Enggak Ada Sinyal di Setu Rawa Gede

gussur.com – Seorang teman ngompori di grup WA pergowesan. Lagi hits tuh Setu Rawa Gede. Dasar tukang panasan, aku pun penasaran. Ada sepeda pandemi ngejogrok, aku coba bawa ke sana saja. Lama enggak dipakai kondisinya masih lumayan. Bisa digowes, meski setingan grup set amburadul.

Crank triple, tapi gak bisa ke paling enteng. Karena buat nanjak diubah ke gak bisa paling berat. Sprocket 9 sp enggak bisa ke yang paling enteng. Waktu terbatas, gak dibenerin. Terus ternyata rantai ketahuan super kering haha… Pas jalan nanjak baru terdengar musik pengiring berpadu dengan napas memburu. Kriyet, kriyet, hah huh heh…. Goweser yang kusalip pasti mikir, nih orang gak bisa merawat sepeda.

Aku sendiri lama-lama gak tahan dengan bunyi itu, selain juga waswas kalau patah karena tanjakan semakin miring saja. Akhirnya ketika di sebuah jembatan melihat beberapa goweser berhenti, tanpa malu aku nanya apa mereka ada yang bawa oli rantai? Aku kecewa karena enggak ada satu pun yang bawa.

Lanjut deh kriyet-kriyetnya. Sampai kemudian di sisi kiri jalan melihat bengkel motor. Tanpa basa-basi aku minta oli rantai. Pelan-pelan aku muter pedal dan abang bengkel mengolesi oli di rantai memakai sikat gigi (bekas). Setelah berucap terima kasih aku kembali mengayuh pedal. Dan benar adanya, sekarang tanjakan membisu ….

Menuju Cibadak (pertigaan) rutenya memang rolling, cenderung nanjak. Bersua banyak pesepeda yang mau ke arah Ciherang atau malah ada yang mau ke Puncak. Rute ini memang alternatif ke kawasan Puncak selain Cariu (Jonggol) atau rute klasik Bogor (Ciawi)

berhenti sebentar nyarot, nyarap roti …

Sampai Kantor Desa Sukamakmur kita menikmati aspal mulus. Menuju Setu Rawa Gede kita harus belok kanan sesuai plang nama. “Rawa Gede, Agrowisata Kopi, 4,5 KM”.

Jalanan masih aspal tapi tidak semulus jalan utama tadi. Malah kemudian menjadi jalan beton. Dari sini seni mengayuh baru tergores dengan apiknya. Kombinasi jalan beton, nanjak, serta hamparan sawah dan gemericik kali yang menggoda untuk dituruni.

Beberapa tanjakan bisa menjadi pengingat pernah ke Rawa Gede. Curam dan berliku. Beruntung saat melintas, padi sedang menguning siap dipanen.

Di sepanjang rute sudah mulai ada beberapa warung makan kekinian dan waktu itu ramai oleh pemotor yang sedang gathering. Tidak sebanyak arah KM0 Bojongkoneng via Taman Budaya Sentul.

Di beberapa tanjakan aku mulai kagum dengan kinerja Suzuki Ti-Technium yang lama ngejogrok. Meski ukuran terlalu kecil buat tinggi badanku dan tidak bisa memaksimalkan gir, setiap tanjakan bisa dilalui dengan penuh rasa PD. Beberapa tanjakan harus berhenti di tikungan karena tergoda untuk swafoto. Tapi memang harus zig-zag untuk mengatasinya.

Sampai Setu Rawa Gede gamang mau masuk area setu ketika petugas gerbang mematok harga masuk Rp20.000 per orang. Namun karena perut sudah lapar dan melihat di dalam ada beberapa warung, aku pun pasrah. Uang dua lembar Rp10.000 berpindah tangan tanpa mendapatkan bukti tiket masuk.

(Untuk sepeda gratis, motor kena Rp5.000 dan mobil Rp10.000. Jika mau camping per orang jadi Rp30.000.)

Sinyal operator Halo dan Indosat tidak sampai ke kedua ponselku yang menggendong kedua kartu itu. “Ada yang jualan wifi, tapi tutup sekarang,” kata ibu pemilik warung tempat aku memesan makanan.

jalan menanjak dimulai dari sini

Usai perut terisi dan foto-foto sebagai bukti di medsos (wajib ini!), dan kebetulan akan gerimis meski kata ibu tadi tidak pernah hujan belakangan ini, aku pun segera pulang. Sudah janji pulang sebelum petang. Eh, pas di gerbang ngobrol2 sama tukang buka tutup portal, ada setu juga di atas lagi. Katanya dekat, gak sampai 5 km. Aku langsung bergegas saja mumpung masih ada waktu.

Belum sekilo merayap, jalanan berubah jadi makadam. Wah, dengan ban turing aku enggak berani melanjutkan kayuhan. Akan banyak makan waktu, terlebih saat turun. Sebelumnya, aku membayangkan akses jalan beton seperti sebelumnya.

Turun dari Rawa Gede menuju jalan raya ternyata menyiksa pinggang dan bahu. Turunan tajam berkelok membuat harus waspada karena dari bawah sempat bertemu iring-iringan mobil. Meski sudah kutekan kuat-kuat brifter, namun laju sepeda sulit dikendalikan. Beton sedikit licin karena waktu itu gerimis. Terpaksa jurus kaki turun pun dikeluarkan. Mirip Valentoni Rossi. Cuma ini dimaksudkan untuk menghentikan laju seeda dengan bantuan gesekan telapak sepatu dengan permukaan jalan.

“Ah, leganya ….” kataku ketika akhirnya bisa berpapasan dengan tiga mobil dengan selamat. Tidak sampai harus membuang sepeda ke bahu jalan. Meski berumput tapi tidak tahu apakah rata atau banyak berlubang.

Mengejar waktu aku tidak lewat Cietereup ketika ada pilihan Cileungsi/Jonggol. Pikirku ini tembus ke jembatan layang Cileungsi. Jalanan menurun terus membuatku yakin segera sampai rumah. Ternyata jalur ini nongol di tugu pertigaan Jonggol.

Waduh! Mana jalanan macet lagi.

Konsisten mengayuh dan berhenti sekali beli minuman, aku tiba di rumah sebelum petang sungguhan. Total jarak di Strava 128,56 km.

salah satu tanjakan ngehe
ini juga….

(Update: sehari setelah dari Rawa Gede, sepeda mau aku bawa ke bengkel teman untuk disetel ulang. Naas, baru jalan sekitar 200 m, pas ada tanjakan, rantai putus! Mau enggak mau harus diangkut pakai mobil. Ah, untung tidak putus pas pulang dari Rawa Gede. )

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s