gussur.com – Awalnya berpikir ambil 150 K di Run To Care (RTC) 2022 Toba – Medan karena ada waktu untuk mempersiapkannya. Terus terang ini tiga digit terbesar yang pernah aku ambil. Sebelumnya di Ultramarathon ITB 2019 ambil kategori Relay 2 yang berarti sekitar 100 km. Di tengah persiapan menuju hari-H pada 29 Juli 2022, aku ikut lomba CTC 2022, Coast to Coast Night Ultra Run kategori 50k. Aku pikir bisa menjadi pancatan sebelum mencapai kondisi puncak dan siap tempur di RTC 2022.
Manusia berharap, Tuhan menentukan, kata pepatah. Saat ikut CTC 2022, aku mengalami cedera. Tidak sekali tapi dua kali. Pertama keseleo kaki kiri, kedua terpeleset dan jatuh dengan tulang ekor menghantam batu gamping khas Pegunungan Seribu Gunungkidul. Sebenarnya tangan sudah reflek menyangga tubuh, tapi batu gamping itu menonjol dan ndilalah tepat menyentuh tulang ekor.
Beruntung tak ada retak di tulang ekor, Tapi rasa jarem tak hilang dalam beberapa hari. Oleh dokter diberi obat antinyeri dan voltaren. Plus neurobion. Sekitar seminggu kondisi membaik tapi aku malah terserang malas latihan. Aku hanya menghibur diri bahwa di RTC leg 3 atau 50 km terakhir jalanan menurun. Dengan bekal CTC masih bisa untuk menyelesaikan 100 km pertama dan pasrah di 50 km terakhir.
Untuk menjaga kebugaran aku hanya berlatih strength dan naik turun tangga. Ini terpaksa karena rumah mungilku banyak tangga untuk menuju kamar kerja. Dengan status kerja di rumah, aku mencoba untuk setiap dua jam ambil minuman di lantai dasar dan menuju ke ruang kerja di mezzanine. Lumayan ada sekitar 30 anak tangga. Bolak-balik 60 anak tangga.
Kemudian karena membeli sepatu baru buat RTC ini, maka aku terpaksa mencobanya untuk “break in” ini sepatu. Tercatat lima kali berlari masing-masing sekitar 10 km. Untuk nutrisi aku sudah menabung makan seminggu sebelum hari-H. Yang terlewatkan adalah tidur. Ini benar-benar kecolongan karena ada kondisi darurat. Dua malam menjelang keberangkatan ke Medan, tidurku jauh dari kata ideal. Hanya tiga jam semalam. Tapi entah karena euforia menjalani tiga digit terjauh pertama membuat rasa kantuk tak mampir juga.

***
Kamis siang 28 Juli 2022 siang aku mendarat di Bandara Silangit, Siborongborong, Tapanuli Utara. Bandara ini menjadi pintu masuk jalur udara ke kawasan wisata Danau Toba. Baru pertama kali mendarat di sini. Sebelumnya ke Danau Toba lewat Puncak Tele dalam acara Jelajah Sepeda Sabang Padang.
Sebelum ke penginapan mampir ke rumah dinas Bupati Toba untuk makan siang. Dari rumah dinas ini kita bisa memandang ke salah satu sudut Danau Toba. Bupati banyak bercerita tentang Danau Toba dan pariwisata, salah satunya akan diadakannya lomba balap boat. Dari sini kemudian menginap di Wisma Pemda USU Pora-pora. Malam tiba di sini sehingga tidak banyak eksplore daerah sekitar.
Paginya niat mau lari sambil melihat-lihat daerah sekitar. Ternyata niatan teman-teman yang mau ke Tomok dan menyusuri Danau Toba membuat aku gamang. Akhirnya memutuskan ikut karena rencana balik lagi siang sekitar pukul 13.00. Masih ada waktu untuk tidur siang sebelum menuju lokasi start pukul 23.00.
Nyatanya sampai pelabuhan lagi sudah hampir pukul 15.00. Ketika yang lain menuju ke Kaldera berfoto di kursi tempat Presiden Jokowi berpose bersama Ibu Iriana, aku kembali ke penginapan. Mandi dan mencoba tidur tapi enggak bisa. Sampai akhirnya ambil RPC, dan malam setelah makan malam menaruh barang untuk nanti dibawa ke CP1 dan CP2.

***
Pada akhirnya aku tak bisa tidur juga dan sebelum pukul 23.00 WIB sudah berada di lokasi start. Setelah beberapa sambutan dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka RTC Toba – Medan pun dimulai. Sejauh apa pun jarak, semua berawal dari langkah pertama. Begitulah, sebentar lagi aku akan mencatatkan jarak terjauh dalam hidupku untuk lomba lari.
Malam itu jalanan masih cukup ramai. Warung-warung berlabel halal juga masih banyak yang buka. Beberapa orang yang di pinggir jalan bertanya, mau ke mana, acara apa, dll. Bisa jadi mereka keheranan dengan banyaknya orang berlari di malam gelap gulita ini.
Berlari di tengah malam dan melewati subuh beberapa kali aku alami. Namun untuk kali ini ada yang hilang dari rutinitas sebelum menjalani aktivitas ngalong. Ya aku kurang nabung tidur. Itu mulai terlihat ketika lewat tengah malam kantuk mulai menyerang. Lariku mulai goyang kanan kiri. Aku harus menahan kantuk itu terlebih jalanan ternyata gak rata. Ada lubang di sana-sini karena sedang diperbaiki. Ketika sampai WS-2 aku pun bersyukur. Bisa tidur sebentar.
Di WS-2 ini aku baru tahu ada peserta yang terjatuh di jalan rusak tadi. Terlihat darah mengucur di lututnya. Ah aku bersyukur bisa melewatinya meski terkantuk-kantuk. Mencoba rebahan aku merasakan otot-otot kaki meregang. Baru ingat bahwa di sini ada Sam, terapis yang menyertai rombongan kami. Aku pun mencari Sam dan minta dipijat. Otot-otot mulai rileks dan aku pun tertidur sebentar.
Ketika mulai meninggalkan WS-2, tak lama kemudian aku bertemu dengan orang yang tadi terjatuh. Lututnya dibalut perban dan mulai kesulitan berjalan.
“Jangan memaksa Om. Masih jauh. Balik saja mumpung belum jauh,” kataku melihat BIB dia yang ternyata ikut Individu alias 150 Km. Sementara WS-2 baru sekitar 20-an km.
Di kilometer seperti ini distribusi pelari sudah mulai menyebar. Kita hanya bertemu dengan satu dua peserta saja. Meski merasa sudah jauh, namun ternyata di sisi kiri masihlah Danau Toba. Kegelapan di bawah sana semakin menguatkan aura keagungan Tuhan yang menciutkan nyali. Mirip ketika mendaki gunung di malam hari dan tiba-tiba di depan kita sudah berdiri puncak gunung itu dalam kebisuan.
Beruntung bahwa jalan mulai banyak menurun. Aku menyapa WS-3 ketika hari mulai terang tanah. Makan mi seduh dan teh manis hangat membuatku terjaga. Bentar lagi matahari mulai menampakkan diri. Jalanan menurun. Aku pun semakin terpacu untuk segera sampai di CP1. Jalanan turun ternyata tidak sampai CP-1. Ada seksi membosankan sebelum sampai CP1. Jalan lurus tak berujung. Padahal CP1 hanya berjarak beberapa ratus meter dari ujung jalan ini.
Kantukku mulai menyerang dan aku tak tahu bagaimana mengatasi rasa kantukl di jalan datar nan panjang ini. Tanpa terasa mata terpejam sementara kaki melangkah. Beruntung pagi itu jalanan relatif sepi sehingga keolenganku tidak menimbulkan bahaya.
Begitu sampai ujung jalan aku seperti sudah sampai tujuan. Memasuki CP1 yang aku pikirkan hanya segera ke toilet. Buang hajat yang memang menjadi rutinitas pagiku. Sekalian mandi tentunya.
“Kenapa mandi segala Mas?” begitu tanya seorang peserta ketika kami ngobrol di ruang makan setelah tahu saya mandi di CP1.
“Biar seger dan ilang kantuknya Mas,” jawabku. Dan memang habis mandi aku menjadi segar dan siap melanjutkan ke CP2.

***
CP 1 menuju CP2 menjadi pelarian di siang hari. Menuju Berastagi, kota dingin di atap Medan. Jalan siang enaknya bisa menikmati pemandangan, namun harus menghadapi teriknya panas. Plus, ternyata ada sebagian jalan yang sedang diperbaiki bahu jalannya. Sementara kendaraan di sini jalannya kenceng-kenceng. Asal sudah kasih klakson mereka seperti dapat akses untuk mengebut. Aku hampir kesamber truk karena bahu jalan sedang digali untuk perbaikan gorong-gorong sehingga harus ke badan jalan.
Rute dari CP1 ke CP2 di luar jalan yang sedang diperbaiki tadi lumayan menebus “keindahan” Danau Toba di malam hari. Saribudolok, Barus, Karo. Jadi tahu daerah-daerah ini. Juga makam-makam bercungkup di tengah kebun atau ladang. Kebun nanas dan jeruk yang menggoda untuk mencicipinya.
Di jalur ini aku mulai kesakitan dengan tali sepatu yang menggigit sakit punggung kaki. Rincon 3 ini memang baru aku beli beberapa minggu sebelum Run to Care ini. Tapi menurutku kurang nyaman dipakai untuk lari lebih dari 50 km.
Yang membuat bingung adalah tali sepatunya. Sudah dicoba berbagai cara menalikan, namun hasilnya tetap saja menjepit punggung kaki lama kelamaan. Jadilah aku merasa kesakitan saat melangkah. Akhirnya aku kendorkan dengan konsekuensi bagian tumit sedikit bergerak naik turun karena longgar. Itu lebih bagus daripada punggung kaki kesakitan.
Di WS 6 aku berhenti cukup lama dan ternyata muncul Mas DL yang Relay 3 dan Bang Asro yang ikut 100K. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat bareng menuju CP2. Jalanan dari WS 6 ini relatif sepi karena seperti keluar dari jalan kabupaten atau provinsi. Kami bertiga jalan sambil ngobrol. Sesekali lari. Aku berbagi soal bagaimana tips berlari – jalan dengan konsisten. Pakai patokan tiang listrik. Selang-seling berjalan dan lari sesuai jarak antartiang.
Melintasi wilayah ini melewati perkebunan nanas. Tanah Karo memang dikaruniai tanah yang subur. Selain nanas juga ada perkebunan jeruk dan tentu sayur-mayur. Pingin mencicipi nanas tapi tidak ada orang di kebun yang aku lewati.
Di WS 7 sore sudah menjelang dan rasa kantuk mulai datang lagi. Aku pun setelah ganti baju mencoba tidur di mobil tim support. Sepertinya terlelap selama sekitar 15 menit aku. Lumayan badan jadi segar kembali.
Pace kami bertiga mulai tidak bisa dikompromikan lagi ketika ternyata menuju ke CP2 waktu mulai menimbulkan was-was apakah kesampaian atau tidak. Kami sebenarnya tidak lagi bertiga karena bertemu dengan dua peserta lain. Jadinya kami beriringan berlima di jalanan yang relatif sepi tapi mulus. Di sisi barat matahari mulai menampakkan keramahannya. Berbeda ketika dua atau tiga jam sebelumnya yang garang sekali.
Aku segera menaikkan pace dan mulai meninggalkan rombongan. Soalnya kalau kelewat COP, cut off point, otomatis langkahku mandeg di CP2. Padahal membayangkan dari CP2 ke finish tinggal “glundhung” saja sebab Brastagi di tempat tinggi dibandingkan dengan Medan.
Sekitar 5 km menuju CP2 ternyata jalanan menanjak tipis. Selain itu jalanan mulai gelap karena penerangan lampu jalanan minim. Sementara kendaraan mulai ramai berlalu lalang menuju ke Berastagi, yang mirip dengan Puncak di wilayah Bogor. Menjadi tempat “healing” orang-orang, khususnya anak muda.
Masih mengandalkan lari jalan lari aku mulai bersemangat ketika kehidupan sebuah kota mulai terlihat. Toko yang masih buka, pedagang kaki lima, lampu lalu lintas, serta kedai-kedai makanan. Selepas melewati sebuah perempatan yang ramai, petunjuk mengarahkan belok kanan. Aku lihat ada plang peringatan bagi pengendara motor atau mobil untuk berhati-hati karena ada pelari.
Dari plang tadi ternyata CP2 tak jauh lagi. Gerbang penyambutan gelap namun ada petugas yang mengarahkan. Setelah BIB dicatat aku pun menuju tempat fisioterapi. Kebetulan ada yang mau selesai. Jadi aku menunggu di bed yang kosong. Sambil menunggu aku mencopot semua “perabotan” yang menempel di tubuh. Lampu kepala, vest, buff, topi, nomer BIB, serta sepatu. Semua aku taruh di dalam topi dan kuletakkan tak jauh dari barang-barang mas Aji, rekan sekelompok dalam RTC kali ini, yang sebentar lagi selesai di-fisio.
Selama di-fisio aku tak memperhatikan lagi “perabotan” tadi. Namun kaget begitu selesai di-fisio dan mau mengambil makanan, lampu kepala tidak ada. Aku mencari-cari mas Aji ternyata sudah tidak ada di lokasi. Aku telepon tidak diangkat. Sempat kelabakan bagaimana dengan penerangan nanti? Untung ada mas DL yang sudah selesai lari dan lampu kepalanya sudah purna tugas. Aku pinjam dan segera setelah selesai makan malam yang tidak habis aku bersiap-siap melanjutkan etape terakhir menuju titik finish.

***
Jalanan ramai dan aku tak mengira bahwa rute turunan yang dalam bayangan tinggal “glundhung” saja itu ternyata menjadi jalur neraka. Ketika memasuki awal turunan jalanan terang. Aku pikir karena lampu jalanan. Namun mendadak gelap ketika kendaraan tak ada yang lewat. “Hah, mati lampu?” Aku menengok ke atas dan memang gelap sekali.
Ketika kemudian kendaraan mulai melintas baru sadar ternyata di kiri kanan jalanan tidak ada lampu penerangan. Jalur sempit dan semakin ke bawah ternyata semakin ramai kendaraan membuat aku tak leluasa berlari. Akhirnya ke bahu jalan yang penuh bebatuan. Sekitar dua kilometer kemudian jalanan mulai sepi dari kendaraan namun kondisi jalanan curam dan pasir berserakan di atas beton bahu jalan. Ternyata jalanan ini baru dibetonisasi.
Tak bisa memanfaatkan efek turunan membuat aku menjalani turunan dengan santai saja. Selain capek juga sudah mulai mengantuk. Sekitar 10 km turunan jalanan akhirnya mendatar. Jalanan mulai sepi karena sudah hampir tengah malam. Aku mulai sendirian. Rasa-rasanya juga paling belakang sebab tadi sewaktu start dari CP2 sudah mendekati akhir COP.
Jalanan sepi membuat harus lebih waspada. Soalnya bus dan truk di sini jalannya seperti tidak mengenal rem. Seperti sebelum-sebelumnya, ketika sudah memberi klakson sebagai penanda kehadiran mereka seolah layak berjalan tanpa rem. Sekali lagi aku hampir terserempet truk karena memaksa berlari di atas aspal. Habis itu kapok untuk memaksa berlari di atas aspal. Begitu ada klakson langsung menepi ke bahu jalan.
Di WS 9 akhirnya aku tidur setelah diurut sama Sam. Cukup lama tidurnya dan cukup membuatku segar. Jalanan kembali menurun curam. Aku memanfaatkan turunan ini untuk mengejar waktu. Meski tidak bisa kencang-kencang karena kaki masih terasa kaku. Di WS 10 mencoba berhenti dan membikin kopi. Subuh menjelang dan semoga kopi mengantar jiwaku menyambut pagi dengan bregas waras.
Ketika mau berlari lagi, ada peserta yang ingin bareng. Sebenarnya bukan tipeku lari bareng karena sulit untuk menyamakan pace. Dan ada rasa sungkan bagiku untuk menolak, tapi tidak tahu bagaimana kalau nanti aku meninggalkan dia. Jarak tinggal sekitar 30-an km. Sedangkan COT tidak begitu ramah.
Kami sempat berbarengan sekitar 5 km sebelum aku meninggalkan dia karena pace kami tidak lagi seragam. Masih dengan metode lari – jalan – lari, aku pun bergegas menuju WS 11. Jalanan sudah datar dan memasuki wilayah Medan. Aku pikir akan datar seterusnya. Ternyata beberapa kilometer sebelum finish jalanan masih menanjak dan seperti berputar-putar di perkampungan.
Toh akhirnya aku bisa finish dengan mepet ke COT.















1 Comment