaga Cibogo (Saguling). Masuk Kota Baru Parahyangan lalu ke Cimahi dan Mohammad Toha. Terakhir finis di Bikesystem lagi. Total jarak adalah 200 km dengan total elevasi 2,300 meter.

“Tanjakan pertama di kawasan Ciparay ke Cinsanti itu berat meskipun itu rute aspal. Panjangnya 32 km dengan elevation gain 967 meter. Lalu ada lagi segmen gravel dari perkebunan teh Kertasari hingga Pengalengan yang keluar di Situ Cileunca. Rute Pengalengan ke Pasir Jambu lengkap: ada jalur gravel, beton, makadam juga vegetasi. Melewati hutan pinus, kebun teh, hutan tropis, kebun kopi. Lantas ada turunan yang panjang dengan pemandangan kebun teh.” (Syahroni Akbar Prabowo, salah satu penggagas acara BATC 200K dari DirtxClouds.).

“Nah, banyak peserta yang takut melintasi jalan turunan dari Pengalengan ke Peternakan Susu karena meskipun turunan tapi makadam. Batunya juga besar-besar. Kalau peserta pemain road bike pasti tidak terbiasa. Beda dengan pemain MTB pasti sudah terbiasa dengan jalur seperti ini. Setelah lepas dari rute offroad, peserta kembali ke jalan aspal. Tapi jangan gembira dulu. Kira-kira memasuki kilometer 150, mulai Dermaga Cibogo Waduk Saguling rutenya rolling terus dan ada nanjak ‘halus’ menuju Cimahi lantas baru finis di BikeSystem Bandung.” (Bob Aria Bharuna, Audax Randonneur Indonesia).

Advertisement

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s