Misi yang Gagal Mencari Tetenger Gunung Arjuno dan Gunung Welirang (1)

gussur.com – Dua puluh lima tahun lagi, kamu akan memyesal dengan apa yang tidak kamu lakukan daripada yang kamu lakukan.

Begitulah aku selalu menghibur diri kala situasi tak sesuai harapan. Kala alam tiba-tiba tak bersahabat. Ketika semesta tak mendukung.

Pagi itu, sekitar pukul 07.00, 3 April 2021, aku dan teman-teman terjebak dalam badai angin ketika mencari tetenger puncak Gunung Welirang, Jawa Timur. Badai angin itu begitu dingin menembus jaket penahan anginku. Tak jarang aku harus berlindung di balik batu untuk bertahan agar tak semakin kedinginan. Beruntung aku membawa kaos kaki cadangan sebagai sarung tangan.

Badai angin itu bercampur dengan kabut yang membuat jarak pandang terbatas. Ketika kabut mulai menipis, akhirmya kami bisa melihat tetenger puncak itu. Kibaran bendera Merah Putih itu lamat terlihat tak jauh dari kami. Perlahan kami memdekati tiang bendera itu. Bukan perkara mudah karena tak hanya melawan kencangnya angin, tapi juga bau belerang. Ya, Gunung Welirang merupakan salah satu tambang belerang. Gas belerang yang tersapu angin bikin dada sesak karena bau menyengat bikin. Mata perih.

Tak sampai sekitar 100 m kami pun memyerah. Kami bertahan di balik batu besar menunggu badai reda. Namun sekian lama nyatanya badai tak kunjung berhenti menyapa kami. Ada niatan untuk menerobos badai, tapi jalur menuju ke sana tidaklah lebar. Kami tak tahu apa di sisi kanan kiri jalur itu. Jurang biasa atau kawah?

Meski kabut mulai berkurang tapi badai angin tak juga surut. Dalam perjalanan turun, keindahan bentang alam di kejauhan sangatlah indah. Di lembah terhampar rumah-rumah penduduk. Di sekitarnya perbukitan dan pegunungan menjaga kehidupan.

Mencapai puncak Gunung Welirang di pagi hari adalah hasil kompromi kami setelah sebelumnya terjebak macet panjang. Dari kawasan Sudirman Jakarta di Kamis malam 1 April 2021 menuju tol dalam kota sudah terjebak macet. Begitu di tol juga tambah macet. Ternyata imbas dari mobil terbakar di jalan layang Pancoran tol dalam kota.

Kemudian macet lagi di tol Cikampek, berlanjut di Cipali. Dari rencana tiba di Tretes, Malang sekitar pukul 08.00 akhirmya kami tiba pukul 12.00. Rencana hari pertama tektok Gunung Welirang menjadi tak memungkinkan. Turun dari puncak bisa terlalu malam. Padahal esok harinya tektok lagi ke Puncak Arjuno.

Kesepakatan akhirmya istirahat dan tengah malam baru muncak kedua gunung sekaligus.

Begitulah, selesai beberes di penginapan kami pun mencoba istirahat. Sorenya aku dan Teguh yang jadi ketua rombongan lapor ke Pos 1 Petbocor. Dari penginapan sekitar 2 km. Namun 1,5 km nanjak “keras”. Dah kebayang entar malam pemanasannya sudah lebih dari cukup.

“Hujan biasanya dari jam 3 sore sampai tengah malam. Sebelum jalur ini dibuka karena hujan sudah mulai mereda, depan kantor ini jadi jalur sungai,” kata petugas jagawana sore itu.

Benar saja, ketika kami pulang sekitar pukul 16.00, kawasan Taman Hutan Rakyat RP Soerja itu mulai dibasahi rintik hujan. Kami nekat menerobos karena tak membawa mantol. Hanya topi saja sebagai pelindung kepala.

video: Daru
<p value="<amp-fit-text layout="fixed-height" min-font-size="6" max-font-size="72" height="80">Akan tetapi beruntunglah, hujan tak sampai ke tengah malam. Tidak tahu kapan berhentinya, ketika pukul 23.00 kami sudah siap, awan justru terlihat cerah.Akan tetapi beruntunglah, hujan tak sampai ke tengah malam. Tidak tahu kapan berhentinya, ketika pukul 23.00 kami sudah siap, awan justru terlihat cerah.

“Ada bintang tuh,” kata Daru menunjuk ke atas. Bulan sabit sedikit gemuk pun bertengger di angkasa. Di sekelilingnya awan menemani bulan.

Menjelang tengah malam kami berenam pun menapak aspal Jalan Wilis, Tretes menuju ke jalur pendakian Gunung Arjuno Welirang via Tretes.

“Jalur Tretes ini paling berat dari jalur lainnya,” kata Teguh. Seberapa berat dia tidak menjelaskan lebih jauh. Selain Tretes, Arjuno Welirang bisa dicapai melalui pintu Cangar dan Purwosari. Pintu terakhir ini melewati kawasan purbakala sisa-sisa zaman kejayaan Majapahit. Tak heran bau kemenyan masih menguar di sepanjang awal jalur ini karena aktivitas para peziarah.

Selepas Pos 1 definisi berat dari Teguh tadi mulai sedikit tersibak. Jika dari sebelum Pos 1 tadi jalan masih normal, kini sudah mulai abnormal. Bebatuan besar seperti disebar di sepanjang jalur.

Bukan soal batu besar yang jadi masalah. Namun jalurnya konsisten menanjak. Dalam gelap, ditingkah suara binatang malam, dikawal rembulan, kami pun bergerak pelan meniti bebatuan. Bagiku menanjak lebih ramah dengan kondisi tubuh daripada turunan. Di bebatuan ya ….

Konsisten menanjak sampai Pos 3 – Pondokan

Tak banyak yang bisa difoto. Padahal niat awal adalah mengabadikan setiap pos atau spot-spot menarik di sepanjang jalan. Seperti saat sampai di Pos 2 – Kop-kopan, siluet G Penanggungan begitu anggun. Di bawahnya, pendar-pendar lampu malam menambah keanggunan Penanggungan.

Oya, di Pos 2 ini ada sumber air Grojogan Sewu. Suara gemericik air sebenarnya bikin penasaran diriku untuk melongok. Tapi gelap dan sorot lampu kepalaku tak kuasa memberi penerangan lokasi sekitar membuat aku hanya mendengar gemericik air dari Grojogan Sewu itu.

Tak ada jalan menurun. Landai sebentar langsung disapa tanjakan lebih terjal lagi. Bebatuan lagi! Sampai sempat halu diriku saat menapaki tanjakan panjang dan melihat di jauh sana warna putih.

“Itu atap ya?” tanya Teguh.

“Awan ah…” kataku.

Nyatanya itu atap pondokan yang membuat diriku lega. Pos 3 – Pondokan pun menjawab rasa penasaran mengapa Pos 3 ini disebut begitu.

Toh aku salah sangka juga. Kiraku pondok-pondok yang ada di sini bisa digunakan. Nyatanya itu pondokan buat menyimpan belerang-belerang yang ditambah penduduk dari kawah Welirang.

Sekitar Subuh kami tiba di Pos 3 ini. Lebih dari 5 jam untuk jarak sekitar 10 km itu.

Agak lama kami istirahat di sini. Ada yang rebahan, ada yang salat. Kusandarkan kepala pada tiang pondokan, sementara pantat duduk di bangku selebar 20 cm. Awalnya mau rebahan, tapi takut terjatuh melihat bangku yang lebarnya tak seberapa itu.

Pos 3 – Pondokan dilihat dari jalur menuju Puncak G. Arjuno

Pos 3 merupakan persimpangan jalur menuju ke Arjuno atau Welirang. Kami mengambil arah kanan karena ingin muncak Welirang dulu. Jalanan tak lagi makadam batu, namun sudah tanah. Masih tetap nanjak, beberapa ruas melewati gundukan tanah yang dipapras kanan kirinya sehingga gerobak penambang belerang bisa lewat.

Matahari pagi mulai muncul di balik pohon pinus. Sunrise yang kami buru datang terlalu cepat. Ah, kami yang lelet. Bertemu tana datar Daru usul untuk sarapan. “Biar punya tenaga untuk muncak!”

Kami membuka bekal masing-masing. Nasi berbungkus daun pisang sudah dibagi-bagikan Bunda ke masing-masing peserta malam sebelumnya. Masing-masing dapat dua. Untuk sarapan dan makan siang. Lauk pauknya dibawa beberapa dari kami. Ada kacang-teri, ikan asin, dan rendang.

Dalam dingin udara yang masih membuat badanku menggigil, aku menyuap nasi sendok demi sendok. Memandang ke kejauhan, asap putih yang mengepul dengan konsisten. Ya, ke sana nanti aku menuju. Tapi masih ada gunung yang menghalangi. Apakah jalannya lurus seperti dari Pos-1 ke Pos-3? Ataukah memutarinya?

Aku telan mentah-mentah saja pertanyaan itu. Seperti menelan nasi pagi itu. Rute menuju Puncak Welirang ternyata masih bertemu dengan bebatuan. Hanya saja kali ini lebih tertata rapi. Berkelak-kelok sampai akhirnya ketemu pohon cantigi.

Ya, cantigi berkaitan erat dengan puncak. Boleh melepas lega ketika melihat pohon berdaun kecil warna merah dan hijau dengan buahnya kecil-kecil. Bebatuan sudah enggak ada. berganti tanah datar. Plus padang rumput tak seberapa luas.

Plang arah Puncak menambah keyakinan bahwa perjalanan akan berakhir. Kabut makin menebal. Angin menggemuruh. Itukah kawah? Tanya itu bergejolak ketika melihat di depan kabut menutupi sesuatu di bibir jurang. Namun plang Puncak mengarahkan ke kanan, menyisiri punggung gunung.

Ah, ternyata masih harus bergerak. Sementara jari-jari tangan mulai kebas. Ah, selalu aku tak siap. Seperti menyepelekan karena rencana awal mendakinya di pagi hari.

Tiba-tiba teringat bahwa aku membekal kaos kaki. Lupa yang lima jari atau bukan. Membayangkan kalau lima jari lucu juga dipakainya. Segera aku melepaskan tas ransel dan mengambil kaos kaki itu. Ugh… bukan lima jari.

Jalan berkelok menyusuri punggungan gunung akhirnya berakhir dengan menanjak. Semakin menanjak. Aku tak tahu ke arah mana lagi melangkah. Angin semakin kencang. Kabut semakin tebal. Dingin semakin menusuk tubuh.

“Kayaknya arah situ puncaknya,” kata Daru. Aku tak menghiraukan ucapan itu. Aku segera mencari batu besar dan berlindung di baliknya.

Tetenger Puncak G Welirang tak jauh dari batu besar ini. (Foto: Daru)

Kami terpisah jadi dua rombongan. Teguh dan Bunda terpisah dengan kami berempat. Kami lega ketika ada suara memanggil-manggil di kejauhan. Saat angin kencang menyingkap kabut, Teguh dan Bunda ternyata sudah di depan, di atas titik tertinggi di kawasan ini.

Dari titik Teguh baru ketahuan di mana tetenger puncak Welirang. Ada di sisi kanan kami. Segera setelah kami bergabung, mencoba menuju tetenger itu. Tapi angin semakin kencang. Bau belerang semakin menyengat. Dingin makin membuat tubuhku menggigil. Beruntung ada batu besar. Kami bertiga (aku, Teguh, Daru) yang sudah berada di depan segera berlindung di balik batu itu.

Memutuskan turun kami bertemu dengan beberapa pendaki yang akan muncak Welirang. Dari obrolan dengan mereka yang sudah pernah muncak, memang benar tetenger puncak Welirang yang kami lihat.

Menyusuri punggungan gunung kami baru bisa melihat pemandangan indah di bawah sana. Kabut telah hilang. Di kejauhan sana tampak pegunungan entah apa namanya. Sambung menyambung membentuk ceruk tempat penduduk bermukim. Sepertinya Kota Malang di bawah sana.

Satu puncak terlewati. Kini menyusun strategi menuju puncak Gunung Arjuno.

Advertisement

2 Comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s