gussur.com – Tetiba saja video tentang Tumpeng Menoreh masuk ke grup WA persepedaan. Aku lantas mencari info dan begitu ada waktu langsung eksekusi. Masih bingung kok mencari Tumpeng Menoreh di aplikasi Komoot belum ada. Sementara di Google Maps alamatnya Sumbersari, Ngargoretno, Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Tanya teman, dekat Kebun Teh Nglinggo.
Oke, Kebun Teh Nglinggo aku pernah menjamahnya bersama anak-anak. Lokasinya memang di perbatasan DIY dan Jawa Tengah. Setahuku berbatasan dengan Purworejo. Magelang? Bisa jadi kebun teh ini seperti semenanjung DIY di lautan Jawa Tengah.
Akhirnya Komoot aku arahkan ke Kebun Teh Nglinggo. Kebetulan ada point of interest Parkir Wisata Kebun Teh Nglinggo. Aku pede ngatur settingan ke Mountain Biking. Mencoba seperti apa jalanan yang disuguhkan Komoot.
Dan seperti biasa, karena masih baru memakai Komoot selalu ada kejutan di setiap rutenya. Selain nerabas sawah via pematang, dan masuk perkampungan lewat gang-gang yang kudu hati-hati agar tidak nabrak ayam yang berkeliaran, kali ini rute masuk hutan jati di kawasan Pajangan Bantul. Meski awalnya ragu-ragu, tapi aku pede saja karena jalanan dibeton kiri kanan. Pasti jadi jalur mobilitas manusia.
Benar saja. Di dalam menemui beberapa rumah. Meski berjauhan dan tak membuat koloni. Yang mengagumkan ada lampu penerang jalan sepanjang rute yang kulewati. Banyak simpangan yang menunjukkan bahwa ada kehidupan di tengah hutan jati ini. Tapi tetap saja deg-degan melewati sini kalau malam hari.

Settingan MTB di Komoot memang konsisten menghindari sebisa mungkin aspal (road) alias jalan raya lokal maupun nasional. Namun, hampir sepanjang rute jalur yang kulalui sudah dibeton. Efek dari dana desa? Bisa jadi. Cukup membantu mobilitas sepedaku yang mengejar waktu.
Meski sudah dibeton, namun bikin frustasi juga karena betonnya tidak full selebar jalan. Jadi gak bisa zigzag manakala tanjakan terjal. Kadang menyesal dan sempat mau mengubah settingan jenis sepeda di Komoot menjadi touring bike atau road bike. Namun langsung kutepis. Apa menariknya gowes ngikuti jalan raya?
Dan kubayar mahal kengototan itu. Memasuki kawasan Ngargosari, jarak sudah dekat. Namun elevasi mulai menanjak. Jika lewat jalan raya, elevasi menanjak ini konsisten. (Aku tahu kareana pulangnya lewat jalan raya. Demi mengejar waktu pulang sebelum petang.) Beda dengan jalur non-aspal. Mana sempat keluar jalur yang disarankan Komoot lagi. Harusnya tinggal lurus saja, terpaksa harus memutar. Naik turun lagi!
Jalanan masih berbeton, kadang makadam bebatuan besar. Menyusuri pinggang bukit. Di kiri jurang, tak tahu seberapa dalam karena tertutup rimbunnya semak dan pohon bambu. Sesekali menjumpai perkampungan yang khas dengan salakan anjing menyambut. Untung di rumah miara anjing. Jadi seperti ketemu “sahabat” haha….
Ada momen ketika jantung berdebar-debar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena jalan menanjak terjal. Tapi ketika sedang mengayuh tiba-tiba melintas seekor ular. Hampir terlindas! Tak berani menengok takut keseimbangan terganggu dan masuk jurang.

Jantung berdebar lagi ketika sedang mengayuh dalam sepi tiba-tiba berkelebat burung elang (ya, asumsiku elang karena burungnya besar) yang sepertinya kaget mendengar kayuhan pedalku. Mendengar? Ya, pedalku sepertinya sudah kering pelumasnya sehingga berbunyi ketika dikayuh. Tapi di kala gowes sendirian begini dan dalam kesunyian alam, bebunyian seperti ini menjadi teman dan penanda masih ada kehidupan.
Ketika kemudian keluar hutan dan bertemu jalanan aspal, aku sedikit bersorak! Setidaknya melihat peradaban lagi meski masih di kerimbunan pepohonan. Sampai kemudian aku melihat di seberang sana bangunan yang agak familiar. Ya, menara di kebun teh Nglinggo. Dulu bersama si bungsu aku berfoto-foto di sana. Sudah dekat (di mata).
Akhirnya aku melihat pohon teh meski bangunan menara tadi sudah hilang dari pandangan. Kali ini sudah dekat dalam jarak. Sampai juga ke Kebun Teh Nglinggo.
Mana Tumpeng Menorehnya? Ternyata aku datang dari belakang plang Tumpeng Menoreh. Ketika berhenti mau berfoto di kebun teh, aku tersua dengan plang “Tumpeng Menoreh 0 Km”.
Yey ….
Sayang, hanya bisa melihat Tumpeng Menoreh dari jauh. Tiket masuk Rp50.000 (termasuk voucher makan dan minum sebesar Rp25.000) mengurungkan niatku untuk masuk.
“Sampai parkiran sana saja enggak boleh?” aku mencoba menawar ke penjaga loket.
Tawaran yang tak berkesinambungan. Aku pun hanya bisa memotret dari jauh. Bangunan heksagonal bertingkat tiga itu adalah rumah makan sekaligus gardu pandang ke perbukitan Menoreh dan kota Magelang. Bangunan itu berdampingan dengan sebuah bukit mirip tumpeng. Dari sini, Erix Soekamti menamakannya rumah makannya itu Tumpeng Menoreh.
Dari googling aku tahu makanan yang dijual adalah makanan khas Yogyakarta dan sekitar. Pemasaknya adalah ibu-ibu dari wilayah sekitar. Tenaga kerja lain juga melibatkan penduduk sekitar.
Dibuka pada Mei 2021, Tumpeng Menoreh bisa disesaki pengunjung sebanyak 500 orang. Selama pandemi dibatasi separonya.

Jika ingin melewatkan kesempurnaan hari dengan melihat matahari terbit dan terbenam, kita bisa berkemah di tempat yang disediakan. Sewanya Rp25.000 semalam.
Aku pulang lewat jalan raya. Demi mengejar waktu. Jika berangkat menemukan kepingan sejarah berkaitan dengan Pangeran Diponegoro, yakni Eyang Singosari yang menjadi cikal bakal Dusun Daratan III, Desa Minggir, Kabupaten Sleman, maka perjalanan pulang bersua dengan Memorial Jenderal Besar Soeharto di Kemusuk, Argomulya, Bantul.
Melewati Gamping aku menyaksikan geliatnya rumah makan dan penginapan yang menjual pemandangan lepas. Salah satunya Rajaklana yang sempat ingin aku sambangi beberapa waktu lalu.
Sembari mengayuh pulang aku merenung, apakah pemandangan lepas kini muncul sebagai bumbu lapar paling dahsyat selain rasa lapar?

